Mohon tunggu...
Atep Abdul Rohman
Atep Abdul Rohman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Santri dan Mahasiswa

Pria asal Bandung yang hobi naik gunung tapi takut ketinggian.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Lulusan SMA Semi Militer Banting Setir Masuk Pesantren, Gimana Ceritanya?

2 Agustus 2022   07:14 Diperbarui: 2 Agustus 2022   07:40 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perubahan dari seorang jujitsuka, taruna hingga menjadi santri. (Dokumentasi pribadi)

Menjadi santri adalah sebuah harapan sendiri bagi sebagian orang, terutama pemuda. Tidak sedikit para pemuda-pemudi ingin masuk pesantren dan belajar agama dengan lingkungan yang islami, dan tentunya bergelar santri. 

Para orang tua pun banyak yang menginginkan anaknya untuk mondok di pesantren, mengingat zaman sekarang pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling efektif untuk mengkader insan-insan menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak dan berilmu.

Namun, sebagian pemuda yang terlanjur masuk sekolah umum tanpa pendalaman agama, rasanya tidak mungkin lagi dirinya bisa mengenyam pendidikan di pesantren. Faktor usia dan keterlambatan pendidikan agama jelas menjadi alasan yang utama. Keinginannya untuk belajar agama terhalang oleh gengsinya. Padahal, kesempatan selalu terbuka.

Saya ingin berbagi pengalaman saat pertama masuk pesantren di usia 18 tahun. Kala itu, saya baru lulus SMA di salah satu sekolah semi militer. Begitu banyak pertanyaan yang datang tentang kelanjutan studi yang akan saya jalani usai lulus dari Lemdik Taruna. 

Apalagi karena saya pernah menjabat sebagai Ketua OSIS --tanpa bermaksud menyombongkan diri--, tentu teman-teman yang lain mengira bahwa saya akan daftar di sekolah tinggi negeri, sekolah kedinasan atau langsung daftar menjadi anggota TNI/POLRI. Namun, begitu mudah saya jawab, "Saya mau masuk pesantren." TITIK.

Apakah ada kesulitan saat Taruna banting setir jadi santri? Mengingat latar belakang yang jauh berbeda, tentu harus beradaptasi lagi dengan lama.

Setelah lulus SMA, saya menyiapkan diri untuk ikut tes penerimaan santri baru di Ponpes Dalwa, salah satu pesantren yang terkenal sebagai pusat pembelajaran bahasa Arab di tanah air. 

Saya pilih pesantren itu agar lisan lebih cepat terbiasa mengucap bahasa Arab, karena di sana para santri diwajibkan berinteraksi memakai bahasa Arab setiap waktunya. 

Dengan berlatih bicara bahasa Arab, saya berharap lidah ini tidak kaku lagi setelah sejak SMP hingga SMA tidak dibiasakan mengucapkan lafadz dari susunan huruf hijaiyah itu.

Sebelum berangkat, saya minta kepada teman yang sudah lama belajar agama di pesantren dekat kampung halaman untuk mengajarkan baca kitab kuning. Saat mencoba, betapa pusingnya belajar membaca arab gundul. 

Teman saya juga mengomentari bacaan Al-Qur'an saya. Katanya, "Balajar Al-Qur'an dulu yang bener." Akhirnya, saya belajar kepada teman sebaya itu bacaan Al-Qur'an yang benar. Tentu tanpa rasa malu dan gengsi. Saya sebut teman yang mengajari Al-Qur'an itu adalah guru saya. Selamanya.

Belum lama belajar, saya pun berangkat dengan berbagai doa mengiringi. Saat tes tiba, ternyata saya bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penguji baca kitab. Walupun dengan pemahaman yang masih dangkal tentunya. Dari jawaban yang saya berikan, penguji menempatkan saya di kelas 3 ibtida (setara dengan 3 SD, tapi dengan mata pelajaran yang berbobot). Lumayan, bisa loncat 2 kelas.

Setelah masuk pesantren, saya belajar bahasa Arab dengan fokus. Santri baru disuguhi pelajaran bahasa Arab setiap hari sebelum nantinya akan mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu syariah. 

Saat belajar bahasa Arab itu, betapa sulitnya saya menyesuaikan diri untuk menghafal kosa kata dan mempraktekannya. Tiga kosa kata dalam sehari saja dirasa keberatan waktu itu, sulit nempelnya di otak. 

Akhirnya, saya harus ngajak teman untuk menemani dan membimbing di awal-awal masuk pesantren. Teman yang membimbing saya adalah siswa yang baru lulus MTs, artinya berada di bawah saya usianya. Apakah harus gengsi belajar sama dia? Jelas tidak. Ilmu tidak diukur dengan usia.

Dari sana bisa belajar, berjuang dan beradabtasi dengan berbagai lika-liku pesantren. Hal yang terpenting bagi saya adaah doa orang tua. Saat ada kesempatan menelepon orang tua lewat HP ustaz, yang pasti dibicarakan adalah doa mereka. 

Walaupun saya tahu, tanpa diminta pun doa orang tua selalu membanjiri anaknya. Namun dengan meminta doa kepada orang tua saja, entah kenapa semangat bisa bertambah dan belajar bisa menjadi lancar.

Alhasil, dari kebiasaan itu, belajar kepada siapapun tanpa malu dan gengsi, selalu meminta doa kepada orang tua dan tentu dengan semangat tanpa putus, saya bisa melewati semua rintangan di pesantren. Kemampuan bahasa Arab bisa melebihi santri lama, begitu juga pengetahuan agamanya. 

Tinggal akhlak dan adab yang harus terus dipupuk setiap saat. Saat terus belajar, maka akan merasa terus kekurangan ilmu. Namun saat berhenti belajar, ada rasa bahwa ilmu sudah cukup banyak didapat. Merasa kekurangan ilmu adalah pendorong untuk lebih giat dalam menuntut ilmu kepada siapa dan dimanapun.

Dari semua perkara, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah yang utama. Serendah apapun posisi seseorang, dengan belajar yang benar maka bisa mengantarkannya pada kedudukan yang lebih baik. 

Dalam hal apapun. Yang penting, dalam belajar jangan menenal gengsi dan malu. Jika punya gelar dan jabatan, simpan dulu gelar dan jabatannya. Belajarnya dengan merendah, karena ilmu ibarat air yang akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Adapun soal latar belakang, tak usah dipikirkan. Saya merasa latar belakang semi militer ini adalah anugerah. 

Alhamdulillah Allah berikan kesempatan untuk belajar dan merasakan dunia ketarunaan, dunia beladiri, dunia olahraga, dunia rescue, dunia rimba, dunia jurnalis dan yang lebih penting adalah dunia santri. Kullu hadza, min fadli rabbii .... Semangat terus buat kalian yang mau masuk pesantren tapi masih mikir latar belakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun