Ketika melewati sebuah halte, tampak seorang anak duduk dengan kepala menunduk. Kamu penasaran dan mendekatinya. Hatimu kacau ketika mengetahui bocah itu adalah anakmu sendiri.Â
Isak tangis tak terbendung. Inilah hari paling kelam dalam hidupmu. Anakmu menjadi korban dari tindakanmu yang kurang terpuji. Di tangan anakmu terselip sebuah surat.Â
Kamu mengambil surat itu dan membacanya, "Ayah. Jangan sedih. Aku bangga melihat ayah menjadi orang terdepan dalam peristiwa hari ini. Karena itu, aku termotivasi untuk menjadi seperti ayah. Aku berjalan di antara massa yang datang berdemo. Aku menghayati seruan mereka, 'rela mati demi keadilan'. Semoga ayah bangga padaku. Aku mati demi sebuah kehidupan yang lebih baik. Ayah jangan sedih. Aku bangga pada ayah. Jiwa patriotisme ayah tumbuh dalam diriku."
Kamu memeluk bocah semata wayangmu. Rasa penyesalan mengalir dari kepala hingga ujung jari kakimu. Engkau mengutuki diri. Uang hasil bayaran kamu lemparkan ke kobaran api yang masih menyala.Â
Perjuanganmu sia-sia. Rela berkurban namun ada yang dikurbankan. Bocah semata wayangmu tersenyum namun menangis melihat penyesalanmu yang datang terlambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H