Mohon tunggu...
D. Hasbi A.
D. Hasbi A. Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hobby menggambar, baca novel dan komik, nonton film, menyenangi sains.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Daripada ke Borobudur Mending Kita ke Mal Aja!

7 Juni 2022   17:14 Diperbarui: 7 Juni 2022   17:21 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malas menanggapi kebijakan di negara ini, malas mengamati tingkah laku para politisi dan pejabat. Wasting time rasanya. Andai keluarga saya tidak berada di Indonesia pasti saya sudah ke Eropa dan menjadi warga negara salah satu negara di sana, tidak peduli agamanya apa, sekuler atau bukan, yang penting kebijakannya benar-benar bijak.

Ada-ada saja tingkah laku para pejabat di negara ini. Masuk ke area wisata dan harus bayar aj udah membuat banyak orang (yang saya kenal) keberatan. yang saya bicarakan adalah area wisata alamiah ciptaan Tuhan dan area wisata kreasi orang yang sudah tidak ada (Gunadarma). Lha ini bangunan bikinan Gunadarma atas perintah Raja Samaratungga 1198 tahun yang lalu koq bayarnya harus ke PT TWC? keluarga Gunadarma bukan, keluarga Raja Samaratungga juga bukan. Dan bayar 750 ribu rupiah pula! Katanya agar hanya yang berkepentingan yang bisa masuk area Borobudur. Emangnya ini area proyek? ruang operasi? Jika satu keluarga terdiri ayah, ibu dan 2 anak mau wisata dan belajar sejarah di Borobudur harus bayar 3 juta dong? langsung habis itu UMR 18 juta rakyat Indonesia yang bekerja sebagai buruh. Udah harga sembako bikin puyeng, mau refreshing sekaligus mengenalkan anak pada warisan budaya bangsa pun ga bisa lagi.

Apakah attitude berbanding lurus dengan kemampuan membayar tiket hingga 750 ribu rupiah? jika iya, atas dasar data dari mana? kapan? ada statistiknya? dibuat oleh lembaga statistik apa? kalau tidak berarti itu cuma opini yang dijadikan indoktrinasi agar masyarakat membolehkan kenaikan harga ini.

Jika dianggap bahwa hanya yang memiliki kemampuan membayar 750 ribu rupiah yang memiliki attitude artinya yang tidak mampu membayar tidak memiliki attitude. Iya kan? mengapa ada tuduhan seperti ini? apakah pola pikir kita diarahkan?

Jikalau mau pake pembatasan, tiru aja pengelolaan kebun binatang ragunan, untuk masuk ke sana harus pake Jakcard, dan daftar online paling lambat H-1. Kalau udh masuk batas maksimum kuota maka pendaftaran ditutup. Setiap pengunjung hanya boleh memiliki 1 akun email sebagai email pendaftar. Hari gini, jamannnya online, jamannya aplikasi koq ribet ya? Atau mau lebih terbatas lagi? harusnya yang memiliki otoritas penuh atas candi Borobudur adalah umat Budha, harusnya kaum biksu yang paling berhak, karena candi Borobudur adalah rumah ibadah umat Budha. Tapi ini kan cagar budaya, warisan budaya, memiliki nilai edukasi. Setiap orang berhak mengenal budayanya sendiri, warisan leluhurnya, makanya ini jadi tempat wisata, wisata budaya wisata edukatif. Koq malah jadi sangat komersial ya? Segitu miskinnyakah negara ini?

Sudah 1198 tahun Borobudur berdiri, kuat dan kokoh. Gunadarma sang arsitek Borobudur pasti tertawa jika tahu bahwa "penguasa" Borobudur jaman skrg meragukan kekuatan struktur Borobudur.

Harga 750 ribu rupiah kan untuk yg mau naik ke atas aja? kalau mau belajar sejarah bisa dari bawah. Oke deh, tau kan bahwa setiap tingkatan memiliki relief yang menyampaikan kisah yang berbeda? Tingkatan bawah, menengah dan atas itu berbeda. Jadi belajar sejarah hanya boleh yang bawah saja?

Kan dengan harga 750 ribu rupiah ini agar hanya yang bekerja saja yang bisa naik ke tingkat atas. Duh, emangnya UMR berapa? belasan juta buruh UMRnya rata-rata 2,5 juta. Jika sekeluarga ada 4 orang untuk bayar tiket saja butuh 3 juta. Iya udah bekerja, tapi masa gaji sebulan habis dalam satu hari saat wisata ke Borobudur?

Kondisi candi memprihatinkan dan warga berpenghasilan rendah yg disalahkan? di mana hati nurani dan akal sehat kita?

Saya mengutuk mereka yang tidak bertanggung jawab yang mengotori candi Borobudur dengan tingkah laku yang tidak sopan, mencorat-coret dinding candi, membuang sampah sembarangan. Namun menaikkan harga bukanlah solusi untuk mencegah semua tindakan itu.

Saat ini saya seperti melihat orang sakit mata malah diberi obat encok. Konservasi, pemeliharaan, pelestarian menjadi alasan. Yah, mengapa ga jujur aja sih, jikalau emang butuh dana gede untuk, entah apa lah. Ga harus mengatasnamakan hal-hal mulia agar kebijakannya disepakati masyarakat.

Dana pemeliharaan Borobudur itu puluhan miliar lho. Usia Borobudur itu 1200 tahun lho, struktur yang kuat dan kokoh yang tetap berdiri walaupun sudah berusia lebih dari 1000 tahun. Dan khawatir amblas dan yang disalahkan masyarakat kismin?

Siapa yang menjamin mereka yang berpenghasilan tinggi memiliki attitude yang lebih baik? siapa? apakah ada datanya?

Jadi kesimpulannya orang kismin, atau berpenghasilan rendah tidak punya attitude? tidak punya rasa ingin tahu yang tinggi?

Kesimpulan-kesimpulan ciptaan para pejabat terhormat seperti harus kita makan mentah-mentah tanpa saringan pikiran. Rasa takut berpandangan beda ditumbuhkan. Pikiran pun tak bisa lagi merdeka karena "cari aman." Sedangkan mendikbud sedang berjuang membudayakan "Kampus Merdeka" dan "Merdeka Belajar," yang dalam pemahaman saya adalah kemerdekaan berpikir.

Sepertinya Indonesia bukan milik rakyat Indonesia lagi. Sepertinya mereka yang berpenghasilan rendah diusir perlahan dari negara ini, dianggap mengotori area wisata, dianggap tidak punya attitude, dianggap tidak punya rasa ingin tahu yang tinggi, dianggap bodoh.

Ya sudahlah, lebih baik saya berwisata ke Vatikan toh harga tiket masuknya hanya 19 dollar (tidak sampai 2 persennya dari gaji terendah orang Italia), atau ke Taj Mahal 45 rupee atau yang agak mahal ke Angkor Wat 37 dollar atau ke mal aja yang gratis walaupun hanya cuci mata dan menonton orang belanja.

Maaf jikalau tulisan saya ini mengotori mata para pembaca. Maaf jikalau tulisan saya tidak memenuhi kaidah berbahasa yang baik,  atau ada kesalahan di PUEBI-nya. Maklumi. Saya hanya orang bodoh dan kismin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun