Mohon tunggu...
Aswin Anzani
Aswin Anzani Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMAN 1 Baros

Terus mencoba menjadi guru yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reproduksi Okupasi Buruh Industrial, Buruh Menjadi Pekerjaan dari Generasi ke Generasi

4 November 2020   10:22 Diperbarui: 4 November 2020   11:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hal inilah yang menjadikan anak-anak tanpa sadar ikut dalam arus masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan hanyalah sekedar formalitas belaka dalam mendapatkan ijasah untuk dapat bekerja di industri, dan karena itu tak perlu malu jika hanya lulusan SMA kemudian bekerja menjadi buruh karena lingkungan pun demikian.

Nilai atau norma sosial yang berlaku di sini menyatakan bahwa membantu orang tua dan keluarga bagi anak-anak adalah wujud dari konsep berbakti yang diyakini benar dan harus dilakukan. Dimata anak-anak yang terpenting bukanlah mereka harus belajar sebaik-baiknya agar dapat lulus dan meraih prestasi. Seperti kebanyakan orang tua mereka, anak-anak umumnya memandang sekolah hanya sekedar proses yang mesti dilalui begitu saja tanpa ada kesadaran bahwa dengan bersekolah itulah kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik akan diraih. Bekerja dan membatu orang tua, bagi anak-anak adalah sebuah dharma bakti atau kewajiban yang harus dipenuhi karena disitulah seorang anak seharusnya bertingkah laku.

Pola Reproduksi Okupasi dalam Keluarga Buruh

Menurut Anthony Giddens (2010: 7-8) dalam teori strukturasinya membagi dua konsep penting. Konsepnya yang pertama adalah mengenai agen, yaitu individu/aktor yang memiliki tindakan atas sekumpulan pengetahuan yang dimiliki, diproduksinya, dan direproduksinya. Agen adalah pelaku, tindakan, aktor yang menunjuk pada orang (individu). Agen memiliki kemampuan refleksif dan akuntabilitas, mereka mempunyai stock of knowledge untuk memproduksi dan mereproduksi tindakan-tindakan mereka. Disini agen tersebut yaitu orang tua (para buruh). Konsep kedua dalam teori strukturasinya adalah mengenai struktur. Menurut Giddens (George Ritzer dan Douglas J.Goodman, 2008: 571) struktur didefinisikan sebagai hal-hal yang memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di ruang dan waktu dan yang memberi mereka bentuk sistemis.

Struktur juga diartikan sebagai sebuah aturan ataupun sumber daya dalam praktik sosial yang dilakukan aktor (agen), juga sebagai pembentuk keterulangan praktik sosial tersebut. Oleh karena itu,  dalam kasus ini konsepsi agen dengan struktur dipahami sebagai dualitas konseptual yang sifatnya integratif. Struktur sebagai sebuah sumber daya ataupun aturan tidak dapat dilepaskan (perannya) oleh peran agen dalam praktik sosialnya. Begitu pula sebaliknya, sosial struktur mengkonstitusi manusia, tapi tindakan manusia juga mengkonstitusi struktur.

Jadi, makna pendidikan diberikan oleh orang tua terhadap anak melalui proses sosialisasi, sosialisasi dipandang sebagai mekanisme untuk kelangsungan antar-generasi dan reproduksi budaya. Hasil utama dari sosialisasi seperti kepatuhan dan transmisi antargenerasi ide, peran dan nilai-nilai yang dikonseptualisasikan sebagai kesesuaian generasi muda untuk norma-norma dan peraturan dari generasi sebelumnya. Makna mengenai pendidikan itu dipelajari oleh anak dari keluarga (orang tua), dipelajari melalui interaksi. Di sini orang tua atau keluarga yang juga merupakan bagian dari masyarakat, berperan sebagai agen sosialisasi terhadap anak-anaknya dan memiliki kapasitas untuk mengajarkan sikap atau perilaku yang terarah dan mulai memilih strategi metode untuk mempengaruhi pribadi masing-masing anak. Dari hasil itu, mereka memiliki kemampuan untuk merefleksikan perilakunya dan menafsirkan pesan yang dikomunikasikan selama ia berinteraksi.

Orang tua mampu melakukan reproduksi budaya kepada anaknya melalui sosialisasi, anak secara tidak sadar ikut bekerja sebagai buruh sama seperti orang tuanya karena mempelajarinya melalui sosialisasi, sang anak telah memaknai bahwa  pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja, hanya sebagai alat untuk mendapat ijasah agar bisa bekerja di industri sebagai buruh. Melihat orang tuanya walau tanpa pendidikan yang tinggi, mereka bisa mencukupi hidup bahkan mampu membeli barang-barang. Ditambah dengan pola asuh pendidikan yang memang cenderung acuh. Karena itu tak perlu malu jika hanya lulusan SMA kemudian bekerja menjadi buruh karena lingkungan pun demikian. Hal inilah yang memicu reproduksi okupasi dalam keluarga buruh.

Selain itu masyarakat juga berperan mempengaruhi si anak, melalui interaksi masyarakat mempengaruhi pola pikir individu. Anak melihat pendidikan itu hanya bertujuan untuk alat mencari pekerjaan. Konsep pikiran ini tidak muncul begitu saja tetapi berasal dari proses sosial yaitu proses interaksi dengan orang lain di lingkungannya. Melalui interaksi ketika anak melihat tindakan orang lain yang bekerja sebagai buruh kemudian mampu memenuhi kebutuhan ekonominya dan mampu mempertontonkan kekayaan (prestise) tanpa melalui pendidikan yang tinggi, maka kemudian anak akan melihat hal ini dan memasukannya ke dalam rasionalitas dirinya, sehingga anak akan mengikuti tindakan orang lain tersebut.

Seorang individu akan mengarahkan tingkah lakunya berdasarkan standar-standar atau norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Dengan tinggal di daerah industri yang kondisi sosial masyarakatnya memandang bahwa kebutuhan ekonomi adalah perioritas utama (economic oriented dan konsumtif) serta memandang bahwa pendidikan hanya sebatas alat untuk mendapat pekerjaan, maka anak tersebut akan mengambil sikap yang sama. Ia memperhitungkan apakah tindakannya itu sudah sesuai dengan norma yang berlaku dalam kondisi masyarakat ia berada. Dalam pandangan masyarakat ini, mereka bekerja untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi itu lebih penting dibandingkan dengan melanjutkan pendidikan.

Giddens, dalam teori strukturasinya juga menambahkan mengenai tiga gugus struktur dalam sebuah proses sosial. Ketiga konsep itu adalah signifikasi (penandaan simbolis), dominasi (autorisasi/kekuasaan), dan legitimasi (pembenaran/pengakuan). Hubungan ketiga gugus ini dalam proses sosial adalah berkaitan dengan relasi struktur itu sendiri dengan interaksi yang berkembang di masyarakat. Signifikasi sebagai sebuah penanda, dalam praktik sosialnya dijadikan sebagai alat interpretasi dan dalam konsep interaksi dapat berpengaruh pada komunikasi aktor (agen) dan struktur.

Signifikasi di sini yaitu berupa kekayaan yang dipertontonkan sebagai simbol prestise oleh keluarga buruh lain di lingkungan tempat tinggalnya. Kekayaan yang dipertontonkan ini bukan hanya barang ataupun kendaraan namun juga seperti budaya nongkrong di cafe dan sebagainya. Kekayaan yang dipertontonkan ini diinterpretasikan sebagai simbol prestise dalam meningkatkan status dilingkungannya serta dijadikan sebagai daya saing terhadap warga Citra Raya yang notabennya merupakan orang-orang kaya. Hanya dengan bekerja sebagai buruh, tanpa pendidikan yang tinggi mampu meraih kekayaan tersebut. Sedangkan, dominasi (penguasaan/autorisasi) yaitu hubungannya dengan efek kekuasaan dalam struktur itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun