Sebut saja namanya Madun. Sejak awal 2020, ia memutuskan untuk tidak aktif di media sosial Facebook. Alasannya cukup simpel, “Terlalu gaduh dan banyak sampah informasi di dalamanya!”.
Tiba-tiba, tak lama kemudian Madun kembali aktif. Ketika ditanya, ia mengaku terbujuk oleh temannya yang bilang, “Di Facebook ada pengajian kitab tasawuf secara rutin yang diampu oleh Gus Ulil dan Kang Oman.”
Seperti diketahui, setiap seminggu sekali tepatnya pada malam Jumat, Gus Ulil Abshar Abdalla menggelar pengajian secara daring di akun pribadi Facebook-nya. Materinya didahului dengan kajian kitab Al-Munqidz min al-Dhalal, lalu dilanjut kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Keduanya sama-sama karya Pemikir Agung Islam, al-Imam al-Ghazali (w.111).
Sedangkan setiap dwimingguan, pada malam Sabtu, Profesor Oman Fathurahman juga mengadakan tayangan siaran langsung di Facebook dan Twitter-nya bertajuk “Ngariksa” atau ngaji manuskrip kuno Nusantara. Kitab primernya merupakan manuskrip Ithaf al-Dhaki karya al-Imam a-Kurani (w.1145).
Gus Ulil memulai pengajiannya sejak 2016, sedangkan Kang Oman 2019. Di pekan terakhir September 2020 kemarin, secara kebetulan keduanya sama-sama mengkhatamkan kitab yang dibaca. Sebuah kejutan pula, ternyata transmisi intelektual atau sanad keduanya sama-sama bertemu di al-Imam al-Kurani. Bedanya, Gus Ulil melalui para kiai di Jawa Tengah sedangkan Kang Oman melalui banyak ajengan di Jawa Barat.
Ngaji Rasa
Salah satu kutipan Kang Oman yang banyak digemari warganet berbunyi “Beragama tidak cukup dengan cara melainkan juga rasa”. Ini bukan sekadar kata bijak tapi juga mengandung konsep yang amat dalam soal ibadah dan beragama pada umumnya.
Jamak kita jumpai, perdebatan ringan soal ritual merambah pada aspek sosial. Khilafiyah (perbedaan) tentang Qunut Subuh misalnya, masih terjadi. Warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama yang dikenal tradisionalis memegang kukuh kesunahan melaksanakan Qunut. Sedangkan Muhammadiyah yang notabene modernis memilih untuk tidak Qunut. Ungtungnya, kini khilafiyah semacam ini tak selarut dulu yang terus melahirkan “ketegangan”.
Belum lagi antara Muslim Salafi dan non-Salafi. Perdebatan soal busana cingkrang bagi laki-laki dan cadar bagi perempuan tidak pernah usai. Si Jilbab panjang melirik sinis kerudung kebaya ala kadarnya, dan sebaliknya. Begitu juga pergolakan Sunni-Syiah yang padahal sudah banyak buku dan dialog menjembatani ukhuwah atau persaudaraan di antara keduanya.
Sebanrnya, ulama terdahulu sudah merumuskan hal-hal khilafiyah semacam ini secara lengkap. Dokumentasi dalam kitab-kitab fikih tersaji utuh. Yang kurang hanyalah mengaji “rasa”. Bahwa ketika ritual berbeda dan tidak ada titik temu, rasa sesama hamba Tuhan bisa dipertemukan.
Memegang teguh ajaran atau ritual dari masing-masing golongan amat penting, tapi jika sampai menimbulkan ketegangan apalagi permusuhan tampaknya ada yang perlu dikoreksi ulang. Agama lahir sebagai solusi, bukan benalu di sana-sini.
Dalam hal ini, Gus Ulil di samping menekankan pengajian rasa yang berakar pada tasawuf akhlaki ala Al-Ghazali sesekali juga merambah pada hakikat. Ia menerangkan bahwa ilmu yang hakiki (esensial) memberikan pemahaman bahwa maksiat atau perbuatan asusila adalah racun yang merusak, serta meyakini kehidupan Akhirat lebih baik daripada Dunia. Ciri-ciri orang yang memiliki ilmu hakikat ini senantiasa bertambah rasa takut dan berharapnya (khauf wa raja’) kepada Allah SWT.
Dengan demikian jelas bahwa ada tiga tahap mempelajari Islam; syariat (ritual/beginner), tarekat tasawuf (spiritual/intermediate), dan hakikat (puncak rasa/advanced). Ketiga tahapan inilah yang selama ini digaungkan oleh muslim tradisional yang bersumber pada keilmuan di pesantren, berbasis kitab klasik serta dilengkapi dengan legitimasi sanad dari para guru pendahulunya.
Bukan Kompetisi
Tentu di luar Gus Ulil dan Kang Oman banyak juga tokoh muslim tradisionalis lain yang mengaji secara daring. Di antaranya; Kiai Abdul Moqsith Ghazali, Ustaz Mukti Ali Qusyairi, Ajengan Ahmad Ruhyat Hasby, Buya Syakur Yasin, Prof. Machasin, Habib Novel bin Jindan, dan lainnya. Tak bisa ditinggalkan pula pengajian Gus Baha.
Pun demikian, di luar kelompok muslim tradisionalis banyak yang mengadakan acara serupa meskipun tidak berbasis kepada teks kitab klasik yang utuh melainkan tematik. Sebut saja seperti Ust Abdul Somad, Ust Adi Hidayat, Ust Khalid Basalamah, Dr. Syafiq Riza Basalamah, dan lainnya.
Lalu pertanyaannya, apakah semarak pegajian online ini hadir untuk saling berkompetisi satu sama lain? Rasanya terlalu melelahkan dan buang-buang energi jika disebut kompetisi. Fenomena ini lebih layak diapresiasi sebagai ajang kolaborasi dan sinergi. Bukan mencari siapa yang menang dan kalah tapi bagaimana menjadi jiwa-jiwa yang tenang dan mampu menenangkan dengan cara-cara yang tenang.
Saya kira, kegundahan Madun terjawab. Ia rindu akan pengajian yang penuh ketenangan. Ia berharap tokoh-tokoh agama di media sosial menyajikan konten-konten positif, pengajian penuh rasa dan bukan ujaran kebencian atau ajang memperkeruh kebhinekaan yang selama ini dibangun bersama. Jangan-jangan Madun adalah kita?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H