Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Ayah dan Kakak Jadi Pendemo?

11 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 11 Oktober 2020   10:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buruh-buruh rusuh buru-buru. Iya saat demo mereka buru-buru membuat rusuh. Harus paham bahwa mereka berbuat rusuh bukan rusun, rumah susun, ya. Jangan salah kaprah. Kalau buruh-buruh dengan buru-buru membuat rumah susun untuk masyarakat miskin, hal ini harus diapresiasi.

Jangan dulu berterima kasih akan padanan kata yang indah ini. Indah belum tentu memesona. Cantik itu memikat namun bisa melukai. Ya, cantik itu luka. Padanan kata indah ini jika direfleksi lebih jauh sangat menyakitkan. Mengapa demikian? Aksi arogan yang dipaksa tanpa tujuan.

Lantas, siapa yang salah? Apakah dengan demikian semua kebenaran versi buruh-buruh akan tersingkap? Mengapa tidak memakai ruang diskusi untuk mencari fakta? Jangan buru-buru sebelum semuanya jelas. Diskusi dua arah antara pemerintah dan rakyat harus dilakukan.

Saya ingin membawa fakta buruh yang buru-buru berujung rusuh ke dalam cara pandang obyektif. Kaca mata anak-anak menjadi sumber yang paling polos tanpa basa-basi. Narasi seorang anak di badan jalan itu. 

Katanya dia anak seorang buruh. Sejak beberapa hari yang lalu dia turun ke jalan mencari ayahnya yang sedang memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Suara di telinga anak itu sepi. Kesunyian ruang publik pasca demo kian hilang. Dia butuh instrumen musik bambu agar mencairkan sesuatu. Jalan menuju kampus dialihkan dan beberapa mahasiswa yang punya daya kritis harus mencari jalan lain.

Puing-puing halte menutupi ruas jalan. Beberapa motor yang dibakar tercecer di trotoar. Pecahan-pecahan kaca berhamburan. Besi, batu, kayu, dan petasan terlihat di pekarangan gedung pemerintah. Pagar-pagar dibengkokan. Kaca gedung hancur. Atapnya berlubang.

Ban yang dibakar masih menyisahkan sedikit asap. Baunya menusuk hidung. Pedagang-pedagang kecil membersihkan tempat jualan. Toko-toko di sekitar tempat demo dicoret-coret. Vandalis terlihat di tembok-tembok jalanan. 

Petugas pembersih kota datang berseragam orange. Mereka menyusur dari ujung jalan ke jalan lain. Tampak beberapa pemulung datang dengan gerobak dan karung. Mereka mencari barang-barang yang bisa dijual.

Seorang bocah tak menemukan ayahnya selepas demo kemarin. Menangis dengan isakan yang terpatah-patah. Berdiri di badan jalan. Dia menatap taman bermain yang telah hancur akibat ulah pendemo, termasuk ayah dan kakaknya. 

Airmata menganak sungai. Dia tak tahu harus bermain dengan siapa dan di tempat mana. Tangannya mengepal. Wajahnya kesal dan marah. Dia terpukul karena aksi yang membabi buta.

Beberapa polisi duduk di trotoar. Mereka diperintah untuk tetap berjaga. Sudah empat hari mereka tidak bertemu anak, istri serta keluarga lainnya. Mereka berdiri menahan amukan massa. Ya, massa berintelek dan pekerja keras. 

Pokoknya massa yang mencakup semua orang dari golongan apapun. Massa yang mengatasnamakan gerakan anti ketidakadilan dengan cara-cara anarkis.

Bocah dalam remang-remang menatap sepi ruang publik masyarakat ini. Sedih dan sungguh terharu. Semua orang bisa berubah wajah, perusuh dan perusak. Bertindak atas nama kebenaran namun tidak tahu arah dan akhlak yang baik. Katanya hebat dan berintelek namun termakan berita-berita bohong.

Katanya berjuang mengandalkan akal sehat. Tapi, apa yang terjadi? Malah datang bukan dengan akal sehat. Runtuh berbagai teori ilmu pengetahuan yang dipelajari karena ditindas, ditendes dan ditindis oleh pemegang linggis-linggis kekuasaan, orang-orang yang tak bertanggung jawab. 

Bangsa membutuhkan kaum intelektual yang mencerdaskan bukan mereka yang bermain tanpa nalar, fakta dan data yang benar.

Gerakan massa dalam demo yang kini kosong di depan mata semakin mengaburkan pandangan bocah itu. Dia bertanya, dimanakah kualitas manusia berdasarkan tingkat pendidikan? Berdemo dengan akal bukan tanpa akal. 

Jadilah penerang bagi masyarakat dengan wawasan yang membangun bukan meruntuhkan

Presiden Jokowi dalam keterangan pers terkait Undang-undang Cipta Kerja, menjelaskan bahwa tujuan sebenarnya dari pembuatan undang-undang ini adalah demi kepentingan masyarakat itu sendiri. 

Pemerintah berusaha membangun lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya guna menghentikan pengangguran di pelosok negeri. Tapi sayang, semua hal baik yang direncanakan oleh pemerintah hancur luluh lantah dan berantakan.

Pandemik covid-19 dan demo penolakan undang-undang cipta kerja menjadi pedang bermata dua bisa yang menghancurkan rumah Ibu Pertiwi. Untung saja negara kuat dan tetap mencari jalan keluar mengatasi persoalan ini.

Demo yang terjadi beberapa hari ini sebenarnya telah melanggar protokol yang dibuat pemerintah untuk mengatasi penularan korona. Tapi, usaha tersebut sia-sia belaka. Tugas para medis yang menjadi garda terdepan semakin berat.

Bocah kecil di trotoar itu hanya bisa menatap kosong ketika seorang loper koran menunjukkan wajah ayah dan kakaknya di halaman pertama media cetak. Mereka menghancurkan masa depan anak dan adik sendiri. Keterlibatan dalam demo itu sia-sia. Semua fasilitas dirusak.

Dari video-video yang ditemukan di grup publik, banyak orang yang kelihatan bodoh ketika ditanya apa, mengapa dan bagaimana? Kebingungan mereka menjadi bahan tawa dari orang-orang kecil. 

Malu jika bertindak tanpa tahu sebab. Mereka bergerak karena pengaruh orang-orang dekat dan sahabat. Sekali lagi, bocah itu malu menjadi melihat tindakan yang tidak terpuji.

Berdemolah dengan diri sendiri sebelum berdemo untuk orang lain. Bukalah wawasan berpikir baru memberi wawasan bagi orang lain. Jangan sampai jatuh dalam kebingungan karena ulah sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun