Aprilia takut jika kedoknya terbongkar. Ia selaku sekretaris proposal yang dirancang mamanya itu. Semua susunan panitia hanya sekadar nama. Yang asli hanya mereka berdua sedangkan delapan belas nama lainnya yang tercantum palsu. Licik sekali. Awalnya, Aprilia enggan menuruti perintah mamanya. Tetapi ia juga merasa kasihan, mamanya menjalani hidup ini seorang diri. Untuk kebutuhan kuliah saja ia masih harus meminta kepada mamanya. Belum lagi dua adiknya, untuk biaya sekolah dan uang jajan, kebutuhan hidup, dan lain sebagainya. Ia paham, dari jalur mana lagi mamanya bisa mendapat uang banyak. Jika pun menolak ajakan mamanya, ia harus bisa menghasilkan uang setiap bulan. Tidak mungkin. Seorang mahasiswi semester tiga bisa seproduktif itu. Ia sadar belum punya skill yang bisa diandalkan, atau menciptakan produk yang bisa dijual. Belum ada. Aprilia tak lebih seorang mahasiswi centil yang terbiasa dimanja. Â
Suatu ketika, Aprilia pernah dimintai sumbangan oleh kegiatan BEM di kampusnya. Sebuah kegiatan bakti sosial memperingati hari Ibu. Ia dipaksa untuk bisa menyumbang dalam jumlah banyak. Mengingat mamanya seorang anggota dewan. Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang banyak berprofesi sebagai wirausaha atau sebagai pegawai negeri biasa di daerah. Karena dipojokkan oleh teman-temannya, ia mengadu kepada mamanya. Akhirnya mamanya bersedia menyumbangkan dana. Awalnya dijanjikan senilai dua juta rupiah. Tetapi karena berbagai alasan, mamanya hanya memberi satu juta rupiah. Dan, ironisnya uang itu sampai kepada panitia senilai lima ratus ribu rupiah. Tersebab dipangkas oleh Aprilia sendiri. Â
"Diberi judul apa, Ma, proposal ini?"
"Proposal Pembangunan Masjid!" pungkas Nyi Rabiah lega.
___________
[1] Kerja bakti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H