Latar belakang dari perilaku seperti ini sering kali dapat ditelusuri kembali ke pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.
Orang tua yang selalu membela anak mereka tanpa mempertimbangkan kesalahan yang mungkin dilakukan oleh anak tersebut secara tidak langsung mengajarkan bahwa menyalahkan orang lain adalah sesuatu yang wajar.
Sebagai contoh, biasa sering kita lihat, jika seorang anak jatuh karena berlari terlalu cepat di rumah dan orang tua segera menyalahkan lantai yang licin tanpa menegur anak untuk lebih berhati-hati, anak tersebut belajar bahwa kesalahan ada pada lantai, bukan pada dirinya yang kurang berhati-hati.
Penulis, jika anak penulis jatuh seperti contoh di atas karena keteledorannya, penulis selalu katakan bahwa itu salah onong (panggilan kesayangan) ya. Dan penulis tidak pernah menyalahkan lantai yang licin dengan cara memukul lantai tersebut.
Hal ini diperparah dengan kurangnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Pendidikan formal sering kali lebih fokus pada aspek akademis daripada pada pengembangan karakter.
Anak-anak yang tidak dibiasakan untuk mengintrospeksi diri akan tumbuh menjadi individu yang selalu merasa benar dan sulit menerima kritikan atau kesalahan.
Mereka cenderung tidak mampu menghadapi kegagalan dengan bijak dan akan selalu mencari alasan di luar diri mereka.
Kembali ke kasus kecelakaan yang terjadi, jika remaja tersebut diajarkan sejak kecil untuk bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, mungkin dia tidak akan menyalahkan anjing yang tidak bersalah.
Sebaliknya, dia akan merenung dan mungkin menyadari bahwa ada yang salah dengan cara dia mengendarai sepeda motor atau bahwa dia perlu lebih berhati-hati saat berbelok.
Introspeksi seperti ini sangat penting karena dapat mendorong individu untuk terus belajar dan berkembang, serta menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
Dalam jangka panjang, perilaku menyalahkan orang lain akan menciptakan masyarakat yang tidak sehat.