Mohon tunggu...
Jie Laksono
Jie Laksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - What is grief if not love perseverance?

Ketika kata lebih nyaman diungkapkan lewat tulisan ketimbang lisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Sisyphus

2 Januari 2021   00:53 Diperbarui: 2 Januari 2021   00:54 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Acceptance Dri, nrimo" kata Reza. "Paling gak, itu kesimpulan gw, Sisyphus menerima hukumannya dan menerima kekuasaan Zeus. Gw membayangkan setelah beberapa kali Sisyphus naik-turun gunung untuk mengangkat batu, dia mulai menikmati hal-hal kecil, seperti tumbuh-tumbuhan dan hwan-hewan yang hidup di sekitar jalan yang ia telusuri untuk mengangkat batu ke puncak gunung" jelas Reza. "Dari situ gw belajar dari Sisyphus, gw menerima bahwa gw adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, gw hidup ataupun mati, Tuhan tetap Maha Kuasa".

"Gw juga belajar untuk menikmati hal-hal kecil di sekitar gw, keluarga dan temen-temen gw, kembali menjalin hubungan dengan mereka, tidak mengurung diri. Tidak sibuk mempertanyakan kenapa hidup tetapi lupa untuk menjalani hidup. Iya hal-hal buruk, kayak di foto anak afrika itu, tetap terjadi tetapi sekarang w lebih dari sekedar cuma mempertanyakan kenapa, gw mencoba berusaha nglakuin apa yang gw bisa" kata Reza.

 "Dri, gw gak tahu apa masalah lw, masalah apa yang membebani pikiran lw. Cerita yang gw ceritain ini juga mungkin gak akan berarti apa-apa buat lw. Gw juga gak akan menasihati lw dengan wejangan-wejangan. Tapi menurut gw, hidup isinya bukan seindah pelangi, hidup itu kayak Sisyphus bawa batu dari lereng ke puncak gunung, berat dan gak akan habis-habis. Tetapi buka diri lw dengan sekitar lw, buat koneksi-koneksi emosional, dari situ mungkin lw bakal menemukan alasan untuk bangkit kembali ketika jatuh" kata Reza.

Adrian terpaku mendengar cerita panjang teman yang baru dikenalnya setahun yang lalu itu. Ia tidak menyangka Reza yang ia kenal begitu periang, supel dan pintar itu memiliki sejarah yang kelam. Mata Adrian mulai pedas, sambil mendongakan kepala dan beberapa kali mengedipkan mata, ia mencoba tidak meneteskan air mata.

***

Si pria masih berdiri di samping makam tersebut. Pandangannya tak lagi kabur, nama Reza Purnama dapat ia liat jelas di nisan makam. Beberapa hari yang lalu ia mendapatkan kabar bahwa sahabatnya itu mengalami kecelakaan mobil di Jakarta sepulang dari Sulteng setelah menjadi sukarelawan bencana gempa bumi di Palu dan sekitarnya. Adrian masih teringat jelas percakapannya dengan Reza beberapa tahun lalu di taman dekat appartemennya. Percakapan yang mengubah 180 derajat hidup Adrian.

Hujan mulai turun, mata Adrian kembali pedas, lagi-lagi bukan karena hujan. Tetapi kali ini ia tidak lagi mendongakkan kepala, ia biarkan air matanya mengalir ditutupi derasnya hujan. "Akhirnya, lw sudah sampai puncak gunung Sisyphus", kata Adrian lirih.

 Catatan: Bila ingin berbicara dengan seseorang tentang depresi, jangan ragu untuk menghubungi kontak-kontak di link ini dan ini. Kesehatan jiwa merupakan hal yang sama pentingnya dengan kesehatan tubuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun