Mohon tunggu...
Aswin Anzani
Aswin Anzani Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMAN 1 Baros

Terus mencoba menjadi guru yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reproduksi Okupasi Buruh Industrial, Buruh Menjadi Pekerjaan dari Generasi ke Generasi

4 November 2020   10:22 Diperbarui: 4 November 2020   11:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkembangnya industri di desa Talaga, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar akan lapangan pekerjaan yang dirasa mampu dijadikan sebagai penyangga hidup, bahkan beberapa diantaranya mampu membeli berbagai macam barang cukup mewah. Berbagai macam kekayaan yang dipertontonkan oleh para buruh ini membuat para orang tua yang semestinya menyekolahkan anak-anaknya justru lebih cenderung mengharapkan anak-anaknya bisa cepat bekerja agar bisa membeli berbagai macam barang sebagai prestise.

Berdasarkan hal tersebut secara tidak langsung, industri yang seharusnya mampu meningkatkan bidang pendidikan kepada masyarakat sekitar dikarenakan kebutuhan akan tenaga kerja yang ahli dan terdidik, namun faktanya justru membuat masyarakat sekitar menjadi tidak peduli dengan pendidikan. Masyarakat melihat, walaupun tanpa pendidikan yang tinggi, dengan menjadi buruh mereka mampu membeli berbagai macam barang yang cukup prestise. Bidang pendidikan bukanlah hal yang penting bagi mereka, pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja tanpa ada kesadaran bahwa dengan bersekolah itulah kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik akan diraih. Hal inilah yang memicu terjadinya reproduksi okupasi dalam keluarga buruh. Buruh menjadi sebuah pekerjaan yang berlaku bagi generasi ke generasi.

Jika kondisi semacam ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan mengakibatkan sulitnya mobilitas vertikal naik (stagnan),  karena para buruh ini walaupun upah mereka cukup besar namun selalu dibayang-bayangi PHK dan putus kontrak. Pada saat mereka tiba-tiba di PHK atau putus kontrak, mereka bingung untuk mengatasi kebutuhan ekonominya dikarenakan ketiadaan investasi masa depan.

Desa Talaga pada tahun 1980  mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan perkebunan, walaupun memang tidak ada hasil pertanian yang dibanggakan yang dapat dijadikan penyangga hidup warga. Warga bertani hanya sebatas untuk dikonsumsi sendiri, karena tanah di desa ini tidak terlalu subur. Adapun di jual tetapi hanya sebatas dijual di desa sendiri, tidak sampai dijual ke daerah lain.  Hingga akhirnya pada tahun 1985, terjadi pembangunan industri besar-besaran di kabupaten Tangerang, tidak terkecuali desa Talaga yang mengalaminya. Banyak sawah dan lahan dibeli oleh pihak asing untuk didirikan pabrik-pabrik. Hingga pada tahun 2017 berdasarkan data monografi desa tercatat terdapat 104 industri yang ada di desa Talaga, mayoritas warga bermata pencaharian sebagai buruh di pabrik ini.

Sebanyak 2035 orang (75%) warga desa Talaga menggantungkan hidupnya di industri ini. Industri-industri ini memang menyerap tenaga kerja bagi warga sekitar, namun mayoritas ditempatkan menjadi buruh pabrik, baik pria maupun wanita. Sedangkan para petinggi perusahaan yang memegang jabatan atau keahlian khusus justru orang-orang asing yang sengaja didatangkan dari daerah lain. Pribumi menjadi buruh di kampung halamannya sendiri atau yang peneliti sebut “menjadi pembantu di rumah sendiri”.

Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memaknai pendidikan, khususnya pada keluarga buruh di Desa Talaga:

  • Bias Fungsi Pendidikan

Pendidikan pada umumnya berfungsi untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Namun kini fungsi pendidikan tampaknya makin dipandang tidak jelas terutama oleh mayarakat desa Talaga, dan bahkan tidak mustahil dinilai tidak berguna, karena apakah anak itu lulusan SD, SMP, atau lulusan sarjana pun ternyata tetap saja sulit mencari pekerjaan. Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh para informan, sering terungkap bahwa masyarakat desa disinyalir cenderung bersikap pesimistis terhadap peran sekolah, karena sehari-hari tidak banyak bukti yang memperlihatkan bahwa sekolah memang dapat menjadi eskalator bagi anak-anak di desa untuk melakukan mobilitas vertikal, maka pandangan masyarakat pada pendidikan pun menjadi bias.

Terdapat beberapa orang lulusan sarjana, namun mayoritas mereka bekerja di industri pula. Kenyataan ini secara langsung maupun tidak telah memberikan pengaruh dan image di benak orang tua dan masyarakat pada umumnya terhadap arti pendidikan/kuliah. Bisa dibayangkan, jika sebuah keluarga selama membiayai anaknya kuliah telah menghabiskan uang jutaan rupiah namun ternyata hasilnya nihil. Gelar sarjana yang telah diraih, ternyata bukan jaminan bagi masa depan anak mereka.

Mereka tampaknya lebih memperlakukan sekolah sekedar untuk mengajari anaknya membaca dan menulis serta yang terpenting yaitu untuk mendapatkan ijazah sebagai persyaratan melamar pekerjaan di industri. Selain itu, menurut penuturan seorang Guru di SDN Talaga I, semenjak ia menjabat sebagai guru, sering sekali para orang tua murid berkomentar dan berpendapat akan fungsi sekolah yang tidak menjamin masa depan anaknya. Bagi mereka yang terpenting bukanlah anak harus belajar sebaik-baiknya agar meraih prestasi, tetapi memandang pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja.

Jika berbicara idealnya, memang bagi anak-anak pendidikan pada dasarnya adalah hak yang semestinya dipenuhi. Tetapi bagi masyarakat desa Talaga sendiri tampaknya persoalan yang mereka hadapi bukan sekedar pilihan, apakah anaknya perlu dikuliahkan atau tidak. Di tengah situasi dan tekanan ekonomi serta dorongan lingkungan, secara pragmatis meminta dan mewajibkan untuk cepat mencari kerja dan menafkahi keluarga adalah pilihan yang dinilai lebih rasional daripada bersikeras menguliahkan anaknya yang membutuhkan biaya besar.

  • Masyarakat Economic Oriented

Berkembangnya industri di kecamatan Cikupa, berkembang pula tempat-tempat usaha di sekitarnya, Citra Raya bukan hanya menyediakan perumahan elit dan ruko, namun mulai mendirikan beberapa restauran, tempat makanan cepat saji, cafee, billiard, dan tempat “nongkrong” lainnya. Tempat ini memang diperuntukan bagi warga perumahan Citra Raya yang bisa dikatakan masyarakat elit, namun tidak dipungkiri bahwa tempat-tempat ini juga menarik warga lain yang berada sekitarnya. Banyak warga dari desa Talaga yang beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh datang ke tempat ini bersama keluarga dan teman, padahal penghasilan mereka sebagai buruh cukup kecil untuk dapat menikmati tempat-tempat yang cukup elit ini.

Bukan hanya itu, dalam kehidupan sehari-hari para buruh ini terutama pria mengonsumsi rokok sebungkus sehari (Rp.20.000) serta mayoritas mereka memiliki tagihan kredit motor tiap bulannya mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 2.300.000. Banyak dari mereka memiliki motor yang bisa dikatakan elit atau motor sport dan mahal. Mereka membeli motor sport merupakan dorongan sosial dalam dunia kerja, atau disebut dengan dorongan gengsi sosial.

Gaya hidup konsumtif ini terjadi karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak menggejala. Dengan kata lain gaya hidup yang dianggap boros itu merupakan upaya menyenangkan diri sesaat dalam menikmati kehidupan yang selayaknya. Orang tua lebih cenderung mengharapkan anak-anaknya bisa cepat bekerja dan mandiri agar mampu membeli berbagai macam barang atau kendaraan, dibandingkan kuliah yang menghabiskan banyak uang dan waktu. Anak-anak dari mereka pun akhirnya cenderung memilih bekerja dibanding kuliah dikarenakan kekayaan yang dipertontonkan oleh mereka.

  • Budaya Kumaha Engke dan Wayahna Bae

Mayoritas penduduk desa Talaga pribumi adalah suku Sunda. Karakteristik yang diperlihatkan di desa Talaga ini, mereka hidup cenderung berkumpul dengan sanak saudara, seperti dalam peribahasa Sunda “Bengkung ngariung bongkok ngaronyok” yang artinya; “biar hidup susah, asal tetap berkumpul dengan anak cucu atau sanak saudara”, sehingga mereka bersedia bekerja di pabrik sebagai buruh industri.

Penduduk desa Talaga terkungkung oleh budaya “kumaha engke” dan “wayahna bae” dalam menghadapi persoalan masa depannya. “Kumaha engke” adalah ungkapan dalam bahasa sunda yang artinya “bagaimana nanti”, ungkapan ini merupakan prinsip dari daerah Sunda yang mengandung makna menyepelekan, atau kurang terencana, kurang memikirkan risiko dan dampaknya di kemudian hari. Selain budaya “kumaha engke” ada pula prinsip “wayahna bae” yang artinya “pasrah saja”, pasrah terhadap keadaan sekarang dan tidak ada keinginan untuk merubahnya.

Kehidupan sehari-hari para buruh ini jarang menabung untuk investasi masa depan keluarga maupun untuk pendidikan anaknya. Alasan yang sering dikemukakan oleh mereka  mengaku menabung untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terduga. Selain itu ada pula yang tidak menabung dengan alasan tidak ada sisa pendapatan.

Semua hal yang mengandung risiko dan efek di kemudian hari, tentu tidaklah baik bila menggunakan prinsip kumaha engke atau wayahna bae ini. Bagi keluarga buruh yang berpenghasilan minim, yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, serta selalu dibayang-bayangi PHK dan putus kontrak, memutuskan kredit sepeda motor yang cukup mahal, ditambah jika memang keluarga tersebut sangat konsumtif. Jika menerapkan prinsip kumaha engke dan wayahna bae ini atas pengaturan/ pengelolaan keuangan dalam memandang masa depan tentu akan sangat berisiko.

  • Pola Asuh Pendidikan yang Keliru

Kedua orang tua yang bekerja sebagai buruh memiliki waktu yang sedikit dalam mengurus anak dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya, kurang lebih 9 jam mereka bekerja termasuk satu jam istirahat, berangkat pagi pukul 08.00 WIB hingga sore pukul 17.00 WIB. Dikarenakan kesibukannya itu maka mereka menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anaknya dikala mereka sedang sibuk  bekerja. Anak-anak beralih ke lingkup sekolah untuk dijadikan arena bermain mereka seusai sekolah sampai sore dan masih mengenakan seragam sekolah hanya bermaksud untuk menunggu orang tuanya pulang dari bekerja.

Para orang tua ini pun kurang responsif terhadap pendidikan anak. Pada  keluarga buruh yang ditemui, cenderung tidak memfasilitasi suasana belajar anak, baik fasilitas di rumah maupun perlengkapan sekolah, dan yang lebih memprihatinkan adalah orang tua si anak bersikap acuh tak acuh pada urusan sekolah anaknya, jangankan membantu mengerjakan PR, menanyakan atau mendengarkan cerita pengalamannya saat di sekolah pun jarang, sehingga si anak sendiri kemudian tidak merasakan bahwa sekolah itu memang penting bagi masa depannya.

Orang tua yang berpendidikan rendah biasanya akan mengalami kesulitan membantu anaknya belajar, tidak mampu memecahkan persoalan sekolah yang dihadapi anak seperti tugas dan PR, sehingga cenderung melepaskan begitu saja kegiatan belajar anak menurut kemauan anak sendiri. Untuk beberapa anak yang memiliki kakak yang sudah terlebih dahulu sekolah dan mau berbaik hati, bisa dikatakan cukup membantu untuk belajar setidaknya masih memiliki tempat untuk bertanya jika suatu saat kesulitan mengerjakan PR. Tetapi, anak-anak yang bernasib baik seperi itu tampaknya jarang ada di desa Talaga.

Bagi anak-anak jika PR yang diberikan oleh guru-gurunya dinilai sulit dan mereka tidak memiliki tempat bertanya, maka pada akhirnya bisa dipahami jika mereka memilih tidak mengerjakan PR atau menempuh jalan pintas yaitu menyontek kepada temannya yang sudah mengerjakan PR tersebut atau mengerjakan bersama sebelum jam pelajaran dimulai.

  • Konsep Diri Anak di Lingkungan Masyarakat Industri

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat desa Talaga yang umumnya bekerja sebagai buruh industri memiliki pandangan economic oriented, dengan kekayaan yang dipertontonkan seperti kendaraan sport, gadget, dll, selain itu rutinnya perusahaan-perusahaan yang menawarkan kerja di sekolah-sekolah, membuat anak-anak semakin tergiur untuk memilih langsung bekerja dibanding kuliah.

Hal inilah yang menjadikan anak-anak tanpa sadar ikut dalam arus masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan hanyalah sekedar formalitas belaka dalam mendapatkan ijasah untuk dapat bekerja di industri, dan karena itu tak perlu malu jika hanya lulusan SMA kemudian bekerja menjadi buruh karena lingkungan pun demikian.

Nilai atau norma sosial yang berlaku di sini menyatakan bahwa membantu orang tua dan keluarga bagi anak-anak adalah wujud dari konsep berbakti yang diyakini benar dan harus dilakukan. Dimata anak-anak yang terpenting bukanlah mereka harus belajar sebaik-baiknya agar dapat lulus dan meraih prestasi. Seperti kebanyakan orang tua mereka, anak-anak umumnya memandang sekolah hanya sekedar proses yang mesti dilalui begitu saja tanpa ada kesadaran bahwa dengan bersekolah itulah kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik akan diraih. Bekerja dan membatu orang tua, bagi anak-anak adalah sebuah dharma bakti atau kewajiban yang harus dipenuhi karena disitulah seorang anak seharusnya bertingkah laku.

Pola Reproduksi Okupasi dalam Keluarga Buruh

Menurut Anthony Giddens (2010: 7-8) dalam teori strukturasinya membagi dua konsep penting. Konsepnya yang pertama adalah mengenai agen, yaitu individu/aktor yang memiliki tindakan atas sekumpulan pengetahuan yang dimiliki, diproduksinya, dan direproduksinya. Agen adalah pelaku, tindakan, aktor yang menunjuk pada orang (individu). Agen memiliki kemampuan refleksif dan akuntabilitas, mereka mempunyai stock of knowledge untuk memproduksi dan mereproduksi tindakan-tindakan mereka. Disini agen tersebut yaitu orang tua (para buruh). Konsep kedua dalam teori strukturasinya adalah mengenai struktur. Menurut Giddens (George Ritzer dan Douglas J.Goodman, 2008: 571) struktur didefinisikan sebagai hal-hal yang memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di ruang dan waktu dan yang memberi mereka bentuk sistemis.

Struktur juga diartikan sebagai sebuah aturan ataupun sumber daya dalam praktik sosial yang dilakukan aktor (agen), juga sebagai pembentuk keterulangan praktik sosial tersebut. Oleh karena itu,  dalam kasus ini konsepsi agen dengan struktur dipahami sebagai dualitas konseptual yang sifatnya integratif. Struktur sebagai sebuah sumber daya ataupun aturan tidak dapat dilepaskan (perannya) oleh peran agen dalam praktik sosialnya. Begitu pula sebaliknya, sosial struktur mengkonstitusi manusia, tapi tindakan manusia juga mengkonstitusi struktur.

Jadi, makna pendidikan diberikan oleh orang tua terhadap anak melalui proses sosialisasi, sosialisasi dipandang sebagai mekanisme untuk kelangsungan antar-generasi dan reproduksi budaya. Hasil utama dari sosialisasi seperti kepatuhan dan transmisi antargenerasi ide, peran dan nilai-nilai yang dikonseptualisasikan sebagai kesesuaian generasi muda untuk norma-norma dan peraturan dari generasi sebelumnya. Makna mengenai pendidikan itu dipelajari oleh anak dari keluarga (orang tua), dipelajari melalui interaksi. Di sini orang tua atau keluarga yang juga merupakan bagian dari masyarakat, berperan sebagai agen sosialisasi terhadap anak-anaknya dan memiliki kapasitas untuk mengajarkan sikap atau perilaku yang terarah dan mulai memilih strategi metode untuk mempengaruhi pribadi masing-masing anak. Dari hasil itu, mereka memiliki kemampuan untuk merefleksikan perilakunya dan menafsirkan pesan yang dikomunikasikan selama ia berinteraksi.

Orang tua mampu melakukan reproduksi budaya kepada anaknya melalui sosialisasi, anak secara tidak sadar ikut bekerja sebagai buruh sama seperti orang tuanya karena mempelajarinya melalui sosialisasi, sang anak telah memaknai bahwa  pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja, hanya sebagai alat untuk mendapat ijasah agar bisa bekerja di industri sebagai buruh. Melihat orang tuanya walau tanpa pendidikan yang tinggi, mereka bisa mencukupi hidup bahkan mampu membeli barang-barang. Ditambah dengan pola asuh pendidikan yang memang cenderung acuh. Karena itu tak perlu malu jika hanya lulusan SMA kemudian bekerja menjadi buruh karena lingkungan pun demikian. Hal inilah yang memicu reproduksi okupasi dalam keluarga buruh.

Selain itu masyarakat juga berperan mempengaruhi si anak, melalui interaksi masyarakat mempengaruhi pola pikir individu. Anak melihat pendidikan itu hanya bertujuan untuk alat mencari pekerjaan. Konsep pikiran ini tidak muncul begitu saja tetapi berasal dari proses sosial yaitu proses interaksi dengan orang lain di lingkungannya. Melalui interaksi ketika anak melihat tindakan orang lain yang bekerja sebagai buruh kemudian mampu memenuhi kebutuhan ekonominya dan mampu mempertontonkan kekayaan (prestise) tanpa melalui pendidikan yang tinggi, maka kemudian anak akan melihat hal ini dan memasukannya ke dalam rasionalitas dirinya, sehingga anak akan mengikuti tindakan orang lain tersebut.

Seorang individu akan mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar atau norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Dengan tinggal di daerah industri yang kondisi sosial masyarakatnya memandang bahwa kebutuhan ekonomi adalah perioritas utama (economic oriented dan konsumtif) serta memandang bahwa pendidikan hanya sebatas alat untuk mendapat pekerjaan, maka anak tersebut akan mengambil sikap yang sama. Ia memperhitungkan apakah tindakannya itu sudah sesuai dengan norma yang berlaku dalam kondisi masyarakat ia berada. Dalam pandangan masyarakat ini, mereka bekerja untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi itu lebih penting dibandingkan dengan melanjutkan pendidikan.

Giddens, dalam teori strukturasinya juga menambahkan mengenai tiga gugus struktur dalam sebuah proses sosial. Ketiga konsep itu adalah signifikasi (penandaan simbolis), dominasi (autorisasi/kekuasaan), dan legitimasi (pembenaran/pengakuan). Hubungan ketiga gugus ini dalam proses sosial adalah berkaitan dengan relasi struktur itu sendiri dengan interaksi yang berkembang di masyarakat. Signifikasi sebagai sebuah penanda, dalam praktik sosialnya dijadikan sebagai alat interpretasi dan dalam konsep interaksi dapat berpengaruh pada komunikasi aktor (agen) dan struktur.

Signifikasi di sini yaitu berupa kekayaan yang dipertontonkan sebagai simbol prestise oleh keluarga buruh lain di lingkungan tempat tinggalnya. Kekayaan yang dipertontonkan ini bukan hanya barang ataupun kendaraan namun juga seperti budaya nongkrong di cafe dan sebagainya. Kekayaan yang dipertontonkan ini diinterpretasikan sebagai simbol prestise dalam meningkatkan status dilingkungannya serta dijadikan sebagai daya saing terhadap warga Citra Raya yang notabennya merupakan orang-orang kaya. Hanya dengan bekerja sebagai buruh, tanpa pendidikan yang tinggi mampu meraih kekayaan tersebut. Sedangkan, dominasi (penguasaan/autorisasi) yaitu hubungannya dengan efek kekuasaan dalam struktur itu sendiri.

Dominasi disini yaitu banyaknya pabrik-pabrik atau perusahaan milik pengusaha asing di desa Talaga. Pabrik-pabrik ini mendominasi lapangan pekerjaan yang ada di desa Talaga, terdapat 107 industri (kecil, menengah dan besar) di desa Talaga dan 75% penduduk desa Talaga bermata pencaharian sebagai buruh di industri tersebut. Sehingga masyarakat desa menganggap bahwa memang hanya ini lapangan pekerjaan yang tersedia di lingkungan ini, bahkan ada beberapa yang menganggap bahwa idealis sebuah pekerjaan yaitu bekerja di industri. Hidup mereka menjadi bergantung pada kehadiran industri, ditambah dengan program-program CSR yang digunakan oleh industri sebagai alat peredam pergerakan masyarakat sekitar.

Selain itu, diperlukan sebuah legitimasi (pembenaran) dari pihak yang berpengaruh dan juga lingkungan masyarakat, legitimasi bisa dalam bentuk norma yang memberi fungsi represif (sanksi) dan juga fungsi kontrol (preventif). Legitimasi disini yaitu pemerintah daerah yang memang sengaja menjadikan desa Talaga sebagai kawasan industri dikarenakan tanah yang tidak subur dalam pertanian dan tidak adanya hasil alam yang bisa dijadikan penyangga hidup. Selain itu aparat desa melegitimasi dan menganggap bahwa warga pribumi bekerja sebagai buruh itu merupakan hal yang biasa. Selain itu ada sebuah kesepakatan antara pihak industri dengan aparat desa berupa politik alokasi buruh dalam hal ketenagakerjaan.

Selain itu, lingkungan masyarakat pun memberi peran dalam legitimasi. Dalam pandangan masyarakat ini, nilai dan norma yang berlaku menyatakan bahwa membantu orang tua dan keluarga bagi anak-anak adalah wujud dari konsep berbakti yang diyakini benar dan harus dilakukan, dibandingkan dengan melanjutkan pendidikan. Ketiga gugus struktur inilah yang ada di dalam masyarakat desa Talaga, sehingga mampu memunculkan reproduksi buruh di dalam keluarga buruh itu sendiri.

Ketiga gugus inilah yang mempengaruhi individu (anak buruh), mengikuti arus masyarakat untuk bekerja sebagai buruh seperti orangtua dan masyarakat sekitar. Selain itu hambatan struktural pendidikan mereka pun juga mempengaruhi. Dikarenakan pendidikan mereka yang rendah, maka mereka ditempatkan di bagian struktur pekerjaan pabrik yang rendah yaitu di bagian buruh. Jika mereka memiliki riwayat jenjang pendidikan yang tinggi, maka ada kemungkinan mereka mampu melakukan mobilitas vertikal dalam karirnya, seperti naik jabatan dan sebagainya.

Itulah struktur dan agen yang mempengaruhi individu dalam hal ini anak yang akhirnya ia bekerja sebagai buruh sama seperti kedua orang tuanya dan juga lingkungannya. Terjadi proses reproduksi buruh di dalam keluarga buruh itu sendiri, buruh menjadi sebuah pekerjaan dari generasi ke generasi. Anak-anak buruh saat kanak-kanak memiliki berbagai macam cita-cita, ada yang ingin menjadi guru, polisi, bidan, dan profesi lainnya, namun pada saat mereka memasuki usia dewasa, saat mereka mulai mempelajari dan menginternalisasi tindakan orang tua mereka yang sebagai buruh, serta melihat lingkungan disekitarnya, mereka mengurungkan cita-cita besar dahulu mereka dan mengikuti arus lingkungan. Anak buruh sulit melakukan mobilitas vertikal, selalu berhadapan dengan hambatan dalam pengembangan karir masa depannya bagai  “langit-langit kaca”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun