Mohon tunggu...
BULAN SEPOTONG
BULAN SEPOTONG Mohon Tunggu... Administrasi - BULAN SEPOTONG

Malam tak pernah dusta pada pagi, karena pagi selalu menepati janji.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Menyongsong Hari Kartini

16 April 2015   15:16 Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:57 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GELAP TAK LENYAP TERANG TAK DATANG

Catur Puisi

 

Pengantar

Setiap mendengar nama RA. Kartini, mau tidak mau imajinasi kita pasti terbang ke sebuah zaman gelap, bodoh dan terbelakang para kaum hawa Nusantara.

 

Sejarah kemudian mencatat, kebodohan dan keterbelakangan itu tercerahkan dengan lahirnya pemikiran dan jiwa pemberontak seorang anak Bupati cantik anggun bernama RA Kartini .

Gegap gempita rasa senang hingga kini masih terus diperingati pada tanggal 21 April setiap tahun oleh bangsa ini dengan berbagai cara penghormatan kepada pendekar bangsa itu.

 

Tak sedikit kemudian generasi setelah beliau memberikan nama yang sama kepada anak-anaknya dengan harapan supaya anaknya kelak berjiwa dan berwawasan cemerlang seperti pendahulunya.

 

Namun sayang, peringatan hari kelahiran RA. Kartini, yang lebih kita kenal dengan Hari Kartini dewasa ini terkesan sekedar seremoni biasa, adem  bahkan garing.

Yang sangat terlihat sibuk tentu saja Ibu-ibu  yang mempunyai anak TK atau SD, karena biasanya pada hari itu sekolah mengadakan Karnaval, kalau tidak mau dikatakan “pameran” Baju Adat Nusantara.

Mengenai hal ini sungguh sangat positif, mengajarkan generasi supaya kenal dengan kekayaan adat istiadat negeri ini. Namun menurut hemat penulis jadi kurang pas, jika peringatan Hari Kartini hanya cukup keliling kampung menggenakan Baju Adat, lalu bubar ….!

 

Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi banyak pihak, tidak terkecuali penulis. Maka dengan rangkaian kata sederhana mencoba memotret hal tersebut menjadi Empat Judul puisi sederhana yang menceritakan penggalan Peringatan Hari Kartini dengan menjelmakan berbagai tokoh:

 

Abdul Somad misalnya,  pada puisi  Ke-1 Gelap Tak Lenyap Terang Tak Datang,  meskipun cita-cita Abdul Somad dan Kartini kecilnya tenggelam bersama sawahnya, paling tidak ia sudah mempunyai cita-cita.

 

Lain lagi dengan Puisi Ke -2Konde 21 April, ini merupakan parodi satire untuk kita renungkan, bahwa kebanyakan kita sekarang telah terjebak dengan berbagai seremoni peringatannya tanpa memberikan ruang kepada cita-cita luhur beliau.

Konde, kebaya,  kain batik merupakan lambang harfiah keibuan Kartini, maka itulah yang ditonjolkan bahkan untuk mendapatkannya pun harus berebut, saling sikut, saling injak, saling maki. 

 

Ada lagi parodi  lain tentang kartini yang menggelitik pada Puisi Ke-3 Ema-ku bernama Kartini. Si Ema bangga nian dengan nama yang disandangnya karena namanya sama dengan Pendekar Bangsa itu, tanpa mengetahui kenapa dia harus bangga menggunakan nama itu.

 

 

Puisi Ke-4 Perempuan, merupakan kerinduan yang terdalam akan sosok Kartini di hati wanita yang sudah beranjak dewasa.  Ia hanyut pada masa kecil nan indah waktu bersama teman kecilnya memperingati Hari Kartini. Kerinduan itu ia bawa sampai kini.

 

Semoga dengan penghayatan yang dalam, kita merenung kembali untuk memuntahkan ide-ide cemerlang dan kreatif agar peringatan Hari Kartini ke depan bisa lebih bermakna, Amin.


 

 

 

 

  

 

 

 

1.

Gelap tak lenyap Terang tak datang (Kartini Binti Abdul Somad)


Siapa namamu hai perumpuan?! Bentak lelaki berkumis baplang Si perempuan gemetar, menatap takut, menunduk pun takut

Siapa namamu hai perempuan ! Bentaknya kini makin keras, menembus sumsum yang paling dalam Si perempuan makin menggigil – ngilu tulang –  jantung meledak Diam Wajahnya sembunyi dibalik lipatan lutut yang penuh koreng

Lelaki berkumis baplang membentak lagi sambil menggebrak meja Siapa namamu hai perempuan ... Dengan terbata ia menjawab: Saya Kartini, juragan ... Kartini binti Abdul Somad

*** Kartini Binti Abdul Somad lahir .... Dua puluh satu april – sembilan belas tahun yang lalu

Abdul Somad sang ayah girang alang kepalang Tanggal lahir anaknya sama persis dengan tanggal kelahiran pendekar bangsa Pendekar kaum wanita untuk merdeka Maka dinamailah anaknya; Kartini Binti Abdul Somad Abdul Somad Ia berharap kelak sang anak menjadi penerus cita-cita Kartini sang pendekar itu

Kartini Binti Abdul Somad Wajahnya kurus – pucat – matanya seperti sumur

Badannya tinggal tulang – beraroma kentut *** Cita-cita jadi barang mewah Ketika sebuah bencana penimpah Sawah sepetak tenggelam sudah Abdul Somad jadi serba salah Kartini kecil pergi ke kota bukan untuk cita-cita Sekedar menyambung hidup dengan meminta-minta

Dari kecil sampai remaja Tanganya selalu tengadah Ketika hampir menginjak dewasa Seorang cukong memberangus semua jiwa

Kartini Binti Abdul Somad Dipaksa memakai bedak – gincu Demi pemuas nafsu

Berkelana dari pelukan ke pelukan Akhirnya Terbuang jauh ke cengkaram para juragan *** Lelaki berkumis baplang Kartini yang yang tinggal tulang

Cita-citanya hangus terpanggang Bersama jiwa yang melayang......

Terang disapu gelap Gelap terbungkus pekat

Kartini Binti Abdul Somad

-------------------------------------------------------

ra-kartini-5993a653b1641603f76e33c2.jpg
ra-kartini-5993a653b1641603f76e33c2.jpg
2.Konde 21 April 

Prempuan jalan terburu menuju pasar, kain kebayanya dijinjik sampai atas betis  keringat mengucur sebesar kedelai – tak perduli  setan –

Perempuan  berlomba dengan ibu muda yang lain menuju pasar kagat itu –  ngos-ngosan siapa cepat sampai  tak peduli setan –

Di tikungan dekat pasar, kudapati makin banyak ibu-ibu lain bergandengan dengan putrinya susul-menyusul agar cepat sampai di pasar. Telanjang kaki – tak peduli setan –

Di dalam pasar semua perempuan berkumpul saling desak – saling sikut – saling maki – saling dorong – saling melangkahi – bahkan saling meludahi – tak peduli setan –

Ketika semua sampai di toko itu – aku dan perempuan lainya Cuma melongo – “Kondenya sudah habis ...”  kata wanita pemilik toko dengan bangga –

Perempuan yang sudah ngos-ngosan jadi marah – disambaranya  konde penjual konde bersamaan. Jadilah pertarungan perebutan konde – tak peduli setan

Masing –masing berebut benda keramat itu, apa pun resikonya – tak peduli setan – Besok sudah tak berguna lagi – Harus hari ini – Seorang anak kecil melongo sambil bertanya, Mengapa harus hari ini?

Coba lihat di almanak ---- Oya Hari ini tanggal 21 April ....

Pantas saja -------------------------------------------------------------------------------

3.eMa-ku Bernama Kartini 

sungguh bangganya ia menyandang nama itu: waktu bapakku melamarnya dulu ia memang gadis cantik yang pintar tak sembarangan laki-laki mendekatnya – harus pintar dan gagah eMa-ku baru melayaninya tapi dengan seribu jurus rayuan gombal, bapakku berhasil memperisterinya

“aku terima nikahnya dan kawinnya Kartini binti Suryo dengan maskawin seperangkat alat gamelan beserta selendang tari – tunai”

resmilah waktu itu mereka menjadi suami isteri

eMa-ku bernama Kartini karena sudah menikah ia tak lagi dipanggil Kartini, tapi ibu Hendro – karena bapakku bernama Hendro Prayogo

sejak saat itu tak ada lagi rasa bangga eMa-ku dengan namanya keseharian ia menagisi kebodohannya mengapa aku mau saja dikawini si Hendro dia itu laki-laki bodoh dan jelek untung benar si Hendro, namanya tersanding dengan nama besarku- Kartini

Eh, rupanya eMa-ku juga bodoh, tak belajar sejarah ia tak akan ada nama besar eMa-ku kalau tak ada RA. Kartini yang cerdik cendikia dulu

yang mengajari para wanita tulis –baca huruf palawa yang mengenalkan para dara huruf belanda yang mengajarkan perempuan kesetaraan

eMa-ku bernama Kartini sekarang ia sudah tua – punya anak sebelas termasuk aku tinggal di gubuk reot bocor lantai tanah becek tak lagi pintar, tak lagi cantik, kisut keriput dimakan usia namun jiwanya tetap merdeka

sambil mengenang masa  jaya

--------------------------------------------------------------- 

4.Perempuan

Perempuan dengan konde licin indah bermahkota melati Aku kenal nanamu waktu aku masih ES DE dulu, Lewat sebuah gambar terpasang di sudut kelas yang kebocoran Di bawah gambarmu tertulis namamu

Perempuan dengan bibir imut manis laksana gulali Aku kenal namamu sewaktu guru sejarahku bercerita tentang kamu Waktu kakak kelasku menyanyikan lagu tentangmu Belakangan baru aku tahu lagu itu dicipta untukmu oleh Wage Rodolf Supratman sang maestro itu

Perempuan dengan kebaya indah – berukat  hitam Aku kenal namamu sewaktu emaku mendandaniku Dengan dandanan mirip gambarmu di sudut kelas yang kebocoran itu Demi sebuah pawai keliling menyambut dan memperingati hari lahirmu

Semarak nian hari itu, Betapa tidak setahun sekali, pada hari itu kami semua berdandan rapih-rapih Tidak seperti hari biasa – Boro-boro memakai bedak dan gincu lengkap konde dan kebaya Bahkan keseharianku pasti tak beralas kaki ...

Perempuan dengan mata bening bak telaga Inginnya aku ucap terima kasih padamu Tapi aku tahu kau tak bisa lagi mendengar Karena rohmu telah berpulang bersama calon jabang bayimu Itu pun kata guru sejarahku

Wahai perempuan dengan segala kesempurnaan Aku yakin, hingga kini kau masih hidup bersama kami Menjelma jadi peri cantik yang baik budi Memegang tongkat bintang sakti Menebarkan  senyum – petuah dan akal budi Mengusir gelap dengan cemerlang pikirmu Memahat parsasti untuk kaummu Dengan darah – nanah – air mata –

Wahai Ibundaku , Aku tahu kau masih hidup mendampingiku Menjelma jadi lelembut yang suci Memercikkan harum kemenyan di setiap negeri Agar tuahmu sakti tak tertandingi

Kulihat senyummu digambar itu – inginnya aku memelukmu Tidur dipangkuanmu Mendengarkan kidung suci pengantar tidurku – sambil kau belai lembut Anak rambutku ...

Perempuan dengan harum melati Sungguh namamu tetap terpatri Dengan ejaan kata yang pasti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun