Mohon tunggu...
Worogati
Worogati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pascasarjana Universitas Bina Bangsa Banten

Belajar dan ikuti proses.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tumbuh Subur Pejuang Shubuh Pengais Rejeki Rongsokan Masa Pandemi Covid-19

5 Desember 2021   20:53 Diperbarui: 5 Desember 2021   21:28 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemulung atau manusia karung adalah kelompok masyarakat yang memiliki masalah kemiskinan cukup mendalam. Dari mereka, banyak yang tak menyadari tentang kemiskinan yang mereka hadapi. Kecenderung mereka untuk pasrah dengan keadaan dan tanpa usaha yang lebih untuk mengeluarkan keadaan dari masalah yang dihadapi. 

Bagi mereka yang terpenting dapat memenuhi kebutuhan makan. Keadaan tempat tinggal seadanya dan hal terpenting tidak kepanasan dan kehujanan.

Setiap orang pada dasarnya menginginkan pekerjaan yang baik dan layak. Dari pekerjaan tersebut, mereka mampu memperoleh hasil, baik dari hasil penjualan barang maupun penjualan jasa. Melalui hasil yang diperoleh tersebut untuk membeli atau mempergunakannya untuk kebutuhan dalam menjalani kehidupan.

Baik untuk kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan tersier. Tak sama dengan kehidupan para pemulung sampah, di mana umumnya termasuk kelompok masyarakat marginal karena kondisinya yang terkesan kumuh, sehingga status sosial pemulung sampah tersebut cenderung dipandang rendah oleh sebagian orang. 

Akan tetapi sebagian besar pemulung sampah tidak menyadari bahwa mereka turut serta dalam mengatasi soal sampah, menurutnya mereka semata-mata bekerja untuk memperoleh pendapatan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.

Hal tersebut yang terjadi pada kehidupan pemulung di sekitar komplek Perumahan. Sebagian pemulung bukan penduduk asal, melainkan para pendatang dari daerah lain yang mengadu nasib untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Namun pada kenyataannya mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak tersebut tidak diiringi dengan pendidikan yang baik dan juga keterampilan yang baik pula. Pekerjaan memulung bagi kebanyakan pemulung merupakan pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan bagi kebutuhan hidup keluarga. 

Sebagian kepala keluarga ada yang menarik becak, buruh bangunan dan ada juga Ibu rumah tangga yang sebagai buruh cuci dan buruh setrika. Karena tak sedikit para pemulung dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak mereka.

Selain itu, ada juga mereka yang menjadikan pekerjaan memulung sebagai pekerjaan pokok atau utama. Para pemulung bisa menghabiskan waktunya berjam-jam di jalanan, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), disekitar daerah Kota Serang untuk mengumpulkan atau memungut barang barang bekas yang dirasa bisa dijual kembali.

Potret kehidupan pencari rongsokan di kompleks perumahan pada masa pandemi covid-19

Pandemi Covid-19 telah memaksa untuk merubah tatatan kehidupan masyarakat. Suka tidak suka, perubahan secara drastis telah terjadi diberbagai sektor. Tak sedikit pemilik usaha yang gulung tikar, meski harus mati-matian memutar otak untuk keberlangsungan usahanya. Lalu bagaimana dengan usaha rongsok? Jual beli barang bekas? 

Apakah mengalami nasib yang sama dengan usaha jenis makanan? Atau usaha lainnya? Bagaimana dengan nasib para pemulung? Sebagai buruh harian, yang akan mendapatkan upah ketika berhasil menjual rongsoknya? Sedang permintaan akan bahan baku menurun?

Dapat dilihat, untuk satu item jenis botol air mineral bekas dalam keadaan bersih, pada hari biasa ia jual dengan kisaran harga Rp.1500.00/kg, itu pun ia harus buang lebel kemasan yang tidak ada satupun label menempel dibotol tersebut. Sementara tutup botol dijual secara terpisah. 

Dengan banyaknya ketersediaan bahan baku tidak membuat para pemulung dapat menjual hasil memulung mereka dihari yang sama, selain pengepul sudah beberapa bulan berhenti menampung dan membeli bahkan baku, dengan alasan tidak ada perusahaan yang membeli dan baru akan kembali beroperasi saat Corona berlalu harga jualnyapun turun drastis menjadi Rp. 1000.00/kg.

Pada masa sebelum pandemi, hasil olahan botol air mineral bening, akan disortir dan dipotong menjadi kecil-kecil seperti pecahan beling, dan akan di eksport ke luar negeri untuk produksi menjadi kaos olahraga atau jersey. Sementara, di dalam negeri, selain untuk diproduksi kembali, biasanya hasil peleburan botol-botol tersebut akan dijadikan bahan baku untuk peralatan rumah tangga. Salah satunya yaitu untuk bahan campuran keset. 

Dengan adanya kasus fenomena corona ini, dunia selain berbenah, juga memaksa kita untuk dapat beradaptasi untuk bertahan hidup. Lalu bagaimana dengan nasib para pemulung yang bergantung hidup hariannya dengan menjual rongsok, sedangkan corona memati surikan beberapa jenis usaha?

Tentu ini semua adalah pekerjaan rumah untuk kita. Sudah saatnya kita tidak boleh egois. Ikuti protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, bukan hanya untuk kita, tapi untuk Indonesia. Semoga pandemic segera berlalu.

Strategi para pencari rongsokan di kompleks perumahan agar bertahan hidup di masa pandemi covid-19

Pandemi Covid-19 yang berdampak pada perubahan perilaku dan aktivitas ekonomi telah mendorong peningkatan jumlah dan angka kemiskinan, baik secara nasional, wilayah desa-kota, maupun secara pulau-provinsi. Penurunan pendapatan terjadi akibat peningkatan pengangguran dan menurunnya kesempatan bekerja dan berusaha. 

Dampak Covid-19 terbesar terjadi di Kota Serang. Hingga akhiranya, para pemulung saat pandemi harus lebih awal untuk berkeliling, sasarannya adalah perumahan. Sejak pagi para pemulung telah berkeliling mencari barang rongsokan seperti botol plastik. 

Namun rupanya tak banyak. Menurut para pemulung, saat ini sulit mencari barang bakas, paling sehari dapat terkumpul 5-10 kg, itu pun terkadang warga perumahan memberikan barang rogsoknya. Meskipun tidak setiap hari ada, bukan hanya itu yang dikeluhkan, namun harga jual barang bekas per-kilo di pengepul juga turun drastis dari biasanya. 

Sebelum pandemi, merka baisa menjual hingga Rp 2 ribu per-kilonya, saat ini harganya menjadi Rp 1000,00. Jika sehari mereka mendapat 5 kg berarti hanya mendapat Rp 5 ribu dan itu dikumpulkan seharian,

Salah satu informan sebagai pemulung disekitar salah satu komplek perumahan mengutarakan keluhannya yang tak bisa mencukupi kebutuhannya. Namun, ia merasa dan bernafas lega karena uluran bantuan dari orang, baik berupa uang dan beras.

Pandemi Covid-19 pun berakibat pada kesulitan mencari barang rongsok, karena beberapa akses jalan di perkampungan ditutup. Jika ada hanya botol plastik air mineral yang ditimbang kadang tak sampai sekilo. Padahal botol plastik yang dikumpulkannya tersebut bisa terjual Rp 2 ribu per kilo.

Para pemulung sebenarnya dapat memanfaatkan hasil rongsok berbahan plastik yang tidak laku dijual seperti bekas bungkus kopi, sabun, pewangi, dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tas. Pasalnya, barang bekas plastik tersebut dapat dijadikan salah satu bahan kerajinan untuk meningkatkan kreativitas, di antaranya yang sering digunakan yakni bungkus kopi disulap menjadi dompet maupun tas, terutama bagi pelaku UKM. 

Itulah potret kehidupan para pemulung atau manusia karung agar mereka tetap bertahan hidup di tengah gempuran pandemic Covid-19, dengan mencari rongsok di perumahan-perumahan yang dianggap lebih dekat dan bak sampah. Mereka pun berlomba-lomba bangun pagi sebelum kumandang azan shubuh. Hal ini dilakukannya karena banyaknya para pencari rongsok yang menjamur di perumahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun