Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Komodo Meludahi Logika Manusia

29 Oktober 2020   21:41 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:49 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku malu sekali.
Mengapa mereka sangat benci pada manusia?

Apakah manusia bersolider dengan komodo. Tidak. Mereka tidak pernah bersolider dengan komodo. Manusia terlalu jauh mencampuri kehidupan alam. Komodo tetap komodo. Hidup menurut cara hidupnya. Manusia tidak sepenuhnya berkuasa atasnya. Apalagi mengatur cara hidup atau habitatnya.

Tidak seorangpun tahu kapan komodo memiliki keinginan untuk kawin? Komodo tahu dari dirinya sendiri. Manusia tidak bisa memaksa komodo jantan dan betina kawin tanpa ada musim. Ada saatnya insting itu muncul. Siapa yang tahu? Ya bangsa komodo. Jika ada manusia yang tahu mungkin dia bagian dari mereka.

Biarlah keberadaannya mendatangkan sumber penghasilan bagi manusia. Jangan sampai napas mereka menjadi aset nilai jual yang akan habis, putus lalu mati karena tidak mampu bertahan pada suara tawar menawar.

Komodo tidak makan uang. Mereka makan dari ada dan cara berada mereka. Mereka tidak ingin diada-adakan. Ya, termasuk tempat tinggal mereka. Komodo tahu cara berada yang baik menurut insting bukan logika. Manusia terlalu percaya diri memasukan logika berpikir mereka ke dalam insting komodo.

Seekor semut menyadarkanku. Kakiku digigitnya. Gatal sekali. Aku tak ingin berkeluh kesah. Rasa sakit ini tidak seberapa dari tangisan komodo. Tempat mereka berpijak dicampuri, dilumuri, dilumpuri, dan ditumpuli oleh logika manusia.

Banyak orang bermimpi tentang pendapatan dari pengolahan tempat tinggal berbasis lingkungan bagi komodo. Mereka lupa mendengar suara kegelisahan komodo jika mereka tak bisa bertahan di atas taman buatan tangan manusia.

Ada kesepakatan antara komodo, alam dan leluhur. Jika ada orang keempat datang dengan sejuta isi kepala yang cemerlang mereka akan hilang dan punah. Alam, komodo dan leluhur akan kembali pada tanah yang asli tanpa batu, pasir dan semen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun