Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Komodo Meludahi Logika Manusia

29 Oktober 2020   21:41 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:49 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini panas sekali. Aku mencari angin di luar kamar. Kulit yang tadinya basah karena keringat perlahan mulai kering.

Udara malam melepasku dari kepenatan serta kepanasan. Suara jengkrik berkeriak dan berteriak dari semak-semak duri. Ranting-ranting kering menjadi habitat penuh damai bagi mereka. Di sana mereka mengisolasi diri dari matahari dan hujan. 

Saat aku mendekat mereka diam seribu bahasa. Aku mengeluarkan korek api dan mencoba membakar ranting-ranting kering. Cahaya api membuat jengkrik-jengrik itu bernyanyi. Suara bersahut-sahutan. Indah sekali.

Aku menahan niat untuk membakar. Ada yang aneh dari nyanyian jengkrik di semak duri. Ternyata aku salah memahami insting mereka. Itu bukan nyanyian melainkan tangisan. Aku datang mengganggu kenyamanan mereka.

Tanpa sadar aku bagian dari mereka. Aku berada dalam rasa dan tangis mereka. Ternyata ruang privasiku sendiri tidak sepenuhnya memberi kenyamanan. Aku keluar kamar menghilangkan kepenatan dan kepanasan. Alam tidak mampu membaca logikaku. Yang salah bukan aku tetapi alam.

Aku menahan nafsu bejatku saat insting binatang lebih kuat dari pada logikaku. Ada puisi dan narasi kegelisahan dari bangsa jengkrik untuk binatang sebangsa dinosaurus bernama Komodo. Mereka takut saudara mereka hilang dan punah.

Ada pesan yang dikirim melalui tanda-tanda alam. Seekor komodo tua berdemo atas nama anak cucu. Katanya manusia terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka. Padahal dari dulu mereka selalu hidup damai. Tanpa manusia mereka bisa hidup.

Logika manusia terlalu sempit. Mereka tidak mampu masuk dalam insting para binatang. Jika manusia ingin menjadi binatang tinggalkan dan tanggalkan logika. Jika demikian mereka lebih binatang dari kami.

Kata-kata jengkrik membuatku malu. Aku tak habis pikir. Mengapa komodo mengirim pesan alam kepada semua binatang dalam nada penuh amarah. Apa yang salah dengan manusia? Logikanya terbukti dengan kemajuan teknologi infomasi, komunikasi, pembangunan berbasis 4.0 dan masih banyak kemajuan yang dibuat oleh manusia.

Mengapa komodo meludahi logika manusia?

Seekor kupu-kupu terbang di taman. Aku melihat kepakan sayapnya indah sekali. Wahai manusia. Betapapun jeniusnya kalian, ukiran tanganmu tak akan seindah karya Allah atas alam. Logikamu terlalu kecil ketika mau melawan tanda-tanda alam.

Aku malu sekali.
Mengapa mereka sangat benci pada manusia?

Apakah manusia bersolider dengan komodo. Tidak. Mereka tidak pernah bersolider dengan komodo. Manusia terlalu jauh mencampuri kehidupan alam. Komodo tetap komodo. Hidup menurut cara hidupnya. Manusia tidak sepenuhnya berkuasa atasnya. Apalagi mengatur cara hidup atau habitatnya.

Tidak seorangpun tahu kapan komodo memiliki keinginan untuk kawin? Komodo tahu dari dirinya sendiri. Manusia tidak bisa memaksa komodo jantan dan betina kawin tanpa ada musim. Ada saatnya insting itu muncul. Siapa yang tahu? Ya bangsa komodo. Jika ada manusia yang tahu mungkin dia bagian dari mereka.

Biarlah keberadaannya mendatangkan sumber penghasilan bagi manusia. Jangan sampai napas mereka menjadi aset nilai jual yang akan habis, putus lalu mati karena tidak mampu bertahan pada suara tawar menawar.

Komodo tidak makan uang. Mereka makan dari ada dan cara berada mereka. Mereka tidak ingin diada-adakan. Ya, termasuk tempat tinggal mereka. Komodo tahu cara berada yang baik menurut insting bukan logika. Manusia terlalu percaya diri memasukan logika berpikir mereka ke dalam insting komodo.

Seekor semut menyadarkanku. Kakiku digigitnya. Gatal sekali. Aku tak ingin berkeluh kesah. Rasa sakit ini tidak seberapa dari tangisan komodo. Tempat mereka berpijak dicampuri, dilumuri, dilumpuri, dan ditumpuli oleh logika manusia.

Banyak orang bermimpi tentang pendapatan dari pengolahan tempat tinggal berbasis lingkungan bagi komodo. Mereka lupa mendengar suara kegelisahan komodo jika mereka tak bisa bertahan di atas taman buatan tangan manusia.

Ada kesepakatan antara komodo, alam dan leluhur. Jika ada orang keempat datang dengan sejuta isi kepala yang cemerlang mereka akan hilang dan punah. Alam, komodo dan leluhur akan kembali pada tanah yang asli tanpa batu, pasir dan semen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun