Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

110 Kabupaten/Kota Rawan Gunung Api

23 Desember 2010   21:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:27 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316297" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)"][/caption]

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2008, ternyata 110 dari 456 kabupaten/kota di Indonesia termasuk berkerawanan tinggi gunung api. Luar biasa, hampir 25 persen daerah kabupaten/kota di negara ini dalam situasi dan kondisi terancam aktifitas gunung api.

Sebagai gambaran erupsi eksplosif Gunung Merapi menimbulkan kerawanan di beberapa daerah seperti Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), serta Kabupaten Sleman di DIY Yogyakarta. Data sampai 4 November 2010 menunjukkan jumlah pengungsi di daerah-daerah tersebut sudah mencapai 105 ribu orang.  Gunung Merapi merupakan satu dari 10 gunung berapi yang paling berbaya di dunia, selain bebrapa gunung seperti  Vesuvius (Italia), Sakurajima (Jepang), Galeras (Kolumbia).

Gunung Merapi  berbentuk kerucut terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan DI Yogyakarta  Merapi memiliki ketinggian 2.914 meter di atas permukaan laut, memiliki panorama alam yang sangat mempesona, namun dibalik keelokannya itu ternyata merupakan  gunung berapi yang paling aktif di Indonesia dan  meletus secara berkala mulai tahun 1548. Letusan Merapi 4 November 2010 yang lalu, abunya dikabarkan mencapai Tasikmalaya, Cimahi, Pangalengan dan Bogor (Jawa Barat).

Gunung Merapi sudah  aktif sejak 10.000 tahun yang lalu. Letusan Merapi umumnya melibatkan runtuhnya kubah lava yang terus mengalir ka bawah,  sering disertai dengan turunya asap panas (wedhus Gembel) dengan kecepatan maksimum 120 km per jam. Beberapa desa di seputar kaki Merapi  rawan terhadap tumpahan material dalam bentuk cair, padat dan gas.

Tragedi Merapi yang meluluh-lantahkan desa-desa di sekitarnya bisa terulang kapanpun dan dimanapun, terutama di 110 kabupaten/kota yang wilayahnya ditempati atau berdekatan  gunung berapi. Seperti beberapa kabupaten/kota di Lampung bagian selatan dan Banten bagian barat, sangat rentan terhadap pengaruh letusan Gunung Krakatau. Sedangkan letusan Gunung Papandayan akan mengancam sebagian wilayah Kabupaten Bandung dan Garut.

Berdasarkan catatan Besatari (Kompas, 5 November 2010), ada 129 gunung berapi di Indonesia, tersebar di Sumatera (30), Jawa (34), Bali (2), Nusatenggara (28), Laut Banda (10), Sulawesi Utara (13), Sangihe (5), serta Halmahera dan sekitarnya (7).

Sebenarnya upaya menyikapi letusan gunung berapi sudah sering dibahas dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam “Diskusi Letusan Gunung Sinabung” ,  3 September 2010 di Jakarta. Dalam acara yang digelar Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) tersebut,  Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB), UPN Veteran Yogyakarta, menjelaskan bahwa letusan gunung berapi menimbulkan ancaman, seperti lava pijar, awan pijar, bom, pasir-abu, gas racun dan lahar. Ancaman yang berbeda akan membawa dampak yang berbeda serta akan membawa risiko yang berbeda pula. Selanjutnya risiko yang berbeda akan menimbulkan jawaban atau penanggulangan bencana yang akan berbeda. Misalkan saja ancaman awan pijar akan berbeda risikonya dengan ancaman pasir-abu. Ancaman awan pijar mengandung risiko kematian seketika dan upaya penanggulangannya adalah dengan evakuasi sejauh mungkin dari radius penyebaran awan pijar itu. Tapi ancaman pasir-abu membawa risiko Infeksi Saluran Pernafasan Aktif (ISPA) dan upaya penanggulangannya adalah dengan menggunakan masker.

Selanjutnya Eko mengemukakan, bahwa dengan adanya ancaman dari letusan gunung berapi tersebut tidak dapat dilakukan secara sama rata (generalisasi). Misalkan saja dalam kasus letusan Gunung Sinabung tidak dengan serta merta semua penduduk yang tinggal sejauh 6 KM dari pusat letusan diungsikan. Hal itu mesti dilakukan dengan melihat apa ancaman yang lebih spesifik dari letusan G. Sinabung, baru setelah jelas tipe ancaman dan risikonya maka upaya penanggulangan bencananya dapat lebih mudah untuk dilakukan. Pengungsian penduduk adalah salah satu jawaban dari banyak alternatif penanggulangan bencana letusan gunung berapi.

Menurut Eko, yang tidak kalah penting adalah memperhatikan aspek aset penghidupan, misalkan ternak, tanaman (di kebun, sawah, ladang), sumur, mata air, dll. Selama ini respon tanggap darurat lebih difokuskan kepada penyelamatan manusia, sedangkan aset penghidupan seringkali malah terabaikan, di luar manusia belum diurus. Jadi ketika para penduduk berada di pengungsian, mereka malah merasa tidak tenteram karena terus memikirkan rumah, tanaman dan ternaknya. Tidak heran bila di pengungsian hanya ramai pada malam hari, tapi pada pagi dan siang hari tempat pengungsian jadi sepi karena orang-orang kembali ke rumahnya masing-masing untuk mengurus rumah, ternak dan tanaman mereka. Sebagaimana dilansir dalam situs resmi MPBI (www.mpbi.org).

Dari sekitar 129 gunung berapi di Indonesia, setidaknya ada tujuh yang tergolong sangat aktif, dan letusannya  menimbulkan korban ratusan ribu orang. Gunung-gunung tersebut ialah Kelud, Galunggung, Agung, Krakatau, Maninjau dan Tambora.  Letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1982, menewaskan lebih dari 4.000 jiwa dan menluluh-lantahkan 114 desa. Sementara letusan Krakatau tanun 1883 menewaskan 36 ribu jiwa.

Menurut situs web www.ehow.com, sebagaimana dikutip   Merry Wahyuningsih (dalam detikHealth),    ancaman kematian dan kehancuran bisa diminimalkan dengan cara yang sederhana tanpa harus membuat peralatan super karena hingga saat ini tidak ada peralatan yang mampu melawan letusan gunung berapi. Menurut situs web ehow, yang dibutuhkan adalah sedikit perencanaan dan akal sehat. Dengan begitu orang tetap bisa survive meski hidup berdampingan dengan gunung berapi:

1. Cari tahu apakah Anda tinggal di daerah gunung berapi aktif yang bisa menimbulkan ancaman bagi Anda atau keluarga Anda.

2. Hapalkan dan ketahui rute evakuasi untuk daerah Anda.
Dalam keadaan stres orang bisa saja lupa akan rute ini, akan lebih bijaksana jika bisa menyimpan salinan peta atau membuat rute evakuasi yang ditandai jelas.

3. Segera lakukan evakuasi jika sudah diminta untuk meninggalkan lokasi.
Gunung berapi akan memberikan peringatan-peringatan awal sebelum letusan terjadi. Peringatan-peringatan seperti gempa kecil, batuk-batuk jangan diabaikan.

4. Dalam kondisi darurat siapkan selalu air minum, makanan, baju ganti dan peralatan untuk pertolongan pertama.

5. Jangan kembali memasuki zona evakuasi sampai pihak otoritas menyatakan daerah tersebut aman.
Meskipun letusan gunung berapi telah berhenti memuntahkan abu dan lava tapi kemungkinan masih banyak risiko seperti udara dan air yang mengandung belerang.

6. Lebih baik tinggal di tempat perlindungan dan jangan meninggalkan lokasi penampungan sampai dinyatakan aman.

7. Jika memungkinkan pelajari tentang aliran lava, lahar, banjir, gas-gas yang dikeluarkan oleh gunung berapi yang bisa untuk mengetahui posisi lebih aman untuk berlindung.

8. Pastikan untuk memakai masker atau kacamata jika pergi ke luar bangunan karena dampak yang paling utama dari abu vulkanik yang dirasakan manusia adalah masalah pernapasan, seperti iritasi hidung dan tenggorokan, batuk, bronkitis, sesak napas (emfisema) hingga bahkan menyebabkan kematian karena saluran napas menyempit.

9. Jika tidak ditemukan masker, warga bisa menggunakan sapu tangan, kain atau baju untuk melindungi diri dari abu atau gas.

10. Bagi keluarga yang memiliki anak-anak sebaiknya sediakan masker khusus untuk anak-anak, serta tidak membiarkan anak bermain di luar untuk meminimalkan paparan.

Nah, diharapkan selalu waspada dalam menyikapi aktivitas gunung berapi yang lokasinya tersebar atau berdekatan dengan 100 kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, manajemen bencana perlu dipersiapkan sedini mungkin, termasuk memasukan kurikulum pendidikan mengenai bencana mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam hal manajemen bencana kita bisa belajar dari Jepang, sebuah negara yang begitu siap dalam menghadapi bencana teruatama gempa bumi.

Universitas Mercu Buana Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun