"Masukkan ayam yang tadi sudah dibersihkan," ujar nenek. Aku memasukkan ayam dan mengaduknya agar tercampur dengan bumbu.
"Tambahkan sedikit air, ayamnya matang sempurna. Jangan lupa kasih garam dan gula secukupnya," katanya.
"Apa nggak pakai santan, Nek?" tanyaku.
"Tidak, Nak. Lado hijau ini khas tanpa santan. Itulah yang bikin rasanya segar," jelas nenek.
Setelah air menyusut dan bumbu meresap, nenek mematikan api. "Selesai, Nak! Coba cicipi dulu," katanya sambil menyodorkan piring kecil.
Aku mencicipi sedikit. "Wah, Nek, ini enak banget! Rasanya pedas, segar, gurih, semua pas!" seruku.
Nenek tertawa kecil. "Rahasia leluhur, Nak. Ingat, masakan bukan cuma soal rasa, tapi juga cerita di baliknya. Ayam Lado Hijau ini diciptakan para perempuan Koto Gadang sebagai cara memanfaatkan cabai hijau dan tomat dari kebun mereka. Rasa ini, rasa cinta."
Hari itu, aku merasa lebih dekat dengan nenek dan sejarah keluargaku. Bukan hanya belajar memasak, tapi juga merasakan bagaimana tradisi bisa hidup dalam sebuah hidangan sederhana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI