Mohon tunggu...
Atep Abdul Rohman
Atep Abdul Rohman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri dan Mahasiswa

Pria asal Bandung yang hobi naik gunung tapi takut ketinggian.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Asyiknya Jadi Jurnalis

4 Agustus 2022   07:20 Diperbarui: 4 Agustus 2022   07:29 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari berbagai macam profesi, menjadi jurnalis merupakan salah satu yang menyenangkan, kok bisa? Ya, karena menjadi jurnalis tak hanya duduk di kantor. Jurnalis bisa jalan-jalan untuk mencari bahan sebuah berita. Jurnalis bisa terjun langsung ke lapangan untuk meninjau kejadian-kejadian yang nantinya akan diberitakan, dan publik bisa membaca hasil liputannya di media.

Saya ingin berbagi cerita soal keasyikan menjadi jurnalis di Lembaga Pers Mahasiswa di kampus. Walaupun masih ruang lingkup kampus dan pondok pesantren, tapi meliput berbagai acara dan menyuguhkan beritanya ke publik mempunyai kesan tersendiri. 

Orang yang tak pernah meliput acara, pasti tak akan tahu bagaimana asyiknya terjun langsung ke lapangan dan menembus narasumber untuk menggali informasi. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah pepatah bahwa orang yang belum merasakan suatu hal, maka ia tak akan tahu hal tersebut.

Kala itu, ketika masih menjadi mahasiswa baru, saya mencoba daftar sebagai orang yang suka menulis cerita ke Pemimpin Redaksi LPM Dalwa Berita yang dijabat oleh saudara Wildan Isma. Entah akan disuruh apa, yang jelas saya suka menulis. Walaupun tulisannya masih tak beraturan, yang jika orang membacanya malah akan tambah kebingungan, tapi mencoba daftar sebagai jurnalis Dalwa Berita bukan suatu masalah, kan?

Setelah mengikuti beberapa seleksi dan magang selama tiga bulan, saya diterima untuk menjadi kru Dalwa Berita. Waktu itu, saya mendapat tugas meliput acara Ngaji Jurnalistik di Dalwa Hotel Syariah pada tahun 2019. 

Sebagai orang biasa yang mendadak jadi jurnalis kampus, tentu bingung apa yang harus dilakukan setelah tiba di tempat acara. Walaupun sebenarnya sudah diadakan pelatihan terlebih dahulu, tapi tetap saja bingung saat praktek nyatanya di lapangan. 

Apalagi kebiasaan saya yang suka menulis cerita harian dengan gaya bahasa "alay", tentu tak sesuai dengan bahasa berita yang harus formal dan padat tanpa dibumbui apapun. 

Walhasil, tulisan jadi, dan saya merasa itu merupakan tulisan terbaik yang pernah saya tulis. Namun, setelah diterima Pemred, ternyata banyak yang salah. Hancur!

Akhirnya, saya berusaha lagi untuk membuat berita yang sesuai dengan kaidah jurnalistik setelah ditugaskan meliput di berbagai kegiatan. Biasanya, sekali meliput, Dalwa Berita mengirim satu jurnalis sebagai penulis berita dan satu fotografer sebagai pengambil gambar. 

Waktu liputan tergantung waktu kegiatan. Jika hanya meliput setengah waktu, khawatir ada momen menarik yang terlewatkan. Sebut saja acara Dalwa Bersholawat yang kerap kali dilaksanakan hingga larut malam, jurnalis tetap harus mengikuti rentetan acaranya. 

Barang kali di penghujung acara ada kutipan penting, atau peristiwa menarik yang terjadi, jurnalis dituntut cekatan dalam menuliskan setiap momennya.

Semua itu dilakukan untuk memberikan informasi kepada publik yang ingin mengetahui alur dan rentetan acara. Maka berangkat dari hal ini, jurnalis harus bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dan rasa penasaran publik.

Tidak hanya acara besar, acara kecil pun tak lepas dari pantauan jurnalis Dalwa Berita selama layak untuk diberitakan. Liputan tersebut tak mesti memuat detail berita berupa tulisan, tapi bisa juga berupa foto disertai keterangan pendek yang bisa mewakili acara.

Dalam sebuah kesempatan seminar, saya teringat pesan yang disampaikan oleh Wildan Isma, seorang Pemred LPM Dalwa Berita yang waktu itu hadir sebagai pembicara. 

Ia mengatakan, "Jurnalis harus kritis." Perkataan itu tentu sangat tepat, karena dari jurnalis yang kritislah akan diperoleh berita yang sempurna dan menarik tentunya. 

Jurnalis yang kritis tidak akan puas pada pernyataan umum subjek berita yang dapat didengar orang-orang yang hadir dalam acara, tapi ia akan menembus narasumber dengan wawancara eksklusif untuk mendapatkan informasi lain yang tidak diketahui sebelumnya.

Wildan berpesan kepada calon jurnalis baru kala itu, "Jurnalis harus berani." Keberanian itu belum menonjol saat saya daftar Dalwa Berita. 

Dulu, saya selalu terbata-bata saat berbicara dengan orang baru, apalagi dengan orang yang lebih tinggi usia maupun jabatannya. Karena itu, saya merasa gugup saat akan mewawancarai narasumber. 

Padahal, jurnalis tidak cukup hadir di tempat acara, Ia juga dituntut untuk menggali informasi lebih detail melalui wawancara. Bagaimana bisa mendapatkan informasi lengkap jika bertanya kepada narasumber saja masih gelagapan?

Dulu, saya diberi kesempatan meliput acara peresmian kafe di Dalwa 3, waktu itu saya berangkat bersama salah seorang fotografer Dalwa Berita, Akbar Proling. Sesampainya di Dalwa 3, ternyata ada acara lain yang sedang berlangsung, yaitu Haul Abuya Maliki. 

Maka, saya harus meliput acara itu juga sampai selesai sebelum liputan peresmian Dalwa Kafe. Tentu hal tersebut sudah menjadi suatu yang lumrah bagi seorang jurnalis Dalwa Berita. Sehari bisa meliput satu sampai tiga acara. Bahkan kata Afriansyah, Ketum Dalwa Berita, dulu bisa meliput sampai lima acara dalam sehari.

Tibanya tengah malam, Bupati Pasuruan yang dijabat oleh Pak HM Irsyad Yusuf dan rombongan baru saja tiba. Ia disambut oleh Abuya Zein langsung sebagai pimpinan pesantren. 

Sebagai jurnalis, saya harus bisa mewawancarai tamu istimewa itu, tapi karena keberanian kurang sehingga membuat mental menciut lebih dulu. Untung saja, Ustadz Hasan Basri menguatkan mental saya. Katanya, "Bisa, asal harus berani."

Saya berusaha untuk mencari kesempatan, tapi tak kunjung ada. Cara satu-satunya untuk memanfaatkan momen itu adalah dengan mengajak bicara ajudannya, dan itu yang saya lakukan. Ia berpesan kepada saya agar tidak berlama-lama mewawancarai Bupati dengan alasan beliau sangat sibuk.

Waktu itu mendekati sahur, Pak Bupati pamit pulang kepada Abuya Zein dan yang lainnya. Itulah kesempatan saya untuk wawancara. Saat rombongan pemerintahan turun dari kafe -- kebetulan kafenya di lantai dua -- saya sudah turun lebih dulu. 

Dalam hati saya yakinkan untuk menghilangkan nervous, dengan kalimat "Bismillah, bisa!" Seketika saja saya "mencegat" Pak Bupati yang baru turun dari kafe. "Pak, saya Atep dari Dalwa Berita, bisa wawancara sebentar?" Itu kalimat pertama saya saat berhasil menghentikan langkah kaki beliau, dan tentu yang lain ikut terhenti. Ratusan pasang mata pun menyoroti.

Dari beberapa pengalaman itu, ternyata kegugupan yang selalu menghantui akan hilang jika dipaksa untuk menghadapinya. Jika masih gugup, aneh rasanya.  Kata Wildan, "Yang grogi itu yang ditanya, bukan yang bertanya." 

Benar saja, jurnalis hanya bertanya, sedangkan narasumberlah yang ditanya. Seharusnya, yang gugup dan grogi itu yang ditanya, karena ia harus memikirkan jawaban yang tepat. 

Ia takut jika jawaban yang keluar dari mulutnya itu tidak pas, apalagi salah. Ia sedang berhadapan dengan media, sekali pernyataannya salah dan terlanjur dipublikasikan media, akan berbuntut perkaranya.

Setelah selesai wawancara dan mendapatkan informasi dari liputan, barulah berita ditulis. Penulisan berita harus padat dan tidak boleh dicampur dengan opini pribadi penulis. Tulisan berita harus seperti jepretan kamera. Jika hitam, mesti tergambarkan hitam.

Jika putih, pasti hasilnya pun putih. Seandainya hasil kamera tidak sesuai dengan kenyataan, maka kemungkinan besar terdapat manipulasi gambar. Begitu juga berita, jurnalis harus menulis sesuai kenyataannya. Tidak ditambah atau dikurangi.

Tak cukup di situ, laporan berita yang sudah ditulis pun diserahkan ke Redaktur. Berita akan dipermak lagi seandainya terdapat tulisan yang tak sesuai dengan kaidah penulisan berita. Kemudian, hasil permakan itu diserahkan kepada Pemimpin Redaksi. Ia akan memutuskan berita itu layak terbit atau tidak.

Nah, dari beberapa pengalaman itu, saya menyadari bahwa menjadi jurnalis bukanlah pekerjaan yang sepele. Jurnalis dituntut berani dan cekatan dalam mencari bahan berita, juga harus teliti dan jujur dalam membuat laporannya. 

Keliru dalam menulis nama saja sudah fatal akibatnya, apalagi menyebarkan kebohongan. Memberitakan suatu kebohongan yang dilakukan oleh seorang jurnalis adalah kesalahan yang tak termaafkan. Salam pers mahasiswa!

Oh, iya, saya bercita-cita ingin jadi jurnalis Tempo.co Doanya, ya ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun