Mohon tunggu...
Aswin Anzani
Aswin Anzani Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMAN 1 Baros

Terus mencoba menjadi guru yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reproduksi Okupasi Buruh Industrial, Buruh Menjadi Pekerjaan dari Generasi ke Generasi

4 November 2020   10:22 Diperbarui: 4 November 2020   11:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan hanya itu, dalam kehidupan sehari-hari para buruh ini terutama pria mengonsumsi rokok sebungkus sehari (Rp.20.000) serta mayoritas mereka memiliki tagihan kredit motor tiap bulannya mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 2.300.000. Banyak dari mereka memiliki motor yang bisa dikatakan elit atau motor sport dan mahal. Mereka membeli motor sport merupakan dorongan sosial dalam dunia kerja, atau disebut dengan dorongan gengsi sosial.

Gaya hidup konsumtif ini terjadi karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak menggejala. Dengan kata lain gaya hidup yang dianggap boros itu merupakan upaya menyenangkan diri sesaat dalam menikmati kehidupan yang selayaknya. Orang tua lebih cenderung mengharapkan anak-anaknya bisa cepat bekerja dan mandiri agar mampu membeli berbagai macam barang atau kendaraan, dibandingkan kuliah yang menghabiskan banyak uang dan waktu. Anak-anak dari mereka pun akhirnya cenderung memilih bekerja dibanding kuliah dikarenakan kekayaan yang dipertontonkan oleh mereka.

  • Budaya Kumaha Engke dan Wayahna Bae

Mayoritas penduduk desa Talaga pribumi adalah suku Sunda. Karakteristik yang diperlihatkan di desa Talaga ini, mereka hidup cenderung berkumpul dengan sanak saudara, seperti dalam peribahasa Sunda “Bengkung ngariung bongkok ngaronyok” yang artinya; “biar hidup susah, asal tetap berkumpul dengan anak cucu atau sanak saudara”, sehingga mereka bersedia bekerja di pabrik sebagai buruh industri.

Penduduk desa Talaga terkungkung oleh budaya “kumaha engke” dan “wayahna bae” dalam menghadapi persoalan masa depannya. “Kumaha engke” adalah ungkapan dalam bahasa sunda yang artinya “bagaimana nanti”, ungkapan ini merupakan prinsip dari daerah Sunda yang mengandung makna menyepelekan, atau kurang terencana, kurang memikirkan risiko dan dampaknya di kemudian hari. Selain budaya “kumaha engke” ada pula prinsip “wayahna bae” yang artinya “pasrah saja”, pasrah terhadap keadaan sekarang dan tidak ada keinginan untuk merubahnya.

Kehidupan sehari-hari para buruh ini jarang menabung untuk investasi masa depan keluarga maupun untuk pendidikan anaknya. Alasan yang sering dikemukakan oleh mereka  mengaku menabung untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terduga. Selain itu ada pula yang tidak menabung dengan alasan tidak ada sisa pendapatan.

Semua hal yang mengandung risiko dan efek di kemudian hari, tentu tidaklah baik bila menggunakan prinsip kumaha engke atau wayahna bae ini. Bagi keluarga buruh yang berpenghasilan minim, yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, serta selalu dibayang-bayangi PHK dan putus kontrak, memutuskan kredit sepeda motor yang cukup mahal, ditambah jika memang keluarga tersebut sangat konsumtif. Jika menerapkan prinsip kumaha engke dan wayahna bae ini atas pengaturan/ pengelolaan keuangan dalam memandang masa depan tentu akan sangat berisiko.

  • Pola Asuh Pendidikan yang Keliru

Kedua orang tua yang bekerja sebagai buruh memiliki waktu yang sedikit dalam mengurus anak dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya, kurang lebih 9 jam mereka bekerja termasuk satu jam istirahat, berangkat pagi pukul 08.00 WIB hingga sore pukul 17.00 WIB. Dikarenakan kesibukannya itu maka mereka menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anaknya dikala mereka sedang sibuk  bekerja. Anak-anak beralih ke lingkup sekolah untuk dijadikan arena bermain mereka seusai sekolah sampai sore dan masih mengenakan seragam sekolah hanya bermaksud untuk menunggu orang tuanya pulang dari bekerja.

Para orang tua ini pun kurang responsif terhadap pendidikan anak. Pada  keluarga buruh yang ditemui, cenderung tidak memfasilitasi suasana belajar anak, baik fasilitas di rumah maupun perlengkapan sekolah, dan yang lebih memprihatinkan adalah orang tua si anak bersikap acuh tak acuh pada urusan sekolah anaknya, jangankan membantu mengerjakan PR, menanyakan atau mendengarkan cerita pengalamannya saat di sekolah pun jarang, sehingga si anak sendiri kemudian tidak merasakan bahwa sekolah itu memang penting bagi masa depannya.

Orang tua yang berpendidikan rendah biasanya akan mengalami kesulitan membantu anaknya belajar, tidak mampu memecahkan persoalan sekolah yang dihadapi anak seperti tugas dan PR, sehingga cenderung melepaskan begitu saja kegiatan belajar anak menurut kemauan anak sendiri. Untuk beberapa anak yang memiliki kakak yang sudah terlebih dahulu sekolah dan mau berbaik hati, bisa dikatakan cukup membantu untuk belajar setidaknya masih memiliki tempat untuk bertanya jika suatu saat kesulitan mengerjakan PR. Tetapi, anak-anak yang bernasib baik seperi itu tampaknya jarang ada di desa Talaga.

Bagi anak-anak jika PR yang diberikan oleh guru-gurunya dinilai sulit dan mereka tidak memiliki tempat bertanya, maka pada akhirnya bisa dipahami jika mereka memilih tidak mengerjakan PR atau menempuh jalan pintas yaitu menyontek kepada temannya yang sudah mengerjakan PR tersebut atau mengerjakan bersama sebelum jam pelajaran dimulai.

  • Konsep Diri Anak di Lingkