Belum lama belajar, saya pun berangkat dengan berbagai doa mengiringi. Saat tes tiba, ternyata saya bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penguji baca kitab. Walupun dengan pemahaman yang masih dangkal tentunya. Dari jawaban yang saya berikan, penguji menempatkan saya di kelas 3 ibtida (setara dengan 3 SD, tapi dengan mata pelajaran yang berbobot). Lumayan, bisa loncat 2 kelas.
Setelah masuk pesantren, saya belajar bahasa Arab dengan fokus. Santri baru disuguhi pelajaran bahasa Arab setiap hari sebelum nantinya akan mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu syariah.Â
Saat belajar bahasa Arab itu, betapa sulitnya saya menyesuaikan diri untuk menghafal kosa kata dan mempraktekannya. Tiga kosa kata dalam sehari saja dirasa keberatan waktu itu, sulit nempelnya di otak.Â
Akhirnya, saya harus ngajak teman untuk menemani dan membimbing di awal-awal masuk pesantren. Teman yang membimbing saya adalah siswa yang baru lulus MTs, artinya berada di bawah saya usianya. Apakah harus gengsi belajar sama dia? Jelas tidak. Ilmu tidak diukur dengan usia.
Dari sana bisa belajar, berjuang dan beradabtasi dengan berbagai lika-liku pesantren. Hal yang terpenting bagi saya adaah doa orang tua. Saat ada kesempatan menelepon orang tua lewat HP ustaz, yang pasti dibicarakan adalah doa mereka.Â
Walaupun saya tahu, tanpa diminta pun doa orang tua selalu membanjiri anaknya. Namun dengan meminta doa kepada orang tua saja, entah kenapa semangat bisa bertambah dan belajar bisa menjadi lancar.
Alhasil, dari kebiasaan itu, belajar kepada siapapun tanpa malu dan gengsi, selalu meminta doa kepada orang tua dan tentu dengan semangat tanpa putus, saya bisa melewati semua rintangan di pesantren. Kemampuan bahasa Arab bisa melebihi santri lama, begitu juga pengetahuan agamanya.Â
Tinggal akhlak dan adab yang harus terus dipupuk setiap saat. Saat terus belajar, maka akan merasa terus kekurangan ilmu. Namun saat berhenti belajar, ada rasa bahwa ilmu sudah cukup banyak didapat. Merasa kekurangan ilmu adalah pendorong untuk lebih giat dalam menuntut ilmu kepada siapa dan dimanapun.
Dari semua perkara, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah yang utama. Serendah apapun posisi seseorang, dengan belajar yang benar maka bisa mengantarkannya pada kedudukan yang lebih baik.Â
Dalam hal apapun. Yang penting, dalam belajar jangan menenal gengsi dan malu. Jika punya gelar dan jabatan, simpan dulu gelar dan jabatannya. Belajarnya dengan merendah, karena ilmu ibarat air yang akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Adapun soal latar belakang, tak usah dipikirkan. Saya merasa latar belakang semi militer ini adalah anugerah.Â
Alhamdulillah Allah berikan kesempatan untuk belajar dan merasakan dunia ketarunaan, dunia beladiri, dunia olahraga, dunia rescue, dunia rimba, dunia jurnalis dan yang lebih penting adalah dunia santri. Kullu hadza, min fadli rabbii .... Semangat terus buat kalian yang mau masuk pesantren tapi masih mikir latar belakang.