Istrinya memberi usul. Ki Ragil sudah mempunyai agenda itu. Sekalipun tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti di rumah Ki Ronggo. Ia sudah berangan-angan seakan sudah sampai di ambang pintu kakak pertamanya itu. Disapa oleh para santri dengan mencium tangan, lalu disuruh masuk, tak lama Ki Ronggo menemui di ruang tamu, duduk bersama, mengepulkan asap bersama. Selanjutnya diam dalam keheningan suara. Seakan keduanya berbicara melalui ketajaman batin. Asap rokok yang keluar berubah menjadi kata-kata yang saling berdialog antarkeduanya. Kemudian seorang santri nongol menyuguhkan kopi hitam hangat dan teh pahit. Ki Ronggo meminumnya terlebih dahulu. Disusul Ki Ragil. "Ya sudah, lihat nanti saja bagaimana." Demikian kira-kira tanggapan Ki Ronggo atas kasus Nyi Rabiah. Â
"Pasti Ki Ronggo sudah tahu, Umi."
Ki Ragil paham sekalipun kakaknya hanya bergelut pada kitab kuning dan kitab suci, tetapi ia punya banyak pewarta berita. Istri Ki Ronggo sama dengan istrinya; pencinta infotainment. Kalau keduanya bertemu, bukan masalah keluarga dan agama yang dibahas, melainkan pernikahan dan perceraian artis terkini. Selain itu, Tohar, putra pertama Ki Ronggo adalah seorang wartawan koran nasional di Ibu Kota. Jadi, kalau ada berita apa pun, putranya itu selalu memberinya informasi segera. Atau sebaliknya, Ki Ronggo yang mengawali mengirim sms, "Ada info apa hari ini?" Jawaban anaknya sudah mewakili koran-koran yang terbit hari itu dan reportase liputan berita televisi. Â
Untuk kali ini, Ki Ragil angkat tangan. Menyerahkan seluruhnya pada keduanya. Ia pesimis. Tidak akan berhasil untuk mendamaikan keduanya. Padahal, mereka adalah panutan banyak orang. Tetapi mengapa memiliki borok yang belum juga disembuhkan? Â
Ki Ragil termasuk sosok yang netral. Tidak condong ke satu pihak secara subjektif. Siapa yang benar dari banyak sisi, itulah yang didukung. Bukan harus keluarganya dan santrinya. Jika mereka punya salah, Ki Ragil tidak kasihan untuk menghukumnya salah. Seperti kasus baru-baru ini, masyarakat desa terganggu dengan bau sampah. Setelah ditelisik ternyata para santrinya di Pesantren Al-Khairu III membuang sampah di belakang bangunan mereka, mepet dengan permukiman warga. Hingga menggunung. Esoknya, sebelum warga desa mengadakan demo, Ki Ragil mendatangi rumah mereka satu persatu, memohon maaf sekaligus memberi tiga liter beras dan dua kantung minyak goreng. Sedangkan santrinya dihukum melakukan roan[1] di dalam dan luar pesantren setiap hari berturut-turut selama satu bulan. Â
Kini dalam kasus Nyi Robiah, Ki Ragil diam. Ingin membela Ki Ronggo, tetapi Ki Ronggo pun sebenarnya salah karena sebagai kakak tidak membimbing adiknya. Juga ingin membela Nyi Robiah, tetapi ia pun sebenarnya paham apa yang yang semestinya dilakukan. Ketidakberpihakan Ki Ragil itulah sebuah sikap netralnya. Â
"Assalamualaikum!"
Suara berat itu terdengar dari luar pintu. Â
Ki Ragil dan istrinya menjawab segera. Suaranya tidak asing. Suara yang jarang terdengar kecuali beberapa kali dalam seminggu melalui toa masjid. Serak-serak basah. Menunjukkan usianya yang bukan lagi muda. Suara itu hanya mengucapkan salam. Lalu berdiam tanpa suara lanjutan.
"Eh, Mas, Mbak. Silakan masuk..."
Tamu itu tak lain Ki Ronggo dan istrinya. Jarang-jarang keduanya berkunjung. Bahkan bisa dihitung dalam setahun. Yang sering, sang adik dan istrinya ke rumah sang kakak. Mengajak pergi bersama ketika kebetulan ada undangan serupa, entah hajatan tetangga atau acara rakyat sedekah bumi. Pernah sesekali istri Ki Ronggo mengunjungi Pesantren Al-Khairu III mencari Ki Ragil. Dikira hendak mengajak shopping istrinya ke pasar kota, ternyata hal lain, minta obat suwuk. Â