"Karena aku sayang kamu" teriak Indira.
"Kamu tahu aku. Aku bekerja mati-matian di tempat aku kerja hampir 10 tahun. Aku kerja dari bawah, sampai sekarang aku punya ruangan sendiri, punya assisten sendiri. Aku bangga dengan apa yang aku raih. Aku bangga dengan karirku, Kamu tahu itu, Kamu mestinya tahu itu" kata Indira masih setengah berteriak. Surya hanya terdiam, memandang jalan.
"Terus kamu, laki-laki yang aku sayang, tiba-tiba membeli tanah di Negara antah berantah" lanjut Indira. "Aku tahu kamu beli tanah itu dengan uang kamu sendiri, dan aku gak berhak marah. Tapi kamu tahu gak apa yang aku artikan? Kamu tahu gak implikasinya apa?" kata Indira.
"Tadaaaa.... Aku beli tanah buat kita. Karena kita saling mencintai, kita akan tinggal bersama di sini. Masa bodoh dengan karir kamu. Itu yang aku artikan" kata Indira. Surya terdiam, terkejut mendengar jawaban Indira.
"Ini bukan soal aku gak mau jadi petani atau hidup sederhana. Ini tentang kamu, laki-laki yang aku sayang, menentukan masa depanku dengan seenaknya. Kamu tahu kenapa aku nangis? Karena aku bingung. Aku sayang kamu, aku ingin hidup dengan kamu. Tapi dengan hidup dengan kamu, apa aku harus meninggalkan apa yang aku banggakan? Apa yang aku cita-citakan?" kata Indira lirih.
Mobil itu memasuki appartemen tempat Indira tinggal. Setelah memakirkan mobil, sambil menatap Indira, Surya berkata "Santai saja, kamu gak usah mikir yang jauh-jauh. Yang terpenting adalah, kita saling mencintai. Masalah tanah yang aku beli, kamu gak usah pikirin, santai saja" kata Surya mencoba menenangkan kekasihnya itu.
Indira hanya mengangguk, kemudian meninggalkan mobil menuju appartemennya. Indira tahu bahwa Surya sangat mencintainya, begitu pula sebaliknya. Tetapi ia sadar perbedaan cita-cita dan tujuan akan menjadi masalah laten mereka yang bisa kapan saja muncul kembali. Paling tidak itu masalah nanti, pikir Indira.
***
Malam itu, hujan sudah mulai reda. Lampu appartemen masih temaram, suara lagu romantis masih terdengar dan vas yang penuh dengan bunga mawar masih ada di tengah meja diantara keduanya. Akan tetapi, suasana tidak lagi terasa romantis, tapi terasa begitu sendu.
"Aku gak akan paksa kamu tinggal di Sukabumi. Aku akan berkompromi, yang penting kita sama-sama" kata Surya membuka mulut, terdengar begitu ragu. Indira tersenyum, "Aku tahu kamu benci Jakarta, aku tahu kamu benci pekerjaan kamu, aku tahu kamu ingin sekali hidup dengan berternak dan berkebun. Aku tahu banget" Kata Indira sambil menahan air mata.
"Aku gak akan tega melihat laki-laki yang aku sayang menderita" kata Indira terbata-bata, air matanya kembali mengalir deras dari matanya, tak tertahankan. Kali ini Surya bangkit dari kursinya, memeluk wanita yang ia sayangi.