Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Beras Transgenik Vs Beras Organik

23 Desember 2010   18:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:27 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Amartya Sen, seorang pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 1999, dalam bukunya Development as Freedom, antara lain menyatakan, “kelaparan justru terjadi pada saat surplus pangan dunia dicapai”. Untuk lingkup Indonesia kasus itupun terjadi, banyak desa-desa yang mencapai posisi swasembada beras, di bagian wilayah lainnya ternyata banyak desa yang rawan pangan hingga sebagian penduduknya menderita busung lapar.

Amerika Serikat sudah sejak lama berstatus sebagai negara swasembada pangan, sehingga kelebihan pangannya harus diekspor ke negara lain. Namun ternyata, sebagian pangan yang dihasilkannya bersifat transgenik. Negara-negara Eropa Barat dan Jepang dengan tegas menolak pangan transgenik, Amerikat Serikat pun tidak memaksakan ekspor bahan pangannya, namun melalui diplomasi tertentu maka sasaran pun diarahkan ke negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Bahkan, senator Christoper S Bond dari Negara Bagian Missouri, mengaku pernah bertemu dengan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid, misinya kemungkinan untuk memuluskan ekspor hasil pertanian Amerika Serikat, termasuk bahan pangan transgenik (Kompas, 18 Agustus 2000).

Isu bahan pangan transgenik terus bergulir, tiga organisasi nonpemerintah (Ornop) Indonesia sempat menunutut pemerintah, khususnya Departemen Pertanian dan Kehutanan, Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk lebih transparan kepada publik dalam menginformasikan perkembangan penelitian dan peredaran tanaman, atau produk transgenik di Indonesia (Kompas, 30 Agustus 2000).

Ornop yang terdiri dari Pesticide Action Network (PAN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo), menyeru pemerintah untuk mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, terutama Pasal 35 yang berkaitan dengan pelabelan pangan rekayasa genetika.

Kabinet baru diimbau pula agar lebih selektif dan berhati-hati dalam menyusun kebijakan impor komoditi bahan pokok, atau menjalin kerjasama dengan perusahaan multinasional dalam pengadaan produk. Atau komoditi pertanian asing yang diduga mengandung bahan-bahan rekayasa genetika, di antaranya jagung, kedele dan beras. Sedang para pakar diminta untuk memiliki sikap akademik yang jujur tentang pangan hasil rekayasa genetika bagi konsumen Indonesia.

Memilih Pangan Organik

SEBAGIAN besar masyarakat memang belum menyadari dan kurang memahami persoalan bahan pangan transgenik. Sementara sikap pemerintah dan para pakar pun belum jelas. Sebagian kecil masyarakat, terutama yang menerapkan pola hidup back to nature (kembali ke alam), kini cenderung memilih bahan pangan organik, mulai dari beras organik, sayur organik sampai buah organik.

Sebenarnya pola hidup yang demikian sudah meluas di kalangan penduduk di negara-negara maju; Produk pertanian Indonesia misalnya, sangat sulit menembus Australia, bahkan banyak yang dikembalikan. Alasan utamanya standar kualitas tidak terpenuhi, seperti produk bebas pestisida, atau paling tidak residunya di bawah BBM (batas residu minimal), pengemasan tidak sesuai prosedur atau mengandung patogen. Banyak juga konsumen yang menginginkan bahan pangan yang bebas pupuk kimia.

Tanggapan masyarakat terhadap pertanian organik terus menguat. Saat ini telah berdiri beberapa lembaga atau perkumpulan yang mengembangkan pertanian organik. Antara lain Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) yang berpusat di Universitas Brawijaya, Malang; Organik Nature Farming Training Centre (Pusat Pelatihan Pertanian Terpadu dan Akrab Lingkungan – PPPTAL); Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Beragam hasil kajian dan percobaan pertanian organik telah banyak yang diaplikasikan petani. Misalnya untuk menghasilkan beras organik, petani memilih varietas lokal seperti Sri Kuning, Sri Ayu, Galur, Lestari dan Mentik.

Keberadaan varietas padi lokal makin terdesak, bahkan banyak yang mengalami kepunahan. Program Bimas dengan varietas unggul tahan werengnya, telah menjadikan petani lupa dengan varietas lokal, karena cenderung “dipaksa” untuk menanam varietas hasil rekayasa genetika yang dikenal memiliki tingkat produksi yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun