Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Malam Berdarah

11 Oktober 2020   20:58 Diperbarui: 11 Oktober 2020   21:05 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu terpelanting. Nasi bungkus di tanganmu jatuh ke jalan. Nasi dan ayam goreng berhamburan. Seorang pemuda menginjak makan itu. Wajah kamu ditampar oleh seorang lelaki bertato. Rambutnya panjang dan wajah berewokan.

"Jangan coba-coba kabur dari kami, ya. Ini wilayah kekuasaan kami," teriak seorang pemuda yang memegang pisau.

Kamu heran akan pernyataan lelaki yang memegang pisau. Sudah tiga puluh tahun kamu berada di tempat itu. Belum pernah ada seorang pun yang mengklaim sebagai penguasa. Namun, kamu tak bisa beradu mulut dengan mereka.

"Besok akan ada aksi besar-besaran. Kami akan membayarmu untuk menuntun para pedemo masuk ke tempat ini. Ini setengah bayaran untukmu. Yang lain akan ditambahkan jika usahamu berhasil," tawar seorang yang lebih berwibawa dari mereka.

"Tapi...?" katamu.

"Tidak ada tapi-tapi! Kamu harus menjalankan ini! Jika menolak kamu akan dibakar di trotoar itu," ungkap seorang yang bertato sambil menunjuk ke arah trotoar yang ramai dipadati orang.

Kamu tak bisa berbuat apa-apa. Selama ini kamu bekerja sebagai "tim orange", pembersih lingkungan di wilayah itu. 

Pemerintah telah memperhatikan kehidupan ekonomi keluarga dengan menyediakan lapangan pekerjaan. 

Ada pesangon yang diberikan untuk kebutuhan-kebutuhan khusus. Pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah menjadi satu-satunya sumber pendapatanmu. Namun, semuanya harus berubah ketika teror kematian berada di depan mata.

Kamu menerima seikat uang merah itu. Tanganmu gemetar. Hati tak tenang. Kamu terpaksa menyetujuinya.

"Sekarang kamu boleh pergi," ungkap seorang yang memegang pisau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun