Mohon tunggu...
Atunk F. Karyadi
Atunk F. Karyadi Mohon Tunggu... Editor - Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Suka yang klasik dalam kata, dan futuristik dalam kerja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semarak Ngaji Online Muslim Tradisionalis

9 Oktober 2020   14:45 Diperbarui: 9 Oktober 2020   15:07 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam hal ini, Gus Ulil di samping menekankan pengajian rasa yang berakar pada tasawuf akhlaki ala Al-Ghazali sesekali juga merambah pada hakikat. Ia menerangkan bahwa ilmu yang hakiki (esensial) memberikan pemahaman bahwa maksiat atau perbuatan asusila adalah racun yang merusak, serta meyakini kehidupan Akhirat lebih baik daripada Dunia. Ciri-ciri orang yang memiliki ilmu hakikat ini senantiasa bertambah rasa takut dan berharapnya (khauf wa raja’) kepada Allah SWT.


Dengan demikian jelas bahwa ada tiga tahap mempelajari Islam; syariat (ritual/beginner), tarekat tasawuf (spiritual/intermediate), dan hakikat (puncak rasa/advanced). Ketiga tahapan inilah yang selama ini digaungkan oleh muslim tradisional yang bersumber pada keilmuan di pesantren, berbasis kitab klasik serta dilengkapi dengan legitimasi sanad dari para guru pendahulunya.

Bukan Kompetisi
Tentu di luar Gus Ulil dan Kang Oman banyak juga tokoh muslim tradisionalis lain yang mengaji secara daring. Di antaranya; Kiai Abdul Moqsith Ghazali, Ustaz Mukti Ali Qusyairi, Ajengan Ahmad Ruhyat Hasby, Buya Syakur Yasin, Prof. Machasin, Habib Novel bin Jindan, dan lainnya. Tak bisa ditinggalkan pula pengajian Gus Baha.  


Pun demikian, di luar kelompok muslim tradisionalis banyak yang mengadakan acara serupa meskipun tidak berbasis kepada teks kitab klasik yang utuh melainkan tematik. Sebut saja seperti Ust Abdul Somad, Ust Adi Hidayat, Ust Khalid Basalamah, Dr. Syafiq Riza Basalamah, dan lainnya.


Lalu pertanyaannya, apakah semarak pegajian online ini hadir untuk saling berkompetisi satu sama lain? Rasanya terlalu melelahkan dan buang-buang energi jika disebut kompetisi. Fenomena ini lebih layak diapresiasi sebagai ajang kolaborasi dan sinergi. Bukan mencari siapa yang menang dan kalah tapi bagaimana menjadi jiwa-jiwa yang tenang dan mampu menenangkan dengan cara-cara yang tenang.


Saya kira, kegundahan Madun terjawab. Ia rindu akan pengajian yang penuh ketenangan. Ia berharap tokoh-tokoh agama di media sosial menyajikan konten-konten positif, pengajian penuh rasa dan bukan ujaran kebencian atau ajang memperkeruh kebhinekaan yang selama ini dibangun bersama. Jangan-jangan Madun adalah kita?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun