Beberapa hari yang lalu, penulis dan orang tua penulis memutuskan untuk menjenguk seorang sahabat penulis yang sedang terbaring sakit.
Saat tiba di rumah sahabat yang sakit, di sana juga hadir mertua sahabat tersebut, seorang pria yang sudah berumur dan kami panggil dengan nama Om Marten Saetban.
Om Marten datang dari Sosok salah satu kecamatan di Kabupaten Sanggau, sebuah daerah yang tidak terlalu jauh, menurut penulis, beliau tiba untuk melihat kondisi menantunya yang sedang sakit.
Om Marten bukanlah orang asing bagi orang tua penulis. Mereka berdua memiliki sejarah panjang bersama.
Keduanya sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sama-sama datang ke Kalimantan Barat pada tahun 1977 untuk mengabdikan diri sebagai guru.
Meski ditugaskan di tempat yang berbeda --orang tua penulis di Kecamatan Toba, sementara Om Marten di Kecamatan Tayan Hulu-- kedua orang tua tersebut pernah saling mengenal dengan baik di masa lalu.
Pertemuan ini, menjadi semacam reuni kecil bagi mereka. Mereka saling berbagi cerita tentang masa-masa awal mereka mengabdi di Kalimantan Barat.
Orang tua penulis dan Om Marten adalah bagian dari generasi guru yang diutus untuk membangun pendidikan di wilayah pedalaman Kalimantan Barat.
Dari angkatan guru yang datang bersama pada tahun 1977, kini hanya segelintir yang masih hidup. Orang tua penulis bahkan menyebutkan bahwa di wilayah Kecamatan Toba dan Tayan, hanya ia yang masih hidup dari generasinya.
Malam semakin larut, namun perbincangan terus berlangsung hangat. Mereka saling berbagi kenangan lama, membahas masa-masa ketika mereka masih muda dan penuh semangat mengajar di daerah yang jauh dari kampung halaman mereka di NTT kepada kami anak-anaknya.
Bagi mereka, menjadi guru bukan hanya pekerjaan, melainkan panggilan hidup. Pengabdian mereka selama puluhan tahun telah membentuk ikatan yang kuat, baik antara mereka sendiri maupun dengan masyarakat yang mereka layani.
Tidak hanya kenangan yang dibagikan, namun juga cerita tentang bagaimana banyak dari teman-teman sejawat mereka telah tiada.
Pembicaraan itu membawa suasana haru, mengingat betapa cepat waktu berlalu dan betapa berharga setiap pertemuan yang masih bisa mereka alami.
Orang tua penulis mengungkapkan rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan sahabat lamanya, meskipun dalam kondisi sakit.
Akhirnya, ketika malam sudah jauh dan saatnya kami pamit diri untuk pulang ke kediaman kami, dan Om Marten mengajak kami semua untuk berdoa.
Ia memimpin doa dengan penuh penghayatan, memohon kesembuhan bagi orang tua kami dan anak mantunya yang sedang sakit dan mengucap syukur atas pertemuan yang penuh makna ini.
Doa itu menjadi penutup dari pertemuan yang hangat dan penuh kenangan. Setelah doa selesai, kami pun berpamitan.
Sebelum pergi, Om Marten kembali mengucapkan terima kasih atas kunjungan kami, dan kami saling menguatkan dengan harapan agar yang sakit baik bapak dan anak mantunya bisa segera pulih.
Pertemuan yang sederhana namun penuh kenangan ini menyadarkan bahwa persahabatan dan hubungan baik adalah harta yang tak ternilai, terutama ketika kita dihadapkan pada situasi sulit.
Doa bersama di penghujung pertemuan menjadi simbol dari pentingnya kebersamaan dalam iman dan kasih sayang.
Dari cerita ini, penulis menarik suatu kesimpulan bahwa persahabatan sejati tidak akan pernah pudar meskipun waktu dan jarak memisahkan.
Melalui pertemuan sederhana ini, kita diingatkan akan pentingnya menjaga hubungan baik, terutama dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dari hidup kita.
Selain itu, pentingnya saling mendoakan dan mendukung dalam masa-masa sulit menjadi pengingat bahwa dalam kebersamaan dan iman, kita menemukan kekuatan.
Persahabatan dan doa menjadi tali pengikat yang menguatkan, terutama di saat-saat di mana kita paling membutuhkan.
Asyer Arwadi Bulan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI