Dua Santriwati berjilbab keluar dari pesantren. Mereka datang menemui kami. Senyum indah terpancar dari wajah keduanya. Mereka tahu siapa kami. Tanpa menunggu lama kami dituntun menuju asrama para Santri.
"Selamat datang di pesantren kami. Semoga kegiatannya lancar," ungkap seorang Santriwati.
Tanpa menunggu lama kami bergegas menuju tempat penyimpanan barang. Suasana baru menghiasi hidupku. Akhirnya aku bisa datang dan tinggal sementara di pesantren ini. Aku harus memanfaatkan momen ini.
 "Semoga aku kerasan berada di sini. Aku harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan aturan yang ada. Rutinitas kuliah harus ditinggalkan agar aku bisa memasuki kehidupan yang baru. Mata kuliah Sakramentologi, Trinitas dan Kristologi harus kutinggalkan untuk sementara waktu. Rasanya mata kuliah dialog agama-agama, Islamologi, Moral Sosial, dan Etika sangat cocok untuk konteks saat ini. Ya, meskipun aku cuma mendapat nilai B," ungkapku sambil tersenyum melihat kagagalan semester lalu.
***
Hari sudah mulai gelap. Selepas membersihkan diri, aku memutuskan untuk menuju angkringan. Nasi goreng menjadi teman setia kopi hitam di sore itu. Waktu hampir menunjukkan pukul 18.00. Situasi seputar Masjid menjadi hening. Para Santri dan Santriwati menuju ruang doa. Dalam kekyushukan mereka membawa sajadah dan Alquran. Aku menyeruput kopi hitam secepat mungkin.
"Aku harus cepat. Pemilik kantin ini akan ikut magrib," ungkapku dalam hati sambil menatap ke arah loker pembayaran.
Aku berjalan menuju Masjid dan berdiri di hadapannya. Suara Adzan membela heningnya malam. Aku masuk dalam situasi doa. Segala kegiatan dihentikan tatkala Pak Ustad sedang mendaraskan kata-kata doa. Aku terbelalak melihat situasi ini. Selama ini aku hanya mendengar suara ini dari jauh. Kini, suara itu hanya berjarak bebrapa meter.
"Di sini toleransi beragamanya sangat kuat," suara seorang tua memecah keheningan batinku.
"Perkenalkan. Namaku Parjo. Ustad yang memimpin doa adalah anak pertamaku," terangnya.
Aku kaget bercampur takut. Ini pertama kali aku berdiri di depan Masjid dan berbicara dengan seorang yang memiliki peran penting di tempat ini. Pak Parjo seorang tua. Dia seorang cendikiawan. Cara bicaranya menampakkan hal itu. Aku jadi salah tingkah ketika berbicara dengannya. Selain itu, dia seorang yang memiliki sikap yang baik. Aku tidak kaget jika dia mengatakan bahwa anaknya adalah seorang Ustad. Pepatah lama menegaskan bahwa, "Buah jatuh tidak jauh dari pohon."
"Mas dari flores ya?" tanya Pak Parjo.
"Iya Pak. Aku dari Flores dan sekarang sedang kuliah di Yogyakarta," jawabku.
"Dulu ketika masih muda, aku memiliki banyak sahabat dari Nusa Tenggara Timur. Mereka sangat baik. Hingga kini aku masih memiliki nomor kontak mereka. Aku sangat senang bergaul bersama mereka. Melalui pergaulan itu aku bisa merubah mindset-ku tentang orang Indonesia Timur. Kata orang, saudara-saudara dari Indonesia Timur memiliki watak yang keras dan mudah sekali mencari persoalan. Awalnya aku takut bergaul bersama mereka. Namun, setelah berkenalan secara mendalam aku merasa mereka adalah saudara kandungku sendiri, "kenang Pak Parjo.
Aku hanya bisa mendengar kisahnya. Dalam hati aku merasa senang berkenalan dengannya. Kata-katanya menguatkan kakiku yang terus gemetar semenjak berhadapan dengannya. Aku semakin mendapat tempat di hatinya. Keterbukaannya menandakan bahwa di sini tidak ada perbedaan yang memisahkan.
Pak Parjo melanjutkan kisahnya. "Nak, aku menemukan indahnya persahabatan ketika bergaul dengan Rian. Dia berasal dari Flores Barat. Ya asalnya Mang...Mang..."
"Manggarai Pak," sambungku.
"Betul nak. Dia berasal dari Manggarai. Aku sering dibantu olehnya ketika mengalami kesulitan. Dia tidak segan-segan memarahiku saat aku lalai menyelesaikan tugas. Awalnya aku merasa takut dan menghindar darinya. Namun, setelah marah dia tidak menaruh dendam. Dia kembali merangkul aku. Kami kembali bersahabat seperti biasa. Aku mengalami hal yang sama beberapa kali. Sejak saat itu aku mengerti watak dan filosofi orang NTT," kisah Pak Parjo.
Magrib telah selesai. Para Santri dan Santriwati kembali ke pesantren. Begitu juga masyarakat mulai dari anak-anak hingga orangtua. Senyuman mereka menenangkan hatiku. Perasaan takut saat pertama kali menginjakkan kaki di sini mulai hilang.
"Aku harus meninggalkan pakaian yang kukenakan selama. Aku datang untuk berdialog dan mengalami kehidupan bersama. Pakaian agama, suku, bahasa harus kutanggalkan saat ini. Untuk masuk lebih dalam serta mengenal mereka aku, harus menyangkal siapa aku. Inilah kesempatanku menimbah pengalaman dari agama, budaya serta bahasa lain. Aku kini berada di Jawa. Rasa ke-Floresan-ku harus kusangkal saat ini. Dari semuanya aku bisa menyangkal, namun wajah tidak dapat disangkal," senyumku dalam hati ketika memikirkan tentang wajah.
"Nak, jika ingin mengetahui filosofi hidup orang Jawa kamu, harus menyangkal dari dirimu sendiri. Kata ini terus membekas di dalam hatiku. Rian, sahabat lamaku, telah merubah pola pikirku tentang agama, budaya, watak, suku, ras di luar diriku. Aku terpukul saat dia menyampaikan hal itu. Selama ini aku terkurung dalam kenyamanan diriku sendiri. Aku selalu berpikir bahwa tidak ada kebaikan lain di luar ruang lingkup hidupku. Ternyata aku salah. Keterbukaanku untuk bergaul dengan Rian meruntuhkan tembok pemisah di hidupku," ungkapnya sambil menunduk.
Aku terpukul dengan perkataannya. Refleksinya menikam hatiku. Dia mengkritik diri namun efeknya membias ke dalam pengalaman hidupku. Selama ini aku bangga ketika menyebut diri seorang Katolik. Aku menepuk dada saat orang mengatakan bahwa Flores adalah Vatikan Indonesia. Namun, apa gunanya berada dalam lingkup mayoritas Katolik namun tidak terbuka dengan agama, suku, budaya, ras lain?
Aku mengerti bahwa Tuhan hadir melalui orang lain untuk menyadarkanku. Kini aku bisa menerima setiap perbedaan. Jika tidak aku hanya terkungkung dalam sebuah kecurigaan yang menyiksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H