Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Beras Transgenik Vs Beras Organik

23 Desember 2010   18:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:27 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Namun ternyata varietas lokal memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki varietas hasil rekayasa, misalnya menyangkut rasa dan aroma. Menurut Dr.Ir.Mulyadi Raharja, pengajar senior di Fakultas Pertanian Unpad, beras yang dikonsumsi di lingkungan Istana Presiden di Bogor, sampai beberapa waktu yang lalu, hanya berasal dari varietas lokal yang hanya tumbuh baik di satu kecamatan di Kab. Cianjur, yaitu varietas Baok.

Dalam memproduksi beras organik, pupuk kimia seperti urea, ZA, TSP, SP 36, dan KCI digantikan dengan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos, bokashi, dan sebagainya. Sedang pestisida dengan bahan aktif senyawa kimia tertentu, digantikan dengan pestisida nabati (terbuat dari tumbuhan tertentu) atau musuh alami (dicarikan serangga yang memangsa hama).

Dampak samping penggunaan pupuk kimia dan pestisida memang sangat kompleks, selain berpengaruh terhadap fisiologi tanaman dan hasil panen, juga merusak lingkungan. Pemakaian urea yang terus- menerus misalnya dapat merusak tanah, mulai dari kesamaan yang meningkat sampai ketidakseimbangan mikroorbiologi tanah.

Penggunaan insektisida selain bisa menjadi residu yang terkandung dalam hasil panen, juga mematikan serangga yang bermanfaat untuk penyerbukan (serangga non hama), menyebabkan hama menjadi resisten (tahan), dan yang terpenting menimbulkan keracunan bagi manusia. Sebagai contoh, insektisida yang termasuk golongan DDT, aldrin, dieldrin, endrin dan khlordin, berpengaruh terhadap sistem saraf pusat.

Hasil percobaan dengan menggunakan dosis yang tinggi pada hewan percobaan dapat menyebabkan kerusakan organ hati dan ginjal. Racun yang mengenai manusia akan tersimpan dalam jaringan lemak tidak bersifat aktif, karena itu pengaruhnya tidak tampak dengan cepat. Masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan, mulut dan kulit. Gejala keracunan berupa badan gemetar, mual dan diare. Hal itu memperkuat alasan bagi sebagian masyarakat untuk beralih ke pola konsumsi bahan pangan organik.

Penutup

KEMBALI ke alam (back to nature) dan keamanan pangan (food safety), menjadi alasan bagi sebagian orang untuk lebih memilih beras organik dibanding beras yang penuh dengan sentuhan teknologi, begitu pula untuk bahan pangan lainnya. Selama ini beras yang dikonsumsi sangat “akrab” dengan pemakaian produk kimia. Tak lama lagi beras pun akan “mesra” dengan aplikasi bioteknologi.

Selain “beras Bt” (mengandung gen dari bakteri tanah Bacillus thuringinsis ), tak lama lagi muncul “beras emas”, hasil karya para peniliti dari Swiss dan Rockefeller Foundation di New York. Cara melakukan rekayasa genetika pada tanaman padi yang disisipi gen penghasil Pro Vitamin A, sehingga dihasilkan beras emas. Yakni melalui pemanfaatan bakteri Erwina uredovora dan Agrobacterium tumefaciens. Sisi positif beras emas diharapkan dapat mengatasi defisiensi vitamin A, yang mengancam kebutaan pada sekitar 400 juta penduduk di negara sedang berkembang dan negara terbelakang.

Memang ada sisi positif dan negatif dalam penemuan dan aplikasi teknologi. Antagonisme tersebut menggiring masyarakat pada dua kutub, skeptis dan optimis. Bagaimana jadinya jika pestisida yang memang senyawa kimia beracun itu, tidak pernah ditemukan dan dikembangkan dalam praktek pertanian. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1800-an sejuta orang di Irlandia meninggal dunia. Hal itu karena terjadi kegagalan panen kentang, makanan pokok penduduk Irlandia, karena serangan suatu penyakit. Hal serupa terjadi di berbagai bagian bumi.

Tak dapat dipungkiri, pestisida atau pupuk kimia telah berperan nyata dalam meningkatkan produksi bahan pangan dunia, begitu pula terhadap produksi beras di Indonesia. Mengambil analogi dari contoh kasus tersebut, maka terhadap pengembangan tanaman transgenik, termasuk beras transgenik ialah meminimalisasi risiko.

Menurut Dr. Kartika Adiwilaga, praktisi bioteknologi, diperlukan peraturan, pelaksanaan dan pengawasan peraturan yang transparan sebelum suatu produk bioteknologi dilepas. Pelaksanaan dan pengawasan peraturan hendaknya didukung oleh pakar dari berbagai ilmu, termasuk bioteknologi yang berintegritas tinggi. (Atep Afia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun