Mohon tunggu...
Jie Laksono
Jie Laksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - What is grief if not love perseverance?

Ketika kata lebih nyaman diungkapkan lewat tulisan ketimbang lisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Sisyphus

2 Januari 2021   00:53 Diperbarui: 2 Januari 2021   00:54 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang sudah berlalu, suara adzan ashar terdengar dari kejauhan, bertalu-talu. Tidak ada sinar matahari terik di hari itu. Hujan sempat turun membasahi bumi beberapa jam lalu, kemudian terhenti. Tetapi di langit, awan mendung tetap menyelimuti. Tidak menitikan hujan tetapi juga tidak pergi. Seorang laki-laki berdiri di samping sebuah makam, kepalanya tertunduk, terlihat sendu. Ia memandang taburan bunga-bunga mawar dan melati yang memenuhi makam tersebut. Pandangannya mulai samar ketika ia melihat nama yang tertulis di nisan makam. Seketika ia mendongakan kepala, beberapa kali mengedipkan mata. Seakan menahan sesuatu yang menyesakan dada. Setelah beberapa saat, titik-titik air membasahi wajah si pria. Ketika itu, mendung belum berlalu, tetapi hujan belum turun.

***

"Lw kenapa Dri?" Tanya Reza. "Lw kenapa sampai kayak gini? Ada apa sama lw? Ada masalah apa?", Reza kembali bertanya. Pria yang ditanya, Adrian, diam saja, datar, tidak ada niatannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Reza. "Lw kenapa ke appartemen gw? Bukannya malam ini lw mestinya berangkat ke Jogja untuk kerja" Tanya Adrian tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Reza. Sambil menghela nafas, Reza menjawab "Ok, gw bakal jawab pertanyaan lw, tapi abis itu lw jawab pertanyaan gw". "Gw sudah di Bandara tadi, terus gw dapat whatsapp dari lw, yang isinya minta maaf ini dan itu". "Abis itu, gw coba telepon lw, tapi hp lw gak aktif, dan gw langsung ke sini, karena perasaan w gak enak". Adrian tetap tidak bergeming mendengar jawaban dari Reza.

"Sekarang, coba jelasin, ada apa dengan lw? Kenapa sampai begini?" Tanya Reza. "Gak ada yang perlu dijelasin" jawab Adrian singkat dan datar. "Gw baik-baik aja" lanjut Adrian, dengan suara pelan. "Lalu itu apa?" Tanya Reza, sambil menunjuk pintu salah satu kamar appartemen milik Adrian. Tidak ada yang salah dengan pintu kamar tersebut, tetapi ada seutas tambang nylon dengan simpul yang terikat di kusen pintu kamar tersebut.

Adrian terdiam, tetap tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Reza. Pandangannya tertatap ke dinding appartemen, kosong. "Ya udah kalo lw gak mau jawab, ikut gw aja yuk" ajak Reza. "Mw kemana?" Tanya Adrian singkat. "Gw butuh udara seger, sumpek ni appartemen, yuk ke bawah" ajak Reza. Entah kenapa, Adrian mengiyakan saja ajakan Reza. Keduanya keluar appartemen menuju lift kemudian ke lantai dasar. Setelah sampai loby lantai dasar, keduanya berbelok kanan, menuju sebuah mini market 24 jam. "Beli oksigen sama kopi dulu" kata Reza, Adrian tetap diam saja, mengikuti Reza dari belakang.

Setelah membeli rokok dan kopi, keduanya menuju taman yang berada di tengah-tengah komplek appartemen. Hari sudah hampir tengah malam, sehingga taman terlihat sangat sepi. Keduanya duduk di bangku taman menghadap kolam.

"Gw gak akan paksa lw bicara tentang masalah lw Dri" kata Reza membuka pembicaraan. "Tapi paling gak lw bisa denger cerita gw" lanjut Reza sambil menghirup 'oksigennya' dalam-dalam. "Dua tahun ke belakang, gw sempet berada di posisi lw, gw tw banget simpul tali di pintu kamar lw itu, gw pernah buat simpul itu buat diri gw sendiri" kata Reza. Adrian membelakan mata mendengar perkataan Reza, terkejut.

Reza mengambil handphone dari saku celananya, dan menunjukan sebuah foto kepada Adrian. Di foto itu terlihat seorang anak kecil afrika yang sangat kurus, tersungkur di atas tanah dan seekor burung bangkai terlihat jelas di belakang anak tersebut, seakan mengincar calon mangsanya. "Foto itu judulnya The vulture and the little girl, sampai sekarang, gw selalu merinding ketika melihat foto itu" jelas Reza kepada Adrian. "Gw orang yang percaya adanya Tuhan, dan ketika gw liat foto itu, gw berpikir, kalau Tuhan itu ada dan Maha Kuasa, kenapa membiarkan hal kayak gitu terjadi? anak kecil tanpa dosa yang kelaparan dan berada dalam kondisi kayak gitu. Kalau Tuhan ada, dan membiarkan yang di foto itu terjadi, apakah Tuhan itu jahat?" kata Reza. "Kemudian muncul pertanyaan lagi, Tuhan itu ada dan Maha Kuasa, tetapi membiarkan hal-hal buruk terjadi, apakah gw bisa mempercayakan gw dan masa depan gw kepada Tuhan?"

"Kemudian, gw mulai mempertanyakan untuk apa gw hidup? Hidup gw ada di tangan Tuhan, secara Tuhan itu Maha Kuasa, surga dan neraka juga ada di tangan Tuhan. Dari situ gw merasa hidup gw absurd banget. Gw ngerasa kalo gw hidup cuma untuk amusement Tuhan aja, dan gw mau berontak. Gw lahir bukan keinginan gw, hidup juga bukan di tangan gw, paling gak gw ingin mati atas keinginan gw sendiri" Jelas Reza panjang lebar.

"Sampai suatu ketika gw membaca tentang salah satu tokoh mitologi Yunani. Sisyphus. Karena kesalahannya Sisyphus dihukum oleh Zeus untuk membawa bongkahan batu besar ke puncak gunung. Akan tetapi Zeus selalu mengkondisikan batu tersebut untuk selalu jatuh kembali ke lereng gunung sebelum Sisyphus sampai membawanya ke puncak gunung. Sehingga hukuman Sisyphus tidak akan pernah selesai". Kata Reza sambil meminum kopi miliknya yang mulai dingin. "Dari situ, gw membayangkan apa yang dipikirkan Sisyphus ketika ia kembali ke lereng gunung untuk membawa kembali batu tersebut menuju kembali puncak gunung padahal ia tahu kalau batu itu akan jatuh kembali ke lereng gunung?" lanjut Reza.

"Acceptance Dri, nrimo" kata Reza. "Paling gak, itu kesimpulan gw, Sisyphus menerima hukumannya dan menerima kekuasaan Zeus. Gw membayangkan setelah beberapa kali Sisyphus naik-turun gunung untuk mengangkat batu, dia mulai menikmati hal-hal kecil, seperti tumbuh-tumbuhan dan hwan-hewan yang hidup di sekitar jalan yang ia telusuri untuk mengangkat batu ke puncak gunung" jelas Reza. "Dari situ gw belajar dari Sisyphus, gw menerima bahwa gw adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, gw hidup ataupun mati, Tuhan tetap Maha Kuasa".

"Gw juga belajar untuk menikmati hal-hal kecil di sekitar gw, keluarga dan temen-temen gw, kembali menjalin hubungan dengan mereka, tidak mengurung diri. Tidak sibuk mempertanyakan kenapa hidup tetapi lupa untuk menjalani hidup. Iya hal-hal buruk, kayak di foto anak afrika itu, tetap terjadi tetapi sekarang w lebih dari sekedar cuma mempertanyakan kenapa, gw mencoba berusaha nglakuin apa yang gw bisa" kata Reza.

 "Dri, gw gak tahu apa masalah lw, masalah apa yang membebani pikiran lw. Cerita yang gw ceritain ini juga mungkin gak akan berarti apa-apa buat lw. Gw juga gak akan menasihati lw dengan wejangan-wejangan. Tapi menurut gw, hidup isinya bukan seindah pelangi, hidup itu kayak Sisyphus bawa batu dari lereng ke puncak gunung, berat dan gak akan habis-habis. Tetapi buka diri lw dengan sekitar lw, buat koneksi-koneksi emosional, dari situ mungkin lw bakal menemukan alasan untuk bangkit kembali ketika jatuh" kata Reza.

Adrian terpaku mendengar cerita panjang teman yang baru dikenalnya setahun yang lalu itu. Ia tidak menyangka Reza yang ia kenal begitu periang, supel dan pintar itu memiliki sejarah yang kelam. Mata Adrian mulai pedas, sambil mendongakan kepala dan beberapa kali mengedipkan mata, ia mencoba tidak meneteskan air mata.

***

Si pria masih berdiri di samping makam tersebut. Pandangannya tak lagi kabur, nama Reza Purnama dapat ia liat jelas di nisan makam. Beberapa hari yang lalu ia mendapatkan kabar bahwa sahabatnya itu mengalami kecelakaan mobil di Jakarta sepulang dari Sulteng setelah menjadi sukarelawan bencana gempa bumi di Palu dan sekitarnya. Adrian masih teringat jelas percakapannya dengan Reza beberapa tahun lalu di taman dekat appartemennya. Percakapan yang mengubah 180 derajat hidup Adrian.

Hujan mulai turun, mata Adrian kembali pedas, lagi-lagi bukan karena hujan. Tetapi kali ini ia tidak lagi mendongakkan kepala, ia biarkan air matanya mengalir ditutupi derasnya hujan. "Akhirnya, lw sudah sampai puncak gunung Sisyphus", kata Adrian lirih.

 Catatan: Bila ingin berbicara dengan seseorang tentang depresi, jangan ragu untuk menghubungi kontak-kontak di link ini dan ini. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun