Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puasa di Flores dan Gadis Berjilbabku

8 Mei 2019   22:28 Diperbarui: 8 Mei 2019   22:50 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara adzan menghiasi langit cerah sore ini. Dari empat penjuru mata angin, doa saudara-saudara muslim membahana. Ungkapan hati, harapan dan cinta terdengar dari suara doa yang kudus. Selang beberapa menit dari empat penjuru mata angin yang sama, ceramah-ceramah diperdengarkan. Seruan kebersamaan, wejangan puasa dan amal bhakti menuntun setiap umat masuk ke dalam diri. Sebentar lagi mereka akan berbuka puasa bersama. Inilah momen berahmat yang sedang mereka jalani.

"Ten, sedang apa kamu?" sapa Mustofah.

"Eh, Mustofah. Aku sedang mendengar ceramah di sore ini," jawab aku sedikit membenarkan kursi.

"Aku pinjam kamar mandinya, ya?" Mustofah meneruskan.

"Ah, kamu ini. Masuk aja. Kamar mandinya sebelah kanan. Kamu masuk lalu ke kiri. Kamar mandinya tepat di sebelah kiri," jelasku sambil mengarahkan pandangannya.

"Oke. Makasih ya, Ten," dia menimpali.

Ceramah yang begitu indah menenangkan hatiku. Aku terus menyimak setiap kata yang disampaikan. Satu kata yang kudengar soal agama Islam itu agama damai. Kalimat ini membuka ruang refleksiku. Selama ini banyak orang selalu mengaitkan aksi teroris dengan agama Islam. Namun, dari berbagai ceramah, seminar, dan dialog antar agama, aku tahu Islam itu agama damai. Tidak hanya itu, semua agama selalu mengajarkan hal baik.

Selang beberapa menit Mustofah datang mendekatiku. Dia membereskan sarung dan pecinya.

"Kamu udah sholat, ya Mustofah?" tanyaku.

"Ya, sebentar Ten. Aku masih menunggu Iksan. Dia sedang siap-siap di rumah," terang Mustofah.

"Nanti kalau udah buka, hubungi aku ya," pintaku memohon.

Ah, Aten. Yang ada di pikiranmu hanya makan, makan dan makan. Iya pastilah. Kamu boleh bergabung. Kamu udah jadi bagian dari keluarga aku," ungkapnya.

Iksan datang menemui Mustofah. Mereka berangkat menuju masjid. Mengenal mereka adalah kebahagiaanku di tanah rantau. Hampir empat tahun aku tinggal di lingkungan mayoritas beragama Islam. Bulan puasa adalah bulan yang sangat istimewa bagiku. Aku bisa bersolider dengan saudara-saudara muslim. Mereka sangat baik dan selalu berbaik hati.

***
Bulan puasa ini mengingatkanku pada kenangan masa kecil. Waelengga adalah kampung halamanku di Manggarai Timur, Flores, NTT. Masyarakat di sana selalu hidup dengan damai. Mayoritas masyarakat beragama Katolik. Sebagian beragama Islam dan Kristen Protestan. Meski demikian, persatuan dan persaudaraan tetap terjaga.

Bulan puasa merupakan saat yang tepat untuk bermain bersama teman-teman muslim. Keakraban di antara kami tidak akan pernah luntur meski banyak isu yang beredar. Agama tidak bisa menjadi pemisah atau pemecah relasi persaudaraan kami. Hubungan keluarga, persahabatan dan persaudaraan selalu menyatukan kami. Inilah kebanggaan kami di bumi Waelengga.

Banyak hal konyol yang kami lakukan bagi sesama sahabat kami yang sedang berpuasa. Terkadang kami mengganggu mereka dengan memakan sesuatu di depan mereka. Mereka tidak akan pernah marah. Tindakan seperti ini hanyalah sebuah lelucon untuk mencairkan suasana. Tak ada yang akan tersinggung, sebab kami selalu hidup dalam kelebihan dan kekurangan secara bersama. Inilah indahnya hidup bersama di kampung halaman.

Saat buka puasa menjadi momen yang paling indah. Terkadang saudara-saudara yang berpuasa tidak mendapat makanan karena keinginan kami melahap semuanya. Semuanya tidak menjadikan kami sebagai musuh namun sebagai saudara. Tak ada yang bisa menggantikan pengalaman indah di bulan puasa saat berada di Flores.

***
Saat buka puasa telah tiba. Semua umat muslim bersalam-salaman. Mereka terlihat bahagia. Aku turut dalam kebahagiaan itu. Mereka mengucapkan permohonan maaf satu dengan yang lain. Aku pun ikut memohon maaf. Dalam hati aku merasa kembali ke kampung halaman. Indah sekali sore ini. Rindu akan kampung halaman menghiasi hati di kala suasana memanggil pulang.

Di sela-sela silahturahmi itu, aku mendapati seorang gadis cantik. Aku tak pernah bertemu dengannya. Wajahnya membius sebagian diri ini. Aku terperangah menatap senyum manisnya. Jilbab pink yang dikenakannya menampakan kekudusan. Aku tak pernah akan kehadirannya. Dengan sedikit kencang aku menampar kedua pipiku. Mungkin dengan cara itu aku bisa sadar dari mimpi indahku berhadapan dengan gadis cantik ini.

Aku kaget saat dia berdiri tepat di hadapanku.

"Mas, mohon maaf ya," ungkapnya dengan lembut.

"Maafkan aku ya, Mbak," pintaku.

Hatiku berbunga-bunga. Aku belum pernah melihat gadis muslim secantik ini. Empat tahun aku menetap di tempat ini dan belum pernah melihatnya. Kehadirannya membuatku semakin bersemangat. Wajah dan senyum manis gadis itu terus melekat di ingatanku. Aku tak pernah bosan membayangi wajahnya. Dia cantik dan penuh kelembutan. Aku mengakui itu.

Aku bergabung ke keluarga Mustofah untuk berbuka bersama. Mereka berdoa bersama secara Islam. Aku tetap mengingat Kristus. Tanda salib menandai makan malam bersama. Keluarga Mustofah tahu identitasku sebagai seorang Katolik. Namun, semuanya bukan menjadi masalah. Mereka justru merasa terahmati berkat kehadiranku. Pemahaman mereka tentang agama lain semakin terbuka.

"Ayo, Ten. Kita makan bersama ya. Jangan malu-malu habiskan ya!" pinta ayah Mustofah yang adalah seorang ustad.

"Makasih pak. Selamat berbuka buat keluarga semuanya," jawabku seraya menyapa semua keluarga.

Makan malam begitu nikmat. Aku kembali ke kos dengan penuh kebahagiaan. Beberapa ketupat kujinjing. Inilah bekal makan pagi besok sebelum ke kampus. Selepas makan, Mustofah dan Iksan berpamitan untuk mengikuti kegiatan Remaja Masjid. Biasanya aku menemani mereka namun malam ini ada tugas yang harus kuselesaikan. Pak ustad bersama ibu menikmati acara di televisi seputar puasa.

Saat tiba di kamar, aku masih mengingat gadis cantik yang kujumpai di masjid tadi siang. Hatiku berdetak cepat saat dia hadir di hadapanku. Perasaan demi perasaan mulai menghampiri. Rasa suka mulai timbul. Hatiku mulai merasa galau. Aku tak lagi memikirkan makanan ataupun tugas kuliah. Yang ada di benakku hanyalah malaikat masjid siang tadi.

Dalam nada memohon aku berlutut di hadapan Bunda Maria dan Tuhan Yesus. Aku mengucap syukur atas semua pengalaman yang kuterima hari ini. Di hadapan Maria, aku memohon rahmat mencintai secara tulus. Dalam doa aku menyerahkan gadis muslim itu. Satu intensi khusus baginya agar menjadi gadis yang baik. Penyerahan dan doaku sedikit menenangkan gelora hatiku. Tuhan tahu apa yang kurasakan dan Dia memberi ketenangan hati.

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun