Sorot cahaya mentari yang masih malu-malu menyelinap melalui sela-sela jendela, menembus tiap inci udara di kamarku. Kicauan burung menjadi lagu pembuka hari, meramaikan dunia yang sejak dulu sudah bising ini. Umurku sudah seperempat abad, dan entah berapa banyak kata-kata yang mengutukku hanya karena aku tak lagi muda untuk hidup seorang diri. Ah, sulitnya menjadi perempuan di negeri patriarki ini, di mana setiap standar yang ada tak pernah berpihak pada kami.Â
Pagi ini adalah akhir pekan; setiap keluarga mengunjungi taman untuk menikmati waktu bersama, setiap pasangan merencanakan kencan, dan setiap remaja berdandan cantik untuk pergi ke kafe bersama teman-temannya. Sementara aku hanya merebahkan tubuh di atas kasur, berusaha memulihkan tenaga setelah seminggu yang melelahkan. Tidak sehat memang, tetapi kali ini aku terlalu lelah untuk berolahraga di luar.
Setelah melewati segala kepadatan dunia kerja sambil merantau di kota orang, aku semakin menyadari betapa berharganya setiap detik waktu. Oh, andai dunia ini memiliki mesin waktu yang bisa membawaku kembali ke 8 tahun lalu, aku akan menggunakannya untuk menikmati setiap momen yang ada. Di masa itu, satu-satunya hal yang kutakutkan hanyalah ujian dadakan mata pelajaran kimia. Tak perlu memikirkan pengeluaran tiap pekan, gaji yang habis sebelum akhir bulan, atau rengekan adik yang menelepon minta dibelikan mainan. Saat itu, aku hanya perlu mengenakan kemeja putih dengan bawahan abu-abu, tanpa harus pusing memilih outfit di depan lemari pakaian atau berdandan lama di depan cermin. Ah, betapa indahnya masa-masa sekolah itu. Bagaimana ya kabar mereka?Â
Ingatan tentang masa sekolah menengah terus berputar di kepalaku, seolah ada yang sengaja memutar pita kaset lama di dalam otakku. Aku tidak menyesal menjadi dewasa, hanya saja aku terlalu merindukan masa-masa remaja. Aku merindukan rutinitas yang dulu begitu akrab, merindukan keluargaku, teman-temanku, guru-guruku, dan sahabat terbaikku. Ya, sahabat dekatku yang kini telah jauh di Benua Eropa sana.Â
Ingatanku kembali membawaku pada momen-momen yang pernah kami bagi. Dahulu, setiap pagi aku selalu menunggunya di parkiran untuk berjalan bersama menuju kelas, berbagi cerita tentang apapun yang terjadi kemarin, mulai dari tugas yang menyebalkan hingga rahasia kecil kami yang tak boleh diketahui oleh siapapun. Kami berdua selalu duduk di bangku paling ujung, menuliskan mimpi-mimpi ataupun menggambar alis di kertas kosong saat jam pelajaran yang membosankan. Tak terhitung berapa kali kami tertawa hingga sakit perut karena hal sepele atau saling menguatkan saat sedang terpuruk.Â
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Hari kelulusan datang, dan kami berjanji untuk tetap saling mendukung apapun yang terjadi. Namun, hidup membawa kami ke arah yang berbeda. Aku tetap di sini, menjalani rutinitas sehari-hari, melanjutkan pendidikan hingga bekerja di negeri ini, sementara sahabatku terbang jauh mengejar impian di Benua Eropa. Sering kali aku bertanya-tanya, bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia juga sesekali mengingat masa-masa itu?Â
Meskipun kini kami terpisah ribuan kilometer, komunikasi di antara kami masih ada, walau tak seintens dulu. Pesan singkat, foto-foto perjalanan, dan cerita singkat tentang kehidupan kami masing-masing sesekali muncul di layar ponsel. Namun, kesibukan dan perbedaan zona waktu sering kali menjadi alasan mengapa percakapan kami tak lagi sehangat dulu.Â
Hari ini, rindu itu terasa lebih kuat, menusuk hingga ke relung hati. Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan baru, "Hei, apa kabar? Lagi sibuk banget ya?" Lalu, beberapa detik kemudian, aku terdiam, menyadari betapa konyolnya diriku yang mengirim pesan di pukul 8 pagi. Di Jerman, waktu lebih lambat 6 jam dari Jakarta; di sana masih dini hari,Â
pasti dia masih tertidur lelap di balik selimut tebalnya, terbungkus kehangatan yang tak kurasakan di sini.Â
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit ceroboh. Tapi begitulah sahabat---saling menghubungi tanpa mengenal waktu, meski sering kali hanya bertukar pesan singkat yang jarang berbalas cepat. Mungkin pesanku baru akan terbaca saat dia bangun, atau saat dia sempat meluangkan waktu di sela-sela harinya yang padat. Tidak masalah bagiku; ini hanya caraku menjaga agar kami tetap terhubung, meski jarak dan waktu sering kali menjadi penghalang. Â
Nyatanya, hari-hari yang Ia jalani masih sama, dipadati oleh pekerjaan dan kesibukan lainnya. Tentu saja aku tidak mempermasalahkannya; aku senang sekali melihat sahabatku mewujudkan impiannya satu per-satu. Ternyata, kami berdua sudah dewasa, ya!Â
Beberapa minggu berlalu setelah pesan singkat itu. Kami saling bertukar cerita sesekali, membahas kesibukan masing-masing, hingga suatu hari, aku mendapat kabar yang tak terduga. "Aku bakal liburan ke Indonesia bulan depan! Akhirnya bisa pulang juga, meski cuma sebentar," tulisnya di layar ponselku. Hatiku melonjak senang. Setelah bertahun-tahun berkomunikasi lewat layar, akhirnya kami bisa bertemu kembali.Â
Hari pertemuan itu tiba. Di sebuah kafe kecil pusat kota yang sering aku kunjungi ini, aku melihatnya sedang duduk menungguku di meja sudut. Ajaib! Dulu, aku yang selalu menunggunya ketika kami berjanjian. Kini, ia datang lebih dahulu dengan pakaian rapi dan elegan, ia telihat sangat anggun dan cantik! Wajahnya tak banyak berubah dengan senyuman yang selalu membuatku merasa hangat. Kami saling berpelukan erat, seakan mencoba menggantikan waktu yang hilang.Â
Percakapan mengalir tanpa henti. Kami tertawa mengingat kejadian-kejadian konyol, membahas kehidupan yang sekarang jauh berbeda, dan merencanakan hal-hal yang dulu hanya bisa jadi angan. Selama pertemuan, aku terkesan melihat bagaimana ia dengan rapi menata semua barang-barangnya, mulai dari mengatur tas hingga meletakkan cangkir dengan hati-hati. Kebiasaan ini membuatku tersadar akan detail-detail kecil yang sering aku abaikan.Â
Saat ingin meninggalkan kafe, ia memastikan untuk meninggalkan tempat dengan bersih, tidak hanya karena kebiasaan di Jerman, tetapi juga sebagai bentuk rasa hormat terhadap tempat yang kami kunjungi. Aku merasa terinspirasi oleh kebiasaan-kebiasaan baik itu. Meskipun kami berasal dari latar belakang yang berbeda, aku melihat bagaimana kebiasaan baik dari tempat lain bisa memperkaya kehidupan sehari-hari. Pertemuan iniÂ
bukan hanya mempererat persahabatan kami, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kebiasaan kecil bisa membawa dampak besar dalam kehidupan.Â
Meskipun telah sekian lama terpisah, Aku dan sahabatku merasakan kedekatan yang terasa begitu alami. Kami berbagi cerita, tertawa, dan mengingat kembali masa-masa indah yang pernah kami lalui bersama. Ternyata, meskipun banyak hal yang berubah---dari kebiasaan sehari-hari hingga cara kami melihat dunia---persahabatan kami tetap sama seperti dulu.Â
Kejamnya waktu menarik paksa sahabatku kembali menjauhiku secara fisik. Kami berpamitan dengan pelukan erat. Meski jarak dan waktu memisahkan kami, kenangan dan persahabatan kami tetap kuat. Setiap pertemuan, meski singkat, mengingatkan bahwa hubungan yang berarti tak akan pudar, seberapa jauh kami terpisah. Dalam setiap hari yang berlalu, aku tahu bahwa persahabatan kami akan terus menjadi bagian penting dari hidupku, selalu ada meskipun tak selalu terlihat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI