Berangkat dari tiga mazhab di atas, maka jelas tidak cukup jika dinamika politik Jawa Timur hanya berkutat pada dinamika tausiyah-tausyiah politik (pendidikan dan sosialisasi) sebagaimana yang ditulis oleh mas Dasuki.
Pengalaman menarik berangkat dari seberang utara, yakni salah satu kabupaten di Madura, sebut saja Pamekasan, karena saya lahir disana. Kiai yang selama ini dianggap sebagai patron, dalam politik sekalipun, nampaknya mengalami kemunduran dari kliennya.
Pasalnya, dari pengalaman yang ada, sosok kiai yang ikut memasarkan calonnya, setelah selesai dan hasilnya kurang begitu sesuai dengan harapan, bahkan salah satu bupati yang juga diusung oleh para kiai, tidak bisa berkutik ketika harus terjerat hukum.
Kalau dulu, ada pepatah yang cukup dikenal oleh kaum paternalis, "odi'-mateh apa ca'en keaeh" (hidup-mati apa kata kiai), nampaknya sekarang pepatah tersebut perlu untuk didaur ulang.
Patronase tidak bisa menjadi satu-satunya alasan dalam menentukan pilihan politik Jawa Timur. Karena tidak mungkin juga masyarakat (selaku raja yang sebenarnya dalam negara demokrasi) melakukan kritik terhadap sang patron ketika pemerintahan berjalan tidak selaras dengan harapan.
Fatalis yang coba dibangun oleh mas Dasuki sebagai wajah dinamika politik Jawa Timur, juga menjadi pisau yang sangat amat tajam, bahwa apapun yang terjadi dengan Jawa Timur, baik, lebih baik bahkan yang terbaik daripada propinsi lainnya atau bahkan sebaliknya, buruk, lebih buruk bahkan yang terburuk karena terpuruk.
Contoh kecil, misalnya Jawa Timur sebagai provinsi yang menyandang juara 1 dalam bidang buta aksara, begitu juga dengan sektor ekonomi yang rendah dan keterpurukan lainnya merupakan nasib Jawa Timur yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Wacana kaum fatalis yang (katanya) juga merupakan salah satu corak masyarakat Jawa Timur tersebut, ketika terjadi keresahan bahkan kerusakan, akan membuat politikus dengan mudah mengatakan, "sabar, nasib Jawa Timur dengan kondisi ini dan itu memang Jawa Timur belum bisa sebaik provinsi lain yang sudah begini dan begitu", dan seterusnya.
Fenomena semacam itu tidak baik bagi proses demokrasi, maka perlu adanya reformasi pemikiran untuk mewujudkan dinamika politik yang lebih demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H