*"A Family Journey to Bukittinggi: Exploring History, Culture, and Nature"*
Bukittinggi, kota yang terletak di dataran tinggi Sumatera Barat, tidak hanya menyuguhkan keindahan alam tetapi juga menyimpan sejarah yang kaya. Kota ini pernah menjadi pusat penting dalam berbagai periode sejarah Indonesia.
Pada masa kolonial Belanda, Bukittinggi berkembang sebagai pusat administrasi dengan dibangunnya Fort de Kock pada tahun 1825 untuk menghadapi perlawanan rakyat Minangkabau dalam Perang Padri. Selama pendudukan Jepang, kota ini juga menjadi markas strategis dengan terowongan bawah tanah yang kini dikenal sebagai Lobang Jepang.
Pasca proklamasi, Bukittinggi memainkan peran penting sebagai ibu kota pemerintahan darurat Indonesia pada tahun 1948 saat agresi militer Belanda. Tak hanya itu, kota ini juga merupakan tempat kelahiran salah satu proklamator Indonesia, Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Dengan semua latar belakang ini, Bukittinggi menjadi pilihan liburan keluarga kami untuk menikmati keindahan sekaligus mendalami sejarah.
*Alasan Memilih Liburan ke Bukittinggi*
"Kenapa kita nggak liburan ke pantai aja, Yah?" tanya adik perempuanku, Hasya, sambil membantu Ibu menyiapkan bekal di pagi itu.
Ayah tersenyum, "Pantai memang bagus, tapi Bukittinggi punya cerita yang lebih dalam. Di sana, kita bisa menikmati alam sekaligus belajar tentang sejarah."
"Benar," tambah Ibu sambil memasukkan nasi bungkus ke dalam tas. "Kalian tahu, Bukittinggi itu kota yang penuh kenangan. Ayah dulu sering diajak kakek ke sana waktu kecil. Tempatnya indah, dan makanannya enak."
Aku ikut menimpali, "Apalagi, kita bisa belajar tentang Bung Hatta. Itu kan bagus untuk menambah wawasan kita."
Ayah menepuk pundakku. "Nah, itu dia. Liburan kali ini bukan cuma bersenang-senang, tapi juga memperkaya pengetahuan."
*Perjalanan Dimulai*
Pagi itu, kami memulai perjalanan dari Padang Panjang. Udara sejuk khas pegunungan menemani langkah kami saat bersiap memasuki mobil. Ayah mengemudikan mobil dengan tenang, sementara Ibu membawa bekal untuk dinikmati di perjalanan.
Di tengah perjalanan, adikku berseru, "Lihat! Gunungnya tinggi sekali!"
"Gunung Marapi," jawab Ayah sambil menunjuk ke arah puncak gunung.
"Itu salah satu gunung berapi aktif di Sumatera Barat. Tapi jangan khawatir, kita aman kok." Ibu tersenyum.
"Kalau cuacanya cerah, puncaknya terlihat jelas. Indah, ya?"
Aku mengangguk sambil mengabadikan momen dengan kamera. "Indah banget, Bu."
*Sampai di Bukittinggi: Ikon Jam Gadang*
Setelah menempuh waktu 30 menit dari Padang Panjang kami pun tiba di Bukittinggi. Sesampainya di Bukittinggi, kami langsung menuju Jam Gadang, ikon kota yang terkenal. Menara jam ini berdiri megah di tengah alun-alun kota, dikelilingi taman hijau yang asri. Suasananya begitu ramai dengan wisatawan yang berswafoto dan pedagang yang menjajakan berbagai sovenir khas.
"Jam Gadang ini sudah ada sejak zaman Belanda, kan, Yah?" tanyaku sambil menunjuk ke menara jam.
Ayah mengangguk. "Betul, dibuat tahun 1926. Yang menarik, mekanisme jamnya sama seperti Big Ben di London."
Hasya bertanya, "Kok bisa sama, Yah?"
"Itu karena jamnya dibuat khusus oleh perusahaan Jerman. Hebat, kan?" jawab ayah.
Kami berfoto bersama di depan Jam Gadang, dengan latar belakang pegunungan yang memukau. Angin sepoi-sepoi khas dataran tinggi membuat suasana semakin nyaman, meskipun matahari bersinar cukup terik. Aku sempat mengambil beberapa foto candid Ayah dan Ibu yang sedang berbincang santai. Di sekitar kami, para pedagang menawarkan cendera mata seperti gantungan kunci dan miniatur Jam Gadang yang menarik perhatianku.
*Kuliner Khas Bukittinggi di Pasar Ateh*
Setelah puas berfoto, kami berjalan kaki ke Pasar Ateh. Suasananya ramai, dipenuhi pedagang dan pengunjung. Aroma rempah dan masakan khas Minang tercium dari warung-warung kecil yang berjejer di sepanjang jalan. Berbagai barang seperti kain songket, kerajinan tangan, dan makanan ringan khas Sumatera Barat tertata rapi di setiap lapak, menggoda kami untuk berbelanja.
"Aku lapar, Bu," keluh Hasya sambil memegangi perutnya.
"Kita coba Nasi Kapau, ya," kata Ibu sambil menunjuk ke sebuah warung yang ramai.
Saat makanan tersaji, aku memandang dengan kagum. Piring-piring kecil berisi aneka lauk berjejer di meja, mulai dari gulai, rendang, hingga dendeng balado yang menggoda. Warnanya yang cerah dan aroma rempahnya begitu menggugah selera. Aku langsung mengambil nasi hangat dan mencicipi dendeng batokok yang terasa empuk dan pedas, benar-benar nikmat!
"Wah, banyak sekali lauknya!"
Hasya mencicipi dendeng batokok dan berkata, "Rasanya pedas tapi enak banget!"
"Kuliner Minang memang juara," kata Ibu sambil tersenyum.
Kami memakan makanan yang tersaji dengan lahap. Aku tak enggan menambah nasi dengan lauk pauk yang menggiurkan itu. Hasya pun terus memuji gulai tunjang yang lembut dan kaya rasa, sambil sesekali menyesap air putih untuk mengimbangi pedasnya. Ibu tersenyum puas melihat kami menikmati hidangan khas Minang yang memang tiada duanya.
*Lobang Jepang: Menyusuri Masa Kelam*
Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan ke Lobang Jepang. Seorang pemandu lokal menyambut kami dengan ramah. Ia menjelaskan bahwa terowongan ini dibangun dengan susah payah oleh rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja oleh tentara Jepang. Saat melangkah masuk, suasana di dalam terasa hening dan dingin, seakan menyimpan kisah pilu dari masa penjajahan.
"Terowongan ini dibangun dengan kerja paksa oleh rakyat kita pada masa penjajahan Jepang," jelasnya.
Hasya bergidik. "Serem ya, Kak. Aku nggak bisa bayangin kerja di tempat seperti ini."
Aku mengangguk. "Iya, tapi ini jadi pelajaran penting. Kita harus menghargai perjuangan mereka."
Aku mendengarkan penjelasan dari pemandu dengan seksama. Ia menjelaskan bagaimana rakyat Indonesia disuruh bekerja paksa oleh tentara Jepang. Bahkan di lobang itu banyak nyawa rakyat rakyat Indonesia teregut. Saat itu aku menyadari betapa besar pengorbanan rakyat zaman dulu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kita harus menghargai perjuangan keras mereka yang bahkan sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Aku teringat akan kata-kata Ayah, bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang penuh penderitaan. Dengan mengingat hal itu, aku merasa lebih mencintai tanah air dan bertekad untuk menjaga serta menghargai kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan begitu berat.
*Fort de Kock dan Jembatan Limpapeh*
Dari Lobang Jepang, kami menuju Fort de Kock.
"Kok ada benteng di sini, Yah?" tanya Hasya.
"Ini benteng yang dibangun Belanda saat Perang Padri untuk menghadapi rakyat Minangkabau," jawab Ayah.
Kami menyeberangi Jembatan Limpapeh, menikmati angin sepoi-sepoi sambil melihat pemandangan dari ketinggian.Di bawah kami, terlihat lembah hijau yang subur, sementara di kejauhan, gunung-gunung menjulang tinggi dengan latar langit biru. Suasana terasa damai dan sejuk, dengan suara gemericik air sungai yang mengalir deras di bawah jembatan. Kami berhenti sejenak, mengagumi keindahan alam sekitar sambil berbincang tentang betapa beruntungnya bisa berada di tempat yang penuh pesona ini.
Kami melanjutkan liburan ke Taman Panorama dan Ngarai Sianok. Sesampainya di sana, kami disambut dengan pemandangan luar biasa dari ketinggian, dengan jurang yang dalam dan sungai yang berkelok-kelok di bawahnya.
Hasya tampak terpesona, sambil menunjuk ke bawah, “Lihat, sungainya seperti ular besar!”
Kami duduk sejenak di bangku taman, menikmati keheningan dan keindahan alam yang menenangkan hati.
*Taman Panorama dan Ngarai Sianok*
Di Taman Panorama, kami duduk menikmati keindahan Ngarai Sianok.
"Itu ada sungainya, kecil banget dari sini." tunjuk Hasya.
"Namanya Batang Sianok, sungainya berkelok-kelok di dasar jurang." kata I.
Ibu menceritakan tentang semua sejarah Ngarai Sianok. Ibu sangat familiar tentang kota Bukittinggi karena Ibu besar di Bukittinggi. Semua isi kota Bukittinggi sudah ada di luar kepala Ibu.
*Mengunjungi Rumah Bung Hatta*
Sebelum pulang, kami mengunjungi Rumah Kelahiran Bung Hatta. Ayah menunjukkan sebuah buku tua di dalam museum.
"Itu buku favorit Bung Hatta," jelas ayah. "Beliau sangat suka membaca."
Aku terinspirasi. "Aku jadi ingin membaca lebih banyak, Yah, seperti Bung Hatta."
"Bagus," kata ayah sambil tersenyum.
Museum Bung Hatta banyak membuatku terpukau melihat isinya dan sejarah-sejarah yang ada. Berkunjung ke museum ini banyak menambah wawasanku tentang kehidupan pada zaman Belanda. Aku merasa seakan-akan bisa merasakan perjuangan dan semangat Bung Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setiap sudut museum menyimpan cerita yang membuatku semakin menghargai jasa beliau sebagai salah satu proklamator kemerdekaan.
*Perjalanan Pulang yang Syahdu*
Matahari mulai tenggelam saat kami meninggalkan Bukittinggi. Langit senja berwarna oranye keemasan memantulkan cahayanya di perbukitan dan sawah yang kami lewati. Suasana semakin syahdu, dengan angin malam yang mulai terasa sejuk menyentuh kulit kami. Kami semua terdiam sejenak, menikmati keindahan alam yang berpadu dengan rasa haru atas perjalanan yang penuh kenangan ini.
Museum Bung Hatta banyak membuatku terpukau melihat isinya dan sejarah-sejarah yang ada. Berkunjung ke museum ini banyak menambah wawasanku tentang kehidupan pada zaman Belanda.Aku merasa seakan-akan bisa merasakan perjuangan dan semangat Bung Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setiap sudut museum menyimpan cerita yang membuatku semakin menghargai jasa beliau sebagai salah satu proklamator kemerdekaan.
Liburan ini memberikan banyak pelajaran, bukan hanya tentang keindahan alam tetapi juga tentang sejarah dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kami menyadari betapa pentingnya mengenal lebih dalam sejarah bangsa agar kita bisa menghargai setiap perjuangan yang telah dilakukan. Mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Bukittinggi membuat kami semakin bangga dengan tanah air ini. Perjalanan ini tidak hanya mempererat ikatan keluarga, tetapi juga memperkuat rasa cinta kami terhadap Indonesia.
"Aku nggak mau liburan ini berakhir," kata Hasya sambil bersandar di kaca mobil. Ibu tersenyum.
"Tenang, kita pasti akan kembali. Lagipula tadi kita tidak sempat ke rumah Ibu kecil dulu"
Kami tidak sempat untuk singgah ke rumah almarhumah Nenek. Karena besok aku dan 2 adikku harus masuk sekolah. Ibu dan Ayah berjanji kita akan kesana di lain waktu.
Perjalanan ini memberi kami banyak pelajaran tentang keindahan, sejarah, dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kami menyadari bahwa Indonesia kaya akan budaya, tradisi, dan perjuangan yang harus terus dilestarikan. Setiap sudut Bukittinggi mengajarkan kami untuk lebih menghargai warisan yang telah ditinggalkan oleh para pahlawan. Liburan ini membuka mata kami tentang pentingnya menjaga dan merawat tanah air agar tetap indah dan kuat di masa depan.
Bukittinggi telah meninggalkan kenangan indah yang tak terlupakan. Kenangan yang tidak akan pernah aku temukan di kota kota lain. Bukittinggi kota sejuta memori.
Di perjalanan pulang, ayah memutar lagu-lagu Minang, menambah kesyahduan perjalanan malam itu. Sesampainya di Padang Panjang, kami merasa lelah tetapi bahagia. Kami berbincang tentang semua momen indah yang kami lewati di Bukittinggi, merasa puas dengan pengalaman yang penuh makna. Meskipun perjalanan panjang, hati kami dipenuhi rasa syukur atas liburan yang tak terlupakan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H