Mohon tunggu...
ATQIYATUS SHOLIHAH
ATQIYATUS SHOLIHAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN KHAS JEMBER

saya suka membaca novel dan juga menjadi editor

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Akar Pemikiran Murjiah dalam Perkembangan Islam

15 Oktober 2024   09:16 Diperbarui: 15 Oktober 2024   09:16 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Murjiah merupakan salah satu aliran dalam sejaran pemikiran islam yang muncul sebagai respon atas berbagai problem teologis dan politik pada awal perkembangan islam, tepatnya pada abad ke-1 Hijriah, terutama setelah peristiwa besar , khususnya setelah terbunuhnya Khalifah Ustman Bin Affan pada tahun 656 M dan perpecahan umat islam yang terjadi antara kelompok Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abi Sofyan.  Murjiah berasal dari kata"Irja" yang berarti "menunda" atau "menangguhkan", maksudnya mengacu pada orang yang menunda penghakiman terhadap pelaku dosa besar hingga hari kiamat, dengan menyerahkan penilaian akhir kepada Allah, bukan manusia.

Latar Belakang Munculnya Pemikiran Murjiah

Pada masa itu, umat islam menghadapi konflik yang besar, seperti Perang Jamal dan Perang Siffin, yang menyebabkan perpecahan antara kelompok politik dan kelompok teologis. Dampak dari konflik ini adalah timbulnya pertanyaan mengenai status keimanan seseorang, terutama bagi tokoh yang terlibat di dalam perang tersebut. Dalam kondisi tersebut, Pemikiran murjiah fokus pada keyakinan bahwa iman lebih penting daripada amal perbuatan. Mereka berpendapat bahwa seseorang tetap dianggap mukmin karena ia mengakui Allah dan Rasul-Nya, meskipun ia melakukan dosa besar. Berbeda dengan pandangan Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir. Dengan demikian, Murjiah menekankan pentingnya harapan akan menyesali Allah dan menolak untuk menghakimi sesama Muslim berdasarkan tindakan mereka. 

Sikap ini bertolak belakang dari kelompok Khawarij yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar itu otomatis keluar dari agama Islam. Bagi Murjiah, amal buruk memang termasuk pelanggaran, tetapi hal itu tidak membatalkan keimanan seseorang. Mereka menghimbau untuk menunda penghakiman terhadap amal perbuatan sampai Allah sendiri  yang memberikan keputusan di hari kiamat nanti. Dengan demikian, Murjiah menekankan toleransi dan menghindari penghakiman manusia terhadap orang lain.

Klasifikasi Golongan Murjiah

Aliran Murjiah dalam sejarah pemikiran islam secara garis besar terbagi menjadi 2 kelompok yaitu Gologan Moderat dan juga Golongan Ekstrem. Klasifikasi ini muncul sebagai tanggapan terhadapap perbedaan pandangan mengenai kedudukan pelaku dosa besar dan juga bagaimana iman serta amal dalam berinteraksi dalam konteks teologi Islam.

1. Golongan Moderat

    Golongan Moderat ini adalah Al Murjiah As-Sunah yang terdiri dari para fuqoha dan muhaditsin. Tokoh terkenal yang termasuk kedalam golongan Murjiah Moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Said bin Zubair dan para ahli hadis lainnya. Golongan ini meyakini bahwa sesorang yang melakukan dosa besar tidak langsung menjadi kafir dan dan tidak akan selamanya di neraka. Hukuman akan ditetapkan sesuai besarnya dosa, dan ada kemungkinan Allah mengampuni dosa-dosanya. 

2. Golongan Ekstrem

    Golongan Moderat ini di pimpin oleh Al-Jahamiyah yaitu seorang pengikut Jaham bin Shofwan. Golongan ini meyakini bahwa iman itu terletak sepenuhnya dalam hati tidak dipengaruhi ucapan atau tindakan, dengan demikian seseorang yang mengaku beriman kepada Allah dan kemudian secara lisan mengumumkan kekufuran tidaklah kafir karena iman dan kekafiran keduanya terdapat didalam hati.

Golongan ini terdiri dari:

a. Al-Jahmiyah 

 Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Allah, dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya di hati, dan apabila mati tetap menyandang predikat mukmin yang sempurna. 

b. Al-Salihiyah

Golongan ini berpendapat bahwa beriman berarti mengenal Tuhan dan tidak beriman berarti tidak mengenal Tuhan. 

c. Al-Yunusiah

Golongan ini berpendapat bahwa iman berarti mengenal Allah, berserah diri kepada-Nya, tidak sombong terhadap-Nya, dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, setan adalah makhluk yang mengenal Allah, meskipun ia dianggap kafir karena kesombongannya. Orang yang taat hatinya dan mencintai Allah tidak akan terlibat dalam perbuatan maksiat. Sekalipun mereka melakukan maksiat, namun maksiat itu tidak melemahkan keimanan mereka. Padahal, orang beriman masuk surga hanya karena imannya, bukan karena ketaatan atau amal shalehnya. 

d. Al-Ghasaniyah

Golongan ini berpendapat bahwa konsep iman menurutnya berarti mengenal Tuhan dan Rasul-Nya secara keseluruhan, bukan secara terperinci. Menurut mereka prinsip keimanan tidak bertambah dan tidak berkurang. Lantas jika ada yang berkata, “Saya tahu Allah haramkan makan daging babi, tapi saya tidak tahu apakah daging babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap beriman, bukan kafir.

Dampak Pemikiran Murjiah terhadap Kehidupan Beragama di Era Modern

1. Toleransi Terhadap Dosa

Murjiah mengajarkan orang yang melakukan dosa besar tetap dianggap mukmin asalkan ia masih percaya kepada Allah. Cara pandang ini memberikan harapan kepada mereka yang berbuat kesalahan, memungkinkan mereka diterima oleh masyarakat Islam, dan mendorong mereka untuk bertaubat tanpa merasa terasing. 

2. Kerusakan Hukum Syariat

Dampak lain dari pemikiran Murji’ah adalah hilangnya hukum-hukum Islam. Karena diyakini bahwa perbuatan tidak mempengaruhi keimanan,mungkin banyak orang merasa tidak perlu mematuhi syariat, yang dapat mengarah pada kerusakan moral dan spiritual di tengah masyarakat Muslim. Hal ini dapat mengakibatkan kemaksiatan yang lebih besar dan pengabaian terhadap nilai-nilai agama.

 
       Secara keseluruhan, pemikiran Murji’ah memiliki dampak pemikiran yang beragam pada kehidupan beragama di era modern. Sementara itu  memberikan harapan bagi individu yang berdosa, juga membuka celah bagi kerusakan agama dan perpecahan umat. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengkritisi pemikiran ini guna menjaga integritas dan kesatuan umat Islam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun