Mohon tunggu...
Asyari Amir
Asyari Amir Mohon Tunggu... Jurnalis - Asyari maran

Buruh Tani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsolidasi Politik Menuju Visi Kolektif (Masyarakat FLOTIM)

28 Agustus 2022   20:10 Diperbarui: 28 Agustus 2022   20:12 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tulisan terdahulu saya, kita diskusi seputar teori-teori serta idealnya demokrasi, politik dan kekuasaan pada buadaya orang lamaholot.  Saya pikir menarik untuk kita bahas lanjut elemen-elemen yang sering berkaitan dan memberi pengaruh atas tercapainya demokrasi, politik serta kekuasaan yang ideal.

Bagi saya. Segala keterhambatan, keterbelakangan, dan segala bentuk situasi yang gagal merupakan akibat atas komunikasi yang gagal. Akses untuk menjangkau keterbelakangan dan situasi serupa lainnya untuk menjadikannya lebih baik tidak dapat dilakukan oleh karena tidak ada intraksi ataupun komunikasi.

Mudah saja kita buktikan, bahwa jika Negara saat ini memiliki setumpuk persoalan terkait segala keterhambatan, keterbelakangan dan situasi serupa lainya, itu artinya Negara gagal dalam berkomunikasi dengan warganya. Tentu lebih gagal lagi suatu Negara, jika segala bentuk pembangunan dilakukan tidak atas dasar aspirasi masyarakat. Pastinya aspirasi masyarakat dapat tersalurkan jika ada pola komunikasi yang intens dan produktif. Begitu mengapa komunikasi menjadi penting.

Setelah sekilas kita dapati pentingnya komunikasi, selanjutnya batasan pembahasan kita yakni Konsolidasi. Konsolidasi merupakan satu bagian yang beratapkan komunikasi. Konsolidasi sudah pasti komunikasi, namun tidak dengan sebaliknya, komunikasi belum tentu konsolidasi.

Secara pengertian, konsolidasi adalah pola komunikasi yang dilakukan dalam usaha untuk menyatukan dan memperkuat dua atau lebih kelompok yang bekepentingan untuk bersatu dalam satu visi bersama yang lebih kuat. Unsur yang melekat dalam konsolidasi adalah ada beberapa kelompok yang berbeda dengan tujuannya masing-masing, dan bersatu demi visi bersama (visi kolektif).

Melihat dari pengertiannya tentunya kita tidak bisa mengelakan, konsolidasi massif juga dilaksanakan oleh para bapak-bapak pendiri bangsa ini sebelum menjadikan Negara Indonesia ini yang meredeka. Dalam sejarah, kejadian rengasdenglok adalah puncak konsolidasi yang alot sebelum menuai mufakat. Kemerdekaan dengan jalan Ppoklamasi 17 Agustus 1945 adalah visi bersama mereka.

Pada kesimpulannya, bahwa konsolidasi menjadi penting dalam suatu kehidupan bersosial. Oleh karena manusia kerap kali membentuk sub-sub dalam masyarakat yang memiliki tujuan yang berbeda, maka mutlak konsolidasi akan selalu perlu untuk dilakukan demi keutuhan visi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Visi masyarakat tentunya berkaitan dengan tuntutan pemenuhan hak-hak dasar mereka.

Konsolidasi Politik

Konsolidasi politik tentu berbeda dengan konsolidasi demokrasi pada fase peralihan rezim politik dari tipe otoriter menuju rezim politik pasca otoriter. Konsolidasi demokrasi pada fase itu diartikan sebagai proses penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Pada fase peralihan lalu, unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga-lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite politik dan tidak luput pula masyarakat politik.

Konsolidasi tersebut dilakukan para pendahulu kita demi visi yang sama, mereka merekontruksi sistem yang eksklusif otoriter tersebut untuk pengejawantahan kembali pada nilai-nilai yang melekat pada masyarakat. Sikap yang menjadi mufakat bersama waktu itu, saya pikir perlu di apresiasi dengan jalan menduplikatnya.

Absen dari penjelasan soal konsolidasi demokrasi di atas. Di tengah masyarakat kita yang sedang mengalami demensia ingatan sejarah bangsa, seakan bangsa kita mengalami kemunduran yang krusial pada peradigma segala segi kehidupan. Perekembangan yang konstan memberi nilai bahwa, kita sebagai bangsa tidak benar-benar khidmat menerjemahkan sejarah bangsa kita untuk kepentingan kolektif yang berkelanjutan.

Demikian sehingga untuk membangun suatu peradaban bangsa di bawah visi kolektif, menjadi penting untuk melibatkan elemen-elemen yang terlibat dalam lingkungan perpolitikan. Sebagaimana pada konsolidasi demokrasi pada fase peralihan. Karena mustahil, visi pembangunan pada suatu teritorial tertentu tidak didukung dengan kerja kolektif kongkrit.

Singkatnya, konsolidasi politik adalah usaha sekelompok elit untuk menyatukan pandangan dengan meleburkan egoisme dalam visi kolektif. Oleh karena politik merupakan lintasan satu-satunya melegitmasi kekuasaan, maka hal demikian memungkinkan elit politik untuk menempuh beragam cara demi menduduki kekuasaan tertentu.

Konsolidasi politik pada dasarnya menjadi pilihan masyarakat maupun elite politik dalam penyederhanaan persepsi soal-soal kepentingan publik. Karena konsolidasi merupakan salah satu bagian komunikasi, Itulah saya nyatakan diawal bahwa kegagalan komunikasi adalah sebab dari problem keterhambatan, keterbelakangan, dan situasi sejenisnya. Demikian dengan konsolidasi politik menjadi jalan keluar atas proyeksi serta agenda seting demi kepentingan kolektif. Agenda ini menjawab kekhawatiran masyarakat soal kemungkinan-kemungkinan politik yang eksklusif dan destruktif. Lebih luasnya lintasan ini mencegah pembelahan-pembelahan dalam masyarakat.

Realitas Politik Pada Masyarakat FLOTIM.

Pembelahan kepentingan politik masyarakat oleh sentimen identitas belakangan ini begitu tajam di tengah kehidupan sosial. Muatan-muatan kampanye dengan doktrin identitas begitu alot dengan sentimen-sentimen perbedaan golongan, agama, dan suku. Pada interpretasi kepentingan hal demikian secara sangat wajar dilakukan. Namun eskalasi itu berdampak pada kolektifitas visi yang tidak terejawantahkan secara konkrit.

Stagnasi paradigma politik serta kejumudan berfikir tersebut, menurun hingga pada skop kabupaten. Tidak dapat dipungkiri bahwa, keterikatan pandangan politik bangsa kita masih sentralisme. Sentralisme dalam arti bahwa tindakan politik kita masih bersifat intruktif. Tindakan politik yang dilakukan masih berkiblat pada kekuatan elite yang memegang kuasa superior. Sehingga sampai pada daerah pun kepentingan-kepentingan yang terakomodir adalah kepentingannya superior melalui relasi kuasa yang intruktif.

Akhirnya di daerah-daerah yang sebenarnya masih melekat budaya-budaya elegan pun terjangkit wabah laku politik yang berpotensi membelah masyarakat tersebut.

Flores Timur misalnya. Kebudayaan yang melekat dengan tradisi kerja bersama untuk satu visi kolektif, pada dimensi apapun itu. lambat laun terasimilasi dengan budaya-budaya egoisme yang memprioritaskan kepentingan golongan-golongan tertentu. Kekhawatiran berlanjut pada dimensi politik yang membelah masyarakat dalam golongan-golongan yang saling bertentangan. Tendensi inilah memicu konflik horizontal yang berkelanjutan.

Menjawab kekhawatiran tersebut di atas. Saya pikir menjadi penting bagi elite politik khususnya di Kabupaten Flores Timur untuk sudi kiranya menghindarkan politik-politik yang berdampak terhadap pembelahan masyarakat.

Sebab-Sebab Pembelahan Golongan Masyarakat FLOTIM

Pembelahan golongan dalam masyarakat politik memang tidak dapat terhindarkan, namun situasi demikan dapat kita minimalisir dengan usaha edukasi politik (Political Education). Edukasi politik yang dimaksudkan adalah bahwa tujuan politik sebenarnya adalah untuk memenuhi kesejahtraan kolektif bukan sebagai usaha profit segelintir yang berkepentingan.

Bicara soal sebab pembelahan golongan masyarakat, tentu dasar yang menjadi rumusannya adalah perbedaan atau pertentangan kepentingan dalam masyarakat.  Individu-individu yang bermasyarakat tentu cendrung mencari kenyamanan berkehidupan, sehingga pada realitas sosial prioritas penggolongan oleh mereka berdasarkan kepentingan atau visi yang sama.

Individu muslim tentu secara dasariah memilih golongan islam yang dianggap se-visi dengannya, pun demikian dengan golongan agama lain. Kepentingan antar suku menjadi kekuatan identitas selanjutnya meligitimasi golongan-golongan antar suku. Dan seterusnya dan seterusnya. Namun perspektif ini tidak mengeneralisir reluruh kenyataan dalam permukaan.

 Kecendungan masyarakat karena kepentingan tertentu untuk ber-suku, ber-agama, dan ber-golongan sebenarnya bukan merupakan kenyataan lahiriah. Namun kesemuanya dikarenakan faktor ekonomi yang membentuk sistem kelas antar masyarakat. Faktor ekonomi tersebut sampai hari ini menjadi konsensus krusial mayoritas orang sebagai faktor teramat penting dalam realitas pembelahan masyarakat.

Fakta membuktikan bahwa setiap individu dalam masyarakat, bila mana mapan secara ekonomi, maka ada kecendrungan  untuk bersikap apatis. Realitas itu dapat kita lihat pada masyarakat perkotaan yang jarang terusik oleh hegemoni untuk berkelompok. Mereka lebih cenderung aktif dalam urusan-urusan pribadi mereka. Berlawanan dengan masyarakat perkotaan, di daerah-daerah yang terbelakang termasuk obyek kajian kita Flores Timur. Praktek pengelompokan berdasarkan suku,agama dan golongan masih langgeng dan lengang mulus.

Relitas kemapanan ekonomi yang terklaster tersebut menjadi celah elite politik keji menjadikan lintasan produktif untuk tujuan pembelahan dalam sentimen-sentimen yang kongkrit. Elite politik yang keji akan hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai keterwakilan dari masing-masing kelompok masyarakat, seolah elite tersebut merupakan bagian dari kelompok tersebut secara gamblang. Karena dalam pengkavlingan basis massa politik, secara teoritis harus ada pengkiblatan pada kepentingan yang sama dalam suatu kelompok tertentu. Dengan begitu ada kekuatan yang solid dan sulit terintervensi.

Agenda seting yang selanjutnya dimainkan adalah mendoktrin masyarakat bahwa entitas eksternal merupakan entitas penghalang. Doktrin bahwa kelompok yang lain merupakan kelompok yang bertentangan dengan mereka melanggengkan lenggangan kepentingan elite utuk terus produktif. Kenyataan dibalik permukaan yang tidak dapat dijangkau masyarakat atau kelompok khususnya, elite berkepentingan mengendarai mereka untuk sebuah legitimasi kekuasaan. Ini yang dikatakan politik kotor.

Akhirnya, setiap kelompok secara tidak sadar mendeklarasikan kelompok mereka adalah kelompok yang benar. Padahal elite politik sadar bahwa dalam perspektif politik tidak ada benar dan salah. Yang ada kemenangan dan kekalahan.

Ironinya, visi kolektif atas segala keberlanjutan pembangunan, peningkatan Sember daya, kesejahteraan, dan sejenisnya, tidak dapat terakomodir dan perkembangan kita akan sagnan. Elite politik hanya memenuhi tuntutan kelompoknya yang eksklusif. Mengesampingkan arti hakikat berpolitik sebenarya.

Apa Yang Kita Lakukan?

Tidak panjang lebar lagi, yang perlu dilakukan adalah pemasifan konsolidasi politik. Baik antar elite maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkepentingan.

Dalam konsolidasi tentu prioritas superior adalah visi kolektif pada keseluruhan masyarakat. Teknisnya, semua klompok yang rentan terhegemoni pembelahan harus menemukan frame yang kongkrit antar mereka. Penentuan kesamaan frame itulah unsur mendasar sebelum berlanjut pada obrolan tentang visi kolektif.

Sedangkan elite dalam konsolidasi politik, mereka memasrahkan kepada kelopok-kelopok dalam masyarakat tersebut untuk menilai kepantasan dan elektabilitas antar elite tersebut. Kemasifan konsolidasi politik tersebut menjembatani pemufakatan bersama demi visi kolektif untuk keseluruhan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun