Mohon tunggu...
Asyari Asyari
Asyari Asyari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Mahasiswa

Seorang tenaga pengajar pada Universitas Suryakancana Cianjur, juga pengurus pada Ponpes Mazroatul Ulum Citiis Pagelaran. Pada tahun 2024, lulus pada S2 Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Bandung. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, masih di UIN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama Tidak Menghambat Perkembangan Sains

22 Desember 2024   16:03 Diperbarui: 22 Desember 2024   16:10 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama dan sains sering dipandang sebagai dua entitas yang berbeda, bahkan bertentangan. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, keduanya memiliki tujuan yang serupa: mencari kebenaran dan memahami realitas. Agama menitikberatkan pada aspek spiritual dan moral manusia, sementara sains berfokus pada fenomena alam melalui pendekatan empiris. Kesamaan ini terlihat jelas dalam ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk merenungkan alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah artikel, yang menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an seperti QS. Al-Ankabut: 20 mendorong umat manusia untuk berpikir kritis dan menggali ilmu sebagai bagian dari ibadah. Seyyed Hossein Nasr juga menegaskan bahwa tradisi keilmuan Islam pada dasarnya bersumber dari pemahaman bahwa ilmu adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memahami kehendak-Nya (Chudzaifah dan Fauzi, 2019). Dengan demikian, agama dan sains sebenarnya memiliki keselarasan yang saling melengkapi dalam upaya memahami realitas. 

Agama Tidak Bertentangan dengan Sains

Berbagai tokoh terkemuka telah mengemukakan pandangan bahwa agama dan sains tidak hanya tidak bertentangan, tetapi juga dapat saling mendukung. Ian G. Barbour, melalui penelitiannya sebagaimana disebutkan oleh Dita Handayani, mengidentifikasi empat model hubungan antara agama dan sains, yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Ia berpendapat bahwa model integrasi adalah yang paling ideal, di mana agama dan sains bekerja sama untuk memahami realitas secara menyeluruh (Handayani, 2022). Sains dan agama memiliki fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusi. Tujuan sains adalah memahami hubungan sebab akibat antara fenomena-fenomena alam, sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu jalan hidup dalam makna yang lebih besar.

Ian G. Barbour menyatakan bahwa ada tiga versi dalam upaya mengintegrasikan sains dan agama. Yang pertama adalah natural theology, kedua theology of nature kemudian sistematic sintesis. Tipologi integrasi yang dikemukakan Barbour menyatakan bahwa ada petunjuk sains yang mengarah pada bukti keesaan Allah. Bantahan dari tradisi keagamaan yang memperlihatkan bahwa banyak keyakinannya sejalan dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi beberapa keyakinan harus dirumuskan kembali ke dalam teori teori khusus. Dalam tipologi integrasi ini sains dan agama dapat dianggap sumber yang koherensif. Pemahaman tentang dunia melalui kacamata sains bisa memperkaya pemahaman agama bagi manusia yang beriman. Dalam pandangan ini sains memberikan kontribusi yang besar dan luas sehingga bisa berkolaborasi dalam menyelesaikan persoalan dunia. Dan yang paling penting sains dapatmemberikan keyakinan pada manusia dengan memberikan bukti ilmiah akan adanya wahyu Allah.

John F. Haught, seperti yang diulas dalam Jurnal IAIRM Ngabar (2019), menekankan pentingnya dialog antara keduanya untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Dialog ini, menurutnya, akan memperkaya perspektif manusia dalam memahami alam semesta dan eksistensi (Muttaqin, 2021). Wacana integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama, pada paruh pertama abad ke 20, dewasa ini dalam dekade terakhir, kecenderungan religius mulai nampak pada sejumlah ahli fisika dan biologi. F. Haught, menekankan dari perjalanan itu untuk menghormati agama yang dapat mendukung sains untuk membuatnya bermakna. Dengan cara itu, agama dapat memainkan peran penting dalam pengembangan sains. Begitu juga, temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dalam hal ini Haught mempunyai beberapa pendekatan yang dianggap sebagai jalan keluar mendamaikan akulturasi agama dan sains tersebut, yakni: Memberi gambaran dan penjelasan memadai tentang beberapa isu mutakhir ikhwal sains dan agama, Menunjukkan kelemahan pandangan imuwan yang bersikap ekstrem, dan mewakili perspektif teolog terkemuka.

