“Loh, itu kan menyiasati nunggu iklan yang lewat.”
“Emangnya kalo nonton iklan kenapa, Bu?” adikku yang baru duduk di bangku SMP ikut diskusi."
“Bawaannya mau belanja terus, nanti kalau uangnya habis gimana?”
Ibu lalu kembali ke tayangan semula, mengemil lagi dan lagi sampai gemuk.
Aku jadi terbesit untuk mengangkat kakek peminta-minta di pinggir jalan itu ke layar televisi. Namun lagi-lagi, aku tak tahu bagaimana caranya. Memang sih, aku punya teman-teman insan pertelevisian tapi apakah mereka mau mengangkat kisah ini? Setahuku, mereka lebih banyak memburu berita-berita yang bersifat komersial. Seperti, prestasi dan aktivitas pejabat tinggi, atau konflik partai politik yang berkepanjangan.
“Bob, lihat nih!”
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Tuh, masih banyak orang-orang miskin di negeri kita. Makanya, kamu jadi menteri sana, biar bisa bantu mereka.”
Aku memang tidak bisa meneteskan air mata seketika. Barulah di atas kasur, sebelum mataku terpejam, pipiku basah dengan linangan air mata. Betul kata ibu, di negeri ini masih banyak kaum dhuafa, dan tetap saja tidak ada yang mengurusnya sekalipun kabinet terus berganti—sekadar berganti nama bukan kinerja. Orang seperti kakek peminta-minta di pinggir jalan itu pun tidak satu jumlahnya. Pasti bisa dijumpai di mana saja.
***
“TUMBEN kamu terlambat, Bob?”