Ki Ragil dan istrinya menyambut kedatangan Ki Ronggo beserta sang istri. Mempersilakan duduk sambil memanggil santri menyediakan minuman kesukaan sang kakak: teh pahit tanpa gula, segelas besar. Baginya itu menu wajib yang harus dihidangkan saat sore seperti itu. Jika malam maka berganti kopi hitam pekat nun panas yang baru menguap dari rebusan panci. Ki Ragil menebak kedatangannya pasti hendak membicarakan soal kasus Nyi Rabiah. Bukan yang lain. Tidak mungkin untuk meminta obat suwuk. Â
"Kalian sudah nonton berita, kan?" Ki Ronggo membuka obrolan sore, "Sial memang si Rabiah itu!"
"Tenang Mas, sabar..."
Ki Ronggo membuncah seketika. Ia betul-betul tidak rela kasus ini terjadi. Prediksi buruknya kini menjadi kenyataan. Sudah menjadi risiko orang besar dan terkenal. Sekecil apa pun kesalahannya pasti akan terekspos besar-besaran. Mirisnya, keluarga yang tidak tahu-menahu ikut kena imbasnya. Padahal yang berulah satu orang, lalu satu keluarga, bahkan satu desa bisa ikut tergaruk. Â
Itu sebabnya, Ki Ronggo memilih berdiam diri di pesantren, begitu pula Ki Ragil. Menurut mereka lebih baik di dalam tapi bermanfaat daripada di luar tapi membuat ulah tak karuan. Tiga bersaudara putra-putri Ki Sepuh berbeda haluan. Dan Nyi Rabiah yang paling ekstrem dari ketiganya. Tetapi kemudian, siapa kira, kalau Ki Ronggo dan Ki Ragil pun terjerat kasus serius di negeri ini. Sehingga Nyi Rabiah tersenyum seperti mereka berdua tersenyum kecut menanggapi kasus Nyi Rabiah.
***
"Tolong teman-teman wartawan harap tenang."
Seorang asisten membantu Nyi Rabiah berjalan menuju mobilnya. Kerumunan wartawan membanjir. Sejak tadi mereka menunggu di pintu keluar Polres Metro Jakarta Utara. Nyi Rabiah baru saja diinterogasi terkait kasus yang menimpanya. Beberapa orang wartawan terus mengejar. Saling dorong-mendorong mencari informasi terbaru. Bahkan ketika Nyi Rabiah sudah berhasil masuk mobilnya, mereka tetap memburu. Alat rekam dan sebagainya dimasukkannya melalui kaca mobil. Memaksa untuk mewawancarai tokoh pelaku dalam kasus ini. Namun, Nyi Rabiah tetap bungkam tak berkata satu kata pun. Â
Sebelum kasus ini terungkap, Nyi Rabiah santai-santai saja. Ia yakin kalau niat bulusnya berhasil dengan sempurna. Pasalnya, ia tidak mencari mangsa calon korban dari orang lain yang tak dikenal. Ia memanfaatkan teman-teman barunya sesama anggota dewan. Mereka pun tanpa curiga. Tulus membantu Nyi Rabiah dengan senang hati. Kasus ini terungkap ketika Jasrom, seorang donatur dan anggota dewan, bertanya tentang proyek yang digarapnya. Jasrom kaget mendengar penuturan Nyi Rabiah bahwa proyeknya itu belum dikerjakan sama sekali. Padahal sudah tiga tahun dihitung sejak awal penggalian dana. Akhirnya Jasrom semakin ragu, ia mengunjungi lokasi yang dimaksud dalam proposal yang pernah diajukan kepadanya. Dan, betapa nahasnya dia, merasa ditipu oleh sosok teman yang memiliki lembaga pesantren itu. Karena tidak ingin menambah korban-korban baru lainnya, ia segera laporkan kasus ini kepada ke polisi.
Nyi Rabiah terpaksa melakukan agenda licik ini. Ia sudah tidak tahan hidup seorang diri. Suaminya meninggal ketika pesantren baru saja didirikan. Ketika itu belum sempat diresmikan. Hanya memiliki lima ratus santri baru. Kini jumlah santrinya sudah mencapai seribu lima ratus santri dari berbagai jenjang pendidikan, putra dan putri. Semua hasil jerih payahnya sendiri. Suaminya yang semula memiliki impian dan rencana besar wafat sebelum semuanya terealisasikan. Apa yang dicapai Nyi Rabiah hanyalah 40% pencapaian dari impian suaminya itu. Masih banyak yang dalam proses, akan dikerjakan, dan belum dikerjakan. Target yang hendak dicapainya, menjadikan Pesantren Al-Khairu II sebagai lembaga pendidikan berbasis internasional yang memiliki santri dari berbagai negeri, memiliki hotel berbintang, gedung mal sebagai pusat perbelanjaan, sampai terminal bus sendiri. Â
"Ma, nanti kalau kita ditangkap polisi bagaimana?"