Minat membaca dan menulis di masa pandemi ini melonjak drastis. Semua orang berlomba-lomba membekali diri dengan melahap berbagai informasi, entah di media cetak atau media online.Â
Grup-grup pegiat literasi di akun media sosial kebanjiran pendatang baru. Mereka datang dengan satu misi, "Ingin mengabadikan momen kalau saya adalah saksi sejarah korona.
Matahari pengetahuan menyinari serta memanasi jagad maya dan nyata. Penyebaran arus informasi menjaring di udara. Tertangkap semua orang melek pengetahuan dalam jenjang usia yang berbeda mulai dari tingkat sekolah dasar hingga lanjut usia.Â
Mereka bisa mengakses berbagai genre tulisan, entah sastra atau ilmiah, entah metode belajar atau tutorial memasak, entah cara cepat menurunkan berat badan atau tips mencari jodoh yang tepat.
Cita-cita mengabadikan momen itu terekam jelas di dinding-dinding linimasa media sosial, di dalam folder-folder komputer dan dalam catatan di buku-buku harian.Â
Mbak "google" penyokong dan penyaji informasi tercepat dan tercanggih di dunia, dibanjiri peminat informasi. Google, sang filsuf amatiran di dunia para digital. Dia semakin dipuja-puji.
Gerakan mengabadikan sejarah serta niat melawan lupa di masa pandemi ini menjadi aksi tandingan bagi mereka yang terlalu mendewakan ijazah tanpa memperkaya diri dengan "on going education by reading and writing."
Dalam catatan dunia, bangsa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesadaran membaca sangat minim. Presentasi orang yang membaca setiap hari sangatlah sedikit. Hanya instansi pendidikan seperti sekolah dan kampus-lah yang menjadi penyumbang minat membaca bagi bangsa ini.Â
Ya, memang harus seperti itu karena sekolah dan kampus mewajibkan orang membaca dan menulis. Namun, perlu ditinjau lebih jauh apakah minat dan motivasi membaca dan menulis di sekolah dan kampus juga sangat besar?
Lantas bagaimana dengan masyarakat di luar instansi pendidikan itu? Seperti mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, di perkantoran, nelayan, petani, pedagang, dan lain sebagainya? Apakah ada minat membaca di sela-sela kesibukan harian?
Ada tren bahwa kegiatan membaca dan menulis itu berhenti ketika telah menerima ijazah. Memang benar bahwa ijazah adalah bukti bahwa kita pernah mengenyam pendidikan.Â
Tapi sayang, pendidikan dan pengetahuan tidak berhenti ketika sudah memperoleh ijazah. Jika demikian, kita hanyalah pengejar gelar yang mati gaya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Fenomena ini menjadi pekerjaan besar rumah tangga Indonesia. Matinya niat membaca dan menulis mulai merangsek masuk dalam perjalanan hidup masyarakat.Â
Bagi mereka, "Itukan kewajiban pemilik seragam sekolah. Saya tidak membutuhkan itu. Ni, ijazah saya. Paham tidak? Jadi jangan terlalu prihatin dengan kehidupan saya setelah mengucapkan sayonara terhadap lonceng sekolah dan meludahi seragam dengan pilox dan spidol dan air warna lainnya."
Semua ini adalah realitas nyata yang telanjang di depan mata pasca pendidikan formal. Kejujuran mereka sungguh memalukan. Lembaga pendidikan perlu mendengungkan kembali jargon, "Long Life Education."Â
Pendidikan hendaknya merambat dalam seluruh perjalanan hidup manusia Indonesia. Pendidikan tidak mati gaya setelah tamat sekolah.Â
Dia harus bermekar seumur hidup. Melampaui ijazah yang akan pudar termakan waktu. Kertas dan tintanya akan luntur. Ini darurat nasional.Â
Bahaya mendewakan ijazah bagi anak-anak Ibu Pertiwi harus didengungkan sekarang juga. Jangan tunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H