Selain itu, Mehdi Golshani, seorang fisikawan Iran menjelaskan bahwa pandangan dunia religius dapat memberikan kerangka moral bagi penelitian ilmiah. Golshani menegaskan bahwa sains tanpa nilai-nilai religius cenderung kehilangan arah dan berpotensi disalahgunakan (Yakin, 2021). Sebagai contoh, perkembangan teknologi canggih seringkali menimbulkan dilema etis yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan moral yang kuat. Menurut Golshani, Allah merupakan kenyataan tertinggi yang menjadi pusat segala bentuk aktivitas manusia. Meskipun aktifitas tersebut tidak berbentuk peribadatan formal namun ketika ia menjadi penjuru dan tujuan utama maka sains pun memiliki kedudukan yang sama dengan ilmu agama. Dalam kerangka inilah, Golshani memandang aktifitasnya selama ini sebagai fisikawan adalah bagian dari ibadah. Karenanya, dalam pandangannya tidak ada relasi yang bernuansa konflik atau independen dalam sains dan agama.

Seyyed Hossein Nasr, juga menyatakan bahwa integrasi antara nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan keberlanjutan kehidupan manusia (Santi, 2018). Alam dunia Islam, Nasr telah memberikan kontribusi pemikiran relasi agama dan sains pada tiga hal yaitu, penekanannya pada pentingnya pengkajian sejarah sains, kedua, mengenai isu lingkungan sebagai masalah agama dan sains yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Dan terakhir gagasannya tentang islamisasi sains. Selain dua hal di atas, yang menjadi titik fokus pemikiran Nasr terhadap relasi agama dan sains, ada hal terakhir yang penting bagi para akademisi yang menginginkan adanya Islamisasi sains. Mengenai hal ini, Nasr memberikan pandangan awalnya, sains merupakan bidang yang memiliki sudut pandangnya tersendiri. Hal ini sebagaimana dalam pernyataan Nasr science arose under particular circumstance in the west with certain philosophical presumptions about the nature of reality(sains muncul di bawah keadaan khusus di Barat dengan pandangan filosofis tertentu tentang realitas alam).

Benturan Agama dengan Sains pada Abad Pertengahan

Benturan antara agama dan sains yang terkenal terjadi pada Abad Pertengahan di Eropa, di mana Gereja Katolik mendominasi kehidupan intelektual. Kasus Galileo Galilei adalah salah satu contoh yang paling sering disebut. Galileo dihukum oleh otoritas gereja karena mendukung teori heliosentris, yang bertentangan dengan doktrin gereja pada masa itu. Seperti yang diulas dalam Tajdid UIN Jambi (2022), konflik ini lebih merupakan hasil dari interpretasi dogmatis institusi agama daripada pertentangan esensial antara agama dan sains. Beberapa kelompok mengupayakan suatu integritas yang lebih sistematik antara ilmu pengetahuan dan agama. Ada dalam tradisi theologi natural bisa menemukan sebuah bukti setidaknya pentunjuk yang mengarah terhadap bukti akan keberadaan Allah. Orang lain berangkat dari tradisi keagamaan dan memperlihatkan bahwa banyak hal dari keyakinannya sejalan dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi beberapa keyakinan harus dirumuskan kembali kedalam terang sorotan teori-teori khusus. Tipologi ini merupakan tipologi yang konsturktif dari pada pendekatan dialog. Sain dan agama dapat dianggap sumber yang koherensif dalam kaca mata dunia. Bahkan pemahaman terhadap dunia ini melalui sains seakan-akan bisa memperkaya pemahaman agama bagai manusia yang beriman. Dalam pandanagan ini sains dan agama akan memberikan kontribusi yang sangat luas sehingga bisa menjalin kerjasama yang aktif antara sains dan agama, bukan hanya itu saja yang lebih terpenting ialah sain dapat memberikan keyakinan umat yang beragama dengan memberikan bukti yang ilmiah atas wahyu Ilahi tersebut (Jendri, 2019)

Sebaliknya, dunia Islam pada periode yang sama menunjukkan keharmonisan antara agama dan sains. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina, dan Al-Biruni memanfaatkan ajaran agama sebagai landasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Artikel Nasrul Fauzi (2020) menyebutkan bahwa kontribusi mereka dalam matematika, kedokteran, dan astronomi justru lahir dari motivasi religius untuk menggali tanda-tanda kebesaran Tuhan. Fakta ini menunjukkan bahwa agama, ketika dipahami secara komprehensif, bukanlah penghambat, melainkan pendorong bagi perkembangan sains. Kontribusi Islam terhadap ilmu pengetahuan antara lain ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang mendorong termotivasinya umat Islam dalam melakukan pengembangan sains. Islam melalui AlQur'an menjadi dasar epistemologi dan ideologi bagi saintis muslim yang mengarahkan sikap dan perilaku mereka untuk bertransendensi dengan sang pencipta, yang menjadikannya berbeda dengan saintis yang tidak beriman. Artinya ada dimensi spiritual di dalamnya karena dzikir dan takwanya kepada Allah (Chudzaifah dan Fauzi, 2019).

Argumentasi Ilmiah bahwa Agama Tidak Menghambat Perkembangan Sains

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun