Mohon tunggu...
Atikah
Atikah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Magister Ekonomi Syari'ah UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Money

Menjadi Wajib Zakat atau Wajib Pajak dulu?

26 Januari 2017   23:30 Diperbarui: 26 Januari 2017   23:36 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada mulanya pajak merupakan upeti (pemberian) yang harus dibayarkan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Pemberian tersebut digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat serta untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Misalnya untuk menjaga keamanan rakyat, membangun jalan, saluran air untuk pengairan sawah dan sarana kepentingan umum lainnya. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, pajak merupakan peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia adalah self assessment system, yang merupakan sistem yang memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan membayar sendiri pajak yang seharusnya terutang. Sampai saat ini penerimaan pajak di negara kita lebih banyak mengandalkan penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) yang terdiri dari Pajak Penghasilan Badan dan Orang Pribadi. PPh sendiri merupakan salah satu jenis pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam artian bahwa beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain.

Di Negara kita porsi penerimaan PPh Badan lebih besar di bandingkan dengan porsi penerimaan PPh Orang pribadi. Sampai dengan 31 oktober 2016 penerimaan PPh pasal 22 melonjak mencapai 50,56% atau sebesar Rp.8,274 triliun bila di bandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2015 yang mencapai Rp.5,495 triliun. Pertumbuhan juga tercatat pada pasal 25/29 Badan sebesar 4,00% atau Rp.130,464 triliun di bandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp.125,449 triliun. Sementara itu pada PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi tercatat sedikit penurunan yakni sebesar 5,97% atau sebesar Rp.4,814 triliun di bandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp.5,110 triliun.

Dapat dilihat bahwa kesadaran membayar pajak oleh masyarakat masih rendah. Dari total wajib pajak yang tercatat pada Direktorat Jendral Pajak di tahun 2015 mencapai lebih dari 30 juta Wajib Pajak, yang terdiri dari hampir 2,5 juta Wajib Pajak Badan dan lebih dari 27,5 juta Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini terbilang cukup memprihatinkan, mengingat bahwa pada tahun 2013, BPS mencatat jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang. Hal ini berarti baru sekitar 29,34% dari total Orang Pribadi yang bekerja atau berpenghasilan yang terdaftar sebagai wajib pajak. Pada tahun yang sama terdapat 23.941 perusahaan Industri Sedang, 531.351 perusahaan Industri Kecil dan 2.887.015 perusahaan Industri Mikro, hal ini berarti bahwa belum semua perusahaan ini terdaftar sebagai wajib pajak badan.

Kesadaran membayar pajak memang merupakan kesadaran dari masing-masing pribadi. Ketentuan pajak juga merupakan ketentuan dari Negara dan tercatat dalam undang-undang, terlepas dari agama dan kepentingan yang mendasari. Semakin banyak warga Negara yang taat pajak maka akan semakin besar penerimaan Negara dan akan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat suatu Negara.

Apabila pajak ditentukan dan diatur oleh Negara dan Undang-Undang, lain halnya dengan zakat yang merupakan kewajiban dari setiap umat muslim. Zakat adalah salah satu Rukun Islam, yang tanpanya maka “bangunan Islam” akan tidak sempurna. Jika shalat sering dikatakan sebagai “tiang agama” maka zakat adalah “dinding” bangunannya. Kewajban zakat di sebutkan jelas dalam Al Qur’an dan bergandengan dengan kewajiban shalat dalam tidak kurang dari 82 ayat Al Qur’an. “Dinding itulah yang menghubungkan tiang-tiang” sehingga menjadi bangunan yang kokoh.

Zakat merupakan kewajiban setiap muslim baik pria maupun wanita yang memiliki penghasilan (rutin atau tidak rutin) dan berlaku setiap saat, sepanjang waktu. Kewajiban ini pun tidak pernah gugur dengan atau tanpa adanya undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang mengatur. Kawajiban ini berlaku untuk siapa saja yang mengaku beragama islam dan meyakini adanya kehidupan akhirat. Jadi tidak ada jalan mencari-cari alasan untuk menghindari kewajiban ini.

Tercatat bahwa potensi zakat sebesar 274 triliun, namun yang terkumpul hingga juni 2016 baru sekitar 3 triliun atau sekitar 1,2% saja. Terlihat bahwa kesadaran membayar zakat masyarakat Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini tidak sesuai dengan jumlah umat muslim yang besar mencapai 207 juta dan dikatakan sebagai Negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia dengan sekitar 13% dari penduduk muslim dunia berada di Indonesia. Kendati mayoritas penduduk beragama islam, namun Negara kita bukanlah Negara islam yang berdasarkan pada hukum-hukum islam. Ini bisa menjadi salah satu ukuran mengapa jumlah penerimaan zakat dinegara kita masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan Negara tetangga seperti Malaysia.

Sebagai umat muslim dan warga Negara yang baik tentulah kewajiban membayar zakat dan pajak harus dipenuhi. Permasalahannya apakah seorang muslim yang sudah membayar zakat pendapatan harus membayar pajak penghasilan lagi? Jawabannya adalah iya. Apakah hal ini tidak menjadi beban ganda untuk seorang muslim? Tentunya tidak. Zakat dan pajak merupakan kewajiban yang berbeda. Zakat merupakan kewajiban beragama, sedangkan pajak merupakan kewajiban dari Negara. Hal ini ditegaskan oleh sekretaris BAZNAS, M. Fuad Nasar yang menyebutkan kesimpulan dari Seminar Nasional MUI mengenai Zakat dan Pajak pada tahun 1990 menyatakan bahwa warga Negara Indonesia yang beragama islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama.

Seorang muslim yang sudah membayar zakat pendapatan maka secara otomatis penghasilan yang dikenakan pajak akan berkurang. Zakat akan mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak apabila dibayarkan pada lembaga resmi yang sudah berizin dari pemerintah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yakni UU No. 36 tahun 2008, UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat, PP No. 60 tahun 2010 serta turunannya dalam PP Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen pajak. Yang mana menurut peraturan ini bahwa zakat atas penghasilan yang sudah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. UU no 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (3) huruf a menyabutkan bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

“bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun