Masih terngiang dalam benak sebuah kenangan pahit di Kota Budaya, Yogyakarta. Kenangan yang sungguh memalukan saya di hadapan beberapa teman dari Yogyakarta dan Palembang. Waktu itu, tepatnya, hari Minggu, 08 Oktober 2017, seorang mengajak saya mengunjungi sebuah tempat wisata yang masih berada dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. "Kalibiru", demikian orang menyebutnya.
Dalam grup WA kami sepakat berkumpul di terminal Condong Catur, pukul 08.00. Karena bertepatan dengan hari Minggu, saya memutuskan untuk mengikuti misa Bahasa Jawa di Paroki Banteng, jalan Kaliurang. Meski tidak mengerti bahasa Jawa saya tetap percaya diri mengikutinya. Setelah misa saya kembali ke komunitas. Semua perlengkapan sudah saya siapkan  pada malam hari. Saya menikmati sarapan pagi kurang lebih sepuluh menit.
Ponsel mulai bergetar setelah saya mengaktifkan data. Saya melihat banyak pesan masuk dan berusaha untuk tidak membukanya. Waktu menunjukkan pukul 07.35. Sepeda kesayanganku tersusun rapi di garasi. Saya mengambil 'si merah', demikian saya menamainya, dan melaju kencang menuju terminal Condong Catur. Perjalanan wisata kali ini tentu tidak menggunakan sepeda. Kalaupun menggunakannya pasti membutuhkan waktu dua sampai tiga hari.
Saya memarkir sepeda di sebuah rumah parkir, tiga puluh meter sebelum terminal Condong Catur. Si merah akan aman terkendali. Biaya parkir bertarif dua ribu rupiah. Saya menuju terminal, setelah memastikan 'si merah' diparkir dengan baik. Dari jauh saya melihat teman-teman telah berkumpul. Kami sepakat membawa tas ransel berisi bekal secukupnya, memakai sepatu dan topi.
Tiga sahabat yang berasal dari Palembang tampak sedang menyusuri jejak digital mengenai wisata Kalibiru. Empat teman dari Yogyakarta sibuk bercerita tentang pengalaman mereka ke tempat yang sama dalam waktu yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa piknik kali ini sungguh berbeda dan terasa istimewa. Saya tidak mengerti apa yang mereka maksudkan dengan kata berbeda dan istimewa. Kita ditemani penjelajah dan wisatawan dari Indonesia Timur. Tamu istimewa dari bumi 'Matahari Terbit'. Meskipun terbitnya terpeleset ke selatan Indonesia, Nusa Tenggara Timur.
Saya tertawa ngakak. Gurauan dan canda ria menghangatkan suasana. Saya membalas ungkapan hati mereka dengan sebuah lelucon yang sungguh rileks dan santai. Teman-teman, semalam saya tidak tidur. Berharap matahati cepat terbit. Saya bahagia hari ini bisa bepergian menikmati indahnya pemandangan alam bersama putra-putra terbaik Yogyakarta dan Palembang, tempat 'Matahari terbenam'. Ya, putra-putra yang menamai diri "Pujakusuma", Putra Jawa Kelahiran Sumatra. Kalau mau jujur kalian itu penduduk asli Palembang dan tidak ada warna Jawa sedikitpun.
Guyonan saya sungguh mengocok perut. Suasana santai. Banyak orang di sekitar kami juga menikmati percakapan kami. Terlihat mereka ikut-ikutan tertawa. Entahlah saya tidak tahu apakah mereka mengerti cerita saya yang kental dengan dialek NTT. Percakapan dan guyonan seperti ini tentu muncul ketika hubungan persahabatan kami terjalin erat. Jika tidak demikian guyonan seperti itu berbau pelecehan budaya. Sikap terbuka untuk saling mengenal budaya orang lain menjadi jalan untuk menghilangkan pelecehan atau perendahan budaya.
Bus umum Trans Jogja nomor 03 memasuki terminal Condong Catur. Dengan cekatan kami masuk dan mencari tempat duduk. Lama perjalanan kurang lebih tiga jam. Selain menyita waktu, perjalanan ini juga menyita tenaga. Namun, ketika tiba di tempat wisata semua perasaan itu hilang. Saya merasa senang dan bahagia ketika panorama indah terpampang di depan mata.
Bukit Kalibiru penuh eksotik memberi angin segar. Saya merasa bangga bisa menjelajahi wisata alam Yogyakarta ini. Inilah kesempatan terbaik yang harus saya lakukan untuk mengumpulkan cerita-cerita hidup. Selain Kalibiru, saya telah mengunjungi Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, Malioboro, Puncak Becici, Bukit Bintang Jogja, Hutan Pinus Pengger, Pasar Beringharjo, Benteng, Bredeburg, Keraton Yogyakarta, Museum Gunung Merapi, Monumen Jogja Kembali, Pantai Parang Tritis, Tebing Breksi, Pantai Krakal, Gua Maria Jati Ningsih, dan masih banyak lagi.
Ketika berjalan mendaki ke puncak Kalibiru, seorang teman dari Palembang mempromosikan daerah wisata tempat asalnya. Dia menunjukkan beberapa foto pemandangan wisata alam tersebut. Saya mencoba menanyakan beberapa hal mengenai letak, sejarah, keunggulannya dan kontribusi untuk masyakarat. Dia menarasikannya dengan sangat baik.
Sahabat dari Yogyakarta dengan semangat yang sama mempromosikan wisata alam dan wisata kuliner khas Yogyakarta. Dia mampu mengisahkannya dengan sangat detail. Saya seperti berada di tempat tempat wisata yang dia ceritakan. Saya menjadi pendengar yang tulen. Namun, mereka merasa tidak adil ketika saya tidak menceritakan wisata alam  Nusa Tenggara Timur. Saya diam beberapa menit dan memberi alasan merasa capai. Mereka tertawa dan terus menagih cerita.
Saya mengambil handphone dan mencari di internet wisata alam NTT. Saya menunjukkan beberapa tempat wisata yang membanggakan masyarakat NTT. Teman-teman ini Taman Nasional Komodo, Rumah Adat Wae Rebo, Danau Lotus, Kampung Adat Todo, Pink Beach, Pulau Padar, Pulau Rinca, Pulau Kelor, Liang Bua, Sawah Lodok, Padang Sabana Mausui, Pantai Mbolata, Air Terjun Tiwu Repot, Air Panas Soa, Danau Tiga Warna Kelimutu, Air Terjun Oehala, Pantai Oetune, Pantai Sukarlaran, Tradisi Tangkap Paus Lamalera, Tradisi Semana Santa Larantuka, Waikelo Sawah, Laguna Weekuri, Desa Ratenggaro, Â Air Terjun Tanggedu, dan masih banyak lagi.
Teman saya dari Yogyakarta sangat tertarik dengan khasana budaya, wisata religi, serta panorama alam bumi FLOBAMORA. Saya menepuk dada dan merasa berada di atas mereka. Seorang teman dari Palembang ingin mendengar sejarah terbentuknya wisata-wisata yang telah saya sebutkan tadi. Ada yang kurang dari narasi yang saya ceritakan. Dia mengusulkan untuk mengembangkan literasi budaya-budaya di NTT. Tanpa narasi yang diabadikan dalam literasi yang baik mengenai sejarah, tempat, luas dan keunikkannya, tempat-tempat tersebut tidak ada gunanya.
Saya terpukul dengan masukan yang diberikan oleh teman dari 'Matahari terbenam' ini. Dia kelihatan bijak sekali. Padahal di kelas sering ngatuk dan datang terlambat. Saya sadar bahwa pengembangan literasi akan budaya NTT kurang diperhatikan oleh pemerintah. Pembenahan tempat wisata akan semakin sempuna jika diikuti dengan narasi literasi yang baik.
Aku diam seribu bahasa hingga menggapai puncak Kalibiru. Aku merasa malu sejak temanku menyentil soal narasi literasi budaya di NTT. Dimanakah orang-orang pintar yang peduli sejarah, wilayah, budaya, dan literasi di NTT? Jika promosi budaya dikembangkan dengan literasi semuanya akan menjadi sempurna. Anak-anak muda akan dengan bangga menceritakan kisah-kisah dari gubuk tua yang bernama NTT ini. Saat itu hingga kini saya masih merasakan kegelisahan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H