Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak Jokowi Jangan Menangis

13 Oktober 2020   23:11 Diperbarui: 13 Oktober 2020   23:24 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini terasa indah sekali. Kupang rasa neraka dan surga. Panas di siang hari. Dingin di malam hari. Ribuan bintang bercahaya di kolong langit. Terdengar bunyi motor membelah keheningan malam.

Aku masih duduk di tepi bak penampung air. Sesekali bulu badanku merinding. Angin malam membawa hawa panas yang menguap di atas batu karang. Sesekali terdengar gonggongan anjing-anjing anak yang meminta induknya untuk segera menyusui.

Air di bak penampung kosong. Tampak bunyi air yang masuk terdengar nyaring. Gemercik air sesekali menyentuh kulitku. Angin sepoi-sepoi terus menyegarkan tubuhku. 

Dua pohon pepaya dengan beberapa daun kering terus bergerak. Beberapa pakaian yang dijemur tak luput dari goncangan angin. Sebuah handuk berwarna kuning dijemut di jemuran khusus.

Seekor anjing anak mencurigai keberadaanku. Sejak duduk di tepi bak aku tak bergerak dan bersuara. Aku mengamati suasana malam dengan tenang tanpa kata-kata. 

Seekor anjing anak berwarna putih datang mendekat ke arahku. Sebelum mendekatiku, kurang lebih lima meter, dia batuk dan memuntahkan sesuatu. Aku heran akan anjing itu. Batuknya terdengar seperti suara seorang tua.

"Kapan air di bak ini penuh?" tanyaku sembari melihat ke dalam bak yang gelap.

Suara air yang jatuh terdengar sangat nyaring. Butuh beberapa jam lagi agar bak ini bisa penuh.

"Biar saja. Kalau aku ke kamar pasti sulit merasakan angin segar seperti ini. Selagi bumi masih bersahabat aku harus menerimanya. Biarlah waktu mengatur alam ini sesuai dengan keinginannya," kataku sembari menatap daun mahoni yang bergoyang.

Semakin aku duduk memaku badan di tepi tembok, hatiku terasa tenang. Aku belum pernah merasakan ketenangan seperti ini. Selama ini aku menghabiskan waktu untuk ikut terlibat dalam situasi perkembangan di negara ini. 

Pergumulan hidup yang begitu rumit membuat urat kepalaku tertarik dan putus.

"Kalau aku rakyat jelata saja seperti ini, bagaimana dengan Bapak Jokowi?" tanyaku.

Dia pasti sedang pusing memikirkan negeri yang carut marut ini. Banyak orang terpecah belah karena berbagai kepentingan. Ada banyak demo di sana-sini. Kesabarannya tengah di uji. Apakah dia merasakan kepenatan seperti yang kurasakan malam ini?

"Bapak Jokowi pasti aman-aman saja. Negara yang penuh pergolakan seperti ini bukan hal baru baginya. Dia sudah banyak makan garam. Menjadi pemimpin pasti siap menerima resiko. Bapak Presiden punya kepribadian yang luar biasa. Aku paham betul bahasa ketenangan dalam dirinya. Ya, seperti Kupang di malam hari penuh kesejukan," ungkapku.

Hari ini banyak media memberitakan peristiwa gerakan 1310 di Jakarta. Aku berusaha menghindar dari berita seputar demo untuk beberapa waktu ini. Lagi-lagi pribadi Jokowi yang mengajarkanku tentang hal itu. Dia tidak banyak bicara namun banyak berbuat nyata.

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Suasana semakin sepi. Anjing-anjing kecil berbaring di atas sebuah kain dekat pintu dapur. Mereka mencari kehangatan dengan tidur berdempetan. Air di bak mulai penuh. Suara nyaring perlahan hilang.

Aku menatap ke langit malam. Tampak awan hitam menyelimutinya. Sebentar lagi hujan. Efek mendung udara bumi mulai panas. Angin menerjang Kupang. Daun-daun mahoni jatuh ke atas karang. 

Butir-butir air hujan mulai membasahi bumi. Aroma debu tanah menguap. Aku merasakan bau asam saat tanah menjafi lumpur.

Pikiranku kembali ke sosok Bapak Jokowi, pemimpin bangsa yang sangat kubanggakan. Dia pasti tak bisa tidur dengan tenang ketika hujan hujatan menelanjanginya. Dia hebat. Hujatan itu tak direspon olehnya. 

Dia justru memikirkan bagaimana orang miskin bisa tidur dalam ketenangan di bawah terpaan hujan.

Undang-undang kontroversial itu mengundang ricuh di negeri ini. Banyak multi tafsir atasnya. Aku pun bisa jatuh dalam kesalahan yang sama jika tidak kritis. Namun, aku memilih mengambil jarak dan melihat dari sudut pandang yang berbeda. 

Ada jalan hukum yang bisa ditempu. Tidak dengan menghancurkan fasilitas umum. Kasihan masyarakat yang tidak terlibat. Mereka menjadi korban.

"Bapak Jokowi, jangan menangis. Tidurlah dengan tenang malam ini. Ada seribu orang yang mengawalmu dari belakang," pesanku terkirim entah pada siapa.

Aku kaget ketika sebuah pesan dari nomor baru muncul di beranda ponselku. Aku membukanya dan serentak menahan napas.

"Selamat malam Nusa Tenggara Timur. Apa kabar? Kemarin aku berkunjung ke Labuan Bajo. Proyek pembangunan daerah wisata di sana akan rampung tahun depan. Beberapa bendungan juga akan selesai. Aku harap di Kupang baik-baik saja. Semoga tidak ada kekacauan di sana, ya. Aku cinta Indonesia, khususnya NTT. Hujan turun malam ini. Segera siapkan lahan untuk menanam. Jangan tanam amarah dalam kepala. Amarah harus segera reda saat turun ke hati. Salam untuk teman-teman mahasiswa dan saudara-saudariku para buruh. Saudaramu, Bapak Jokowi"

Aku kaget membaca pesan itu. Ternyata Kita salah menilai Bapak Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun