Bahasa Indonesia di mancanegara. Berdasarkan penelusuran AI Overview di mesin pencarian, Bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang ramai di pelajari di Asia, setelah bahasa Jepang dan Mandarin. Bahasa ini juga diakui sebagai salah satu bahasa resmi Sidang Umum UNESCO, bahasa resmi kedua di negara Vietnam, bahasa populer keempat di Australia dan setidaknya ada 52 negara asing yang membuka Program Studi Bahasa Indonesia. Tidak heran jika bahasa ini tampil sebagai bahasa primadona se-Asia Tenggara.
Kita boleh merasa jumawa dengan kesuksesanSuksesnya Bahasa Indonesia di pelataran global, menunjukkan bahwa bahasa kita telah mendapatkan penerimaan yang baik dan laris manis. Bahasa kita telah menghasilkan lulusan bule yang sukses seperti Nicholas Molodysky, seorang Youtuber asal Australia yang mencintai Bahasa Indonesia, Husein Nasimov, Youtuber Rusia yang lancar berbicara Indonesia, dan Infuencer Jang Hansol dari Korea dengan channelnya Korea Reomit.
Mereka dapat berbicara Bahasa Indonesia dengan fasih, menulis dengan tata bahasa yang baik, bahkan beberapa dari mereka punya semangat melestarikan budaya Nusantara dan mendalami bahasa daerah, seolah sudah siap menjadi pribumi.
Sebagai bahasa yang tenar di negeri asing, nasib Bahasa Indonesia di tanahnya sendiri punya kisah yang berbeda. Dari aktivitas penelusuran di Google, banyak artikel yang menyebutkan, jika Bahasa Indonesia di ruang pendidikan, masih kerap membosankan.
Pada ruang pendidikan, Bahasa Indonesia tidak hanya mengajarkan kemahiran berbicara seseorang, namun meliputi juga keterampilan menulis secara koheren dan kohesi, penguasaan KBBI, dan kemampuan membaca aktif. Negeri kita mewajibkan pelajaran Bahasa Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar hingga masuk universitas. Adanya jam terbang yang tinggi bagi bahasa Indonesia, sudah semestinya mampu meningkatkan kemahiran masyarakat Indonesia dalam berbahasa. Namun, dalam realitanya, nilai Bahasa Indonesia di ujian-ujian sekolah maupun test perguruan tinggi, tidak melulu semampai. Dalam tulisan opini baik di yoursay.suara.com maupun quora, dipaparkan jika Bahasa Indonesia tidak semudah kelihatannya.
Alasan bahwa Bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang rumit, cukup ramai dikonfirmasi. Ada opini yang bilang, kalau Bahasa Indonesia selalu menitikberatkan pada kemampuan pengetahuan atau teori saja. Suguhan bacaan yang panjang ditambah jarang latihan soal, memicu celetukan panjang siswa bahwa, “Bahasa Indonesia bikin ngantuk.” Apalagi mengingat Bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hari, tidak mengherankan jika ada faktor menyepelekan juga di pelajaran ini.
Dulu, saat ujian nasional masih ada, kita bisa menakar tingkat nilai ujian siswa secara nasional. Seperti yang disampaikan Badan Bahasa Kemendikbud dalam websitenya pada tahun 2014, bahwa di Pontianak, banyak siswa mendapat nilai sepuluh untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, apalagi Bahasa Inggris. Namun, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, mendapatkan nilai sepuluh itu menjadi hal yang langka. Secara lanjut, problematika Bahasa Indonesia di ruang pendidikan juga diangkat oleh Lisda Hendrajoni, anggota Komisi X DPR RI di tahun 2023, jika nilai Bahasa Inggris siswa lebih tinggi ketimbang nilai Bahasa Indonesia. Data ini menjadi bukti adanya kesenjangan dari penggalakan jam belajar Bahasa Indonesia dengan output yang dihasilkan.
Sebagai siswa, penulis juga pernah menyadari hal itu, yakni Bahasa Indonesia penuh dengan teori. Pelajaran yang banyak teori tapi minim latihan. Sedangkan dalam realitanya, siswa seringkali fokus menghafal teori, padahal dalam tes ujian sekolah, nasional maupun masuk perguruan tinggi, tes yang muncul justru tes uji analisis. Perintah analisis bacaan selalu menjadi soal mayoritas. Hal ini menyulitkan siswa menjawab karena kurangnya praktik selama di kelas atau strategi mengajar guru yang dilakukan tidak prospektif.
Memasuki jenjang perguruan tinggi, Bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib yang sudah diamanatkan PP Nomor 57 tahun 2021. Mata Kuliah ini hadir untuk menunjang keterampilan berbahasa dan penyusunan karya tulis ilmiah seperti makalah, laporan, dan skripsi. Namun, kondisi kelas Bahasa Indonesia yang ditemui di beberapa kampus, juga tidak begitu baik. Berdasarkan penelitian Rohmadi, Ketua Asosiasi Dosen Bahasan dan Sastra Indonesia (Adobsi), perkuliahan Bahasa Indonesia masih hanya sekadar ceramah, dilakukan secara masal hingga mahasiswanya mencapai seratus orang sekaligus, dan dosen pengampu yang tidak bergelar S2 Bahasa Indonesia.
Tantangan Bahasa Indonesia saat ini juga adalah siswa dan mahasiswa yang semakin aktif berbahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Secara fenomena, mahasiswa yang merupakan angkatan Gen Z, cenderung lebih nyaman menggunakan Bahasa Inggris dalam diskusi akademik, atau bahkan dalam konteks yang tidak mengharuskan penggunaan bahasa asing. Hal ini disebabkan karena Gen Z lahir di fase saat teknologi berkembang. Di usia belia, mereka sudah berjumpa dengan globalisasi. Sehingga, tercipta karakter generasi yang enjoy dengan multikultural bangsa dan kemajuan teknologi. Hal ini berdampak pada dinamika berbahasa Indonesia yang menemui situasi baru.
Jika saja lembaga pendidikan, tidak memberi pengasuhan betapa pentingnya fungsi Bahasa Indonesia, mungkin siswa akan semakin menjauh dalam memberi perhatian pada Bahasa Indonesia, mengingat penggunaan bahasa asing dan gaul yang jadi komoditi meluas pergaulan modern. Itulah mengapa, metode pembelajaran mesti perlu bebenah. Jangan sampai Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dicap sebagai bahasa membosankan di ruang pendidikan.
Pada tingkat SMP dan SMA, pengajaran jangan hanya melulu titah mencari ide pokok, topik, atau kalimat utama disaat soal ujian yang keluar kerap meminta analisis, yang mana butuh ditanggulangi oleh materi linguistik seperti tata bahasa, gaya bahasa hingga kalimat rumpang, yang sayangnya susah ditemui di kurikulum. Peran guru juga krusial dalam menggiring keberhasilan siswa menang di ujian bahasa ibunya sendiri. Tingginya daya jual Bahasa Inggris di komunikasi antar siswa, mesti diatasi dengan budidaya kembali Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai mandat nasional lewat percontohan yang baik dari para guru, pejabat, dan influencer.
Adapun di tingkat perguruan tinggi, Bahasa Indonesia mesti menjadi resep dari kesuksesan karya tulis. Materi tata bahasa Indonesia, penyusunan kalimat, penyusunan paragraf, hingga tugas akhir, mesti diimbangi dengan banyaknya latihan praktik. Sebagai siswa paling sulung, mahasiswa juga harus mampu berkomunikasi paling baik seperti yang diharapkan output pendidikan Bahasa Indonesia. Jika tidak, lantas bagaimana mahasiswa mengemban tugasnya menjadi agen perubahan dan penyambung lidah antara pemerintah dengan masyarakat?
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan para civitas akademika perlu bebenah terhadap sistem pengajaran Bahasa Indonesia. Guru mesti melakukan penyegaran belajar dan dosen mesti mengajar dengan kualifikasi, jangan sampai malah terjadi malapraktik. Jangan sampai bahasa ibu yang menjadi primadona di luar negeri justru menjadi kompetitor di negerinya sendiri. Populernya bahasa ibu di negeri lain, hingga menghasilkan kesuksesan bagi warga negara asing, boleh saja membuat kita jumawa, namun apalah jumawa jika situasi dalam negeri justru darurat revisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H