Ayah mengangguk. "Betul, dibuat tahun 1926. Yang menarik, mekanisme jamnya sama seperti Big Ben di London."
Hasya bertanya, "Kok bisa sama, Yah?"
"Itu karena jamnya dibuat khusus oleh perusahaan Jerman. Hebat, kan?" jawab ayah.
Kami berfoto bersama di depan Jam Gadang, dengan latar belakang pegunungan yang memukau. Angin sepoi-sepoi khas dataran tinggi membuat suasana semakin nyaman, meskipun matahari bersinar cukup terik. Aku sempat mengambil beberapa foto candid Ayah dan Ibu yang sedang berbincang santai. Di sekitar kami, para pedagang menawarkan cendera mata seperti gantungan kunci dan miniatur Jam Gadang yang menarik perhatianku.
*Kuliner Khas Bukittinggi di Pasar Ateh*
Setelah puas berfoto, kami berjalan kaki ke Pasar Ateh. Suasananya ramai, dipenuhi pedagang dan pengunjung. Aroma rempah dan masakan khas Minang tercium dari warung-warung kecil yang berjejer di sepanjang jalan. Berbagai barang seperti kain songket, kerajinan tangan, dan makanan ringan khas Sumatera Barat tertata rapi di setiap lapak, menggoda kami untuk berbelanja.
"Aku lapar, Bu," keluh Hasya sambil memegangi perutnya.
"Kita coba Nasi Kapau, ya," kata Ibu sambil menunjuk ke sebuah warung yang ramai.
Saat makanan tersaji, aku memandang dengan kagum. Piring-piring kecil berisi aneka lauk berjejer di meja, mulai dari gulai, rendang, hingga dendeng balado yang menggoda. Warnanya yang cerah dan aroma rempahnya begitu menggugah selera. Aku langsung mengambil nasi hangat dan mencicipi dendeng batokok yang terasa empuk dan pedas, benar-benar nikmat!
"Wah, banyak sekali lauknya!"
Hasya mencicipi dendeng batokok dan berkata, "Rasanya pedas tapi enak banget!"