Tibanya tengah malam, Bupati Pasuruan yang dijabat oleh Pak HM Irsyad Yusuf dan rombongan baru saja tiba. Ia disambut oleh Abuya Zein langsung sebagai pimpinan pesantren.Â
Sebagai jurnalis, saya harus bisa mewawancarai tamu istimewa itu, tapi karena keberanian kurang sehingga membuat mental menciut lebih dulu. Untung saja, Ustadz Hasan Basri menguatkan mental saya. Katanya, "Bisa, asal harus berani."
Saya berusaha untuk mencari kesempatan, tapi tak kunjung ada. Cara satu-satunya untuk memanfaatkan momen itu adalah dengan mengajak bicara ajudannya, dan itu yang saya lakukan. Ia berpesan kepada saya agar tidak berlama-lama mewawancarai Bupati dengan alasan beliau sangat sibuk.
Waktu itu mendekati sahur, Pak Bupati pamit pulang kepada Abuya Zein dan yang lainnya. Itulah kesempatan saya untuk wawancara. Saat rombongan pemerintahan turun dari kafe -- kebetulan kafenya di lantai dua -- saya sudah turun lebih dulu.Â
Dalam hati saya yakinkan untuk menghilangkan nervous, dengan kalimat "Bismillah, bisa!" Seketika saja saya "mencegat" Pak Bupati yang baru turun dari kafe. "Pak, saya Atep dari Dalwa Berita, bisa wawancara sebentar?" Itu kalimat pertama saya saat berhasil menghentikan langkah kaki beliau, dan tentu yang lain ikut terhenti. Ratusan pasang mata pun menyoroti.
Dari beberapa pengalaman itu, ternyata kegugupan yang selalu menghantui akan hilang jika dipaksa untuk menghadapinya. Jika masih gugup, aneh rasanya. Â Kata Wildan, "Yang grogi itu yang ditanya, bukan yang bertanya."Â
Benar saja, jurnalis hanya bertanya, sedangkan narasumberlah yang ditanya. Seharusnya, yang gugup dan grogi itu yang ditanya, karena ia harus memikirkan jawaban yang tepat.Â
Ia takut jika jawaban yang keluar dari mulutnya itu tidak pas, apalagi salah. Ia sedang berhadapan dengan media, sekali pernyataannya salah dan terlanjur dipublikasikan media, akan berbuntut perkaranya.
Setelah selesai wawancara dan mendapatkan informasi dari liputan, barulah berita ditulis. Penulisan berita harus padat dan tidak boleh dicampur dengan opini pribadi penulis. Tulisan berita harus seperti jepretan kamera. Jika hitam, mesti tergambarkan hitam.
Jika putih, pasti hasilnya pun putih. Seandainya hasil kamera tidak sesuai dengan kenyataan, maka kemungkinan besar terdapat manipulasi gambar. Begitu juga berita, jurnalis harus menulis sesuai kenyataannya. Tidak ditambah atau dikurangi.
Tak cukup di situ, laporan berita yang sudah ditulis pun diserahkan ke Redaktur. Berita akan dipermak lagi seandainya terdapat tulisan yang tak sesuai dengan kaidah penulisan berita. Kemudian, hasil permakan itu diserahkan kepada Pemimpin Redaksi. Ia akan memutuskan berita itu layak terbit atau tidak.