Mohon tunggu...
Asyari Attangkeli
Asyari Attangkeli Mohon Tunggu... -

Alumnus Studi Agama dan Resolusi Konflik Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Filsafat IAIN Jember, Relawan BAZNAS Kab. Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wajah Lain Mazhab Elektoral Dinamika Politik Jawa Timur 2018

10 Juni 2018   12:06 Diperbarui: 10 Juni 2018   21:45 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada serentak tanpa terkecuali di Jawa Timur tinggal menghitung hari, 27 Juni 2018. Pilkada Jawa Timur mempertaruhkan wajah demokrasi masyarakat Jawa Timur yang selama ini masih dinilai cukup rendah bahkan buruk. Pasalnya, sejak pilkada 2008 sampai 2014, tercatat angka partisipasi masyarakat Jawa Timur dalam berdemokrasi hanya berkisar 50-60 persen. Hal itu menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur kedewasaan dalam berdemokrasi.

Budaya patriarkhi (patronase) serta masyarakat yang fatalis masyarakat Jawa Timur sebagaimana ditulis oleh mas Dasuki, af di timesindonesia.co.id ( 18/04) yang berjudul Wajah Mazhab Elektoral Dinamika Politik Jatim 2018 nampaknya patut untuk ditinjau kembali.

Bagaimana tidak, jika dilihat dari kacamata pengetahuan dan relasi kuasa, Michael Foucault, wacana yang dibangun Dasuki seakan mempertegas bahkan melanggengkan wacana bahwa kondisi masyarakat Jawa Timur merupakan masyarakat yang paternalis dan fatalis. Wacana tersebut akan menjadikan budaya patriarkhi selalu sebagai primadona untuk memperoleh kekuasaan di Jawa Timur.

Budaya patriarkhi yang menempatkan tokoh kharismatik sebagai panutan, di satu sisi baik agar keharmonisan antar kelompok tetap terjaga karena tiap tokoh akan memberikan teladan yang menyejukkan tanpa harus dibarengi akal sehat.

Hal tersebut mengakibatkan terbunuhnya akal sehat. Karena dalam menentukan pilihannya, masyarakat tidak akan melihat kualitas calon, bahkan visi dan misinya, namun pemilih akan melihat hanya karena siapa dibalik calon tersebut, sebagaimana yang juga telah disampaikan Dasuki af. 

Wacana Politik Santri Jawa Timur yang coba dibangun oleh Dasuki af cenderung melupakan sisi lain Jawa Timur. Padahal, dalam konteks keberislaman misalnya, Geertz mengklasifikasikan masyarakat Jawa menjadi Santri, Abangan dan Priyayi.

Dalam konteks politik, Hari Fitrianto, Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga membagi masyarakat Jawa Timur menjadi tiga bagian, yakni Mataraman, Tapal Kuda dan Arek.

Ketiga kawasan tersebut memiliki nuansa bahkan identitas politik yang khas. Yakni Tapal Kuda, mulai dari dari daerah situbondo, probolinggo dan seberang utara yakni Madura dengan latar santri. Mataraman, mulai dari daerah Tulungagung sampai daerah Banyuwangi bagian selatan yang berlatar abangan atau nasionalis. Dan kawasan Arek yang terdapat di bagian ibu kota propinsi dan sekitarnya, yakni Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya dengan latar pemilih rasionalis.

Sebagai kawasan berlatar santri, tidak heran jika kawasan Tapal Kuda dan sekitarnya dalam menentukan pilihan politiknya terkesan paternalistik. Kiai sebagai tokoh yang dikenal dengan kharismatiknya dijadikan sebagai patron oleh masyarakat, terutama santri dan para alumninya.

Di sisi lain, sebagai kawasan berlatar abangan, masyarakat Mataraman tidak terlalu memerhatikan patronase sebagaimana kawasan Tapal Kuda, namun lebih kepada dinamika politik yang cenderung nasionalis.

Begitu juga dengan kawasan Arek, yang secara sosiologis akan menentukan pilihannya pada calon yang rasional. Pemilih rasional, yang dinilai lebih maju secara politik, tidak akan terpengaruh dengan tausyiah-tausyiah politik, yang utopis apalagi berisi tausyiah politik praktis.

Berangkat dari tiga mazhab di atas, maka jelas tidak cukup jika dinamika politik Jawa Timur hanya berkutat pada dinamika tausiyah-tausyiah politik (pendidikan dan sosialisasi) sebagaimana yang ditulis oleh mas Dasuki.

Pengalaman menarik berangkat dari seberang utara, yakni salah satu kabupaten di Madura, sebut saja Pamekasan, karena saya lahir disana. Kiai yang selama ini dianggap sebagai patron, dalam politik sekalipun, nampaknya mengalami kemunduran dari kliennya.

Pasalnya, dari pengalaman yang ada, sosok kiai yang ikut memasarkan calonnya, setelah selesai dan hasilnya kurang begitu sesuai dengan harapan, bahkan salah satu bupati yang juga diusung oleh para kiai, tidak bisa berkutik ketika harus terjerat hukum.

Kalau dulu, ada pepatah yang cukup dikenal oleh kaum paternalis, "odi'-mateh apa ca'en keaeh" (hidup-mati apa kata kiai), nampaknya sekarang pepatah tersebut perlu untuk didaur ulang.

Patronase tidak bisa menjadi satu-satunya alasan dalam menentukan pilihan politik Jawa Timur. Karena tidak mungkin juga masyarakat (selaku raja yang sebenarnya dalam negara demokrasi) melakukan kritik terhadap sang patron ketika pemerintahan berjalan tidak selaras dengan harapan.

Fatalis yang coba dibangun oleh mas Dasuki sebagai wajah dinamika politik Jawa Timur, juga menjadi pisau yang sangat amat tajam, bahwa apapun yang terjadi dengan Jawa Timur, baik, lebih baik bahkan yang terbaik daripada propinsi lainnya atau bahkan sebaliknya, buruk, lebih buruk bahkan yang terburuk karena terpuruk.

Contoh kecil, misalnya Jawa Timur sebagai provinsi yang menyandang juara 1 dalam bidang buta aksara, begitu juga dengan sektor ekonomi yang rendah dan keterpurukan lainnya merupakan nasib Jawa Timur yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Wacana kaum fatalis yang (katanya) juga merupakan salah satu corak masyarakat Jawa Timur tersebut, ketika terjadi keresahan bahkan kerusakan, akan membuat politikus dengan mudah mengatakan, "sabar, nasib Jawa Timur dengan kondisi ini dan itu memang Jawa Timur belum bisa sebaik provinsi lain yang sudah begini dan begitu", dan seterusnya.

Fenomena semacam itu tidak baik bagi proses demokrasi, maka perlu adanya reformasi pemikiran untuk mewujudkan dinamika politik yang lebih demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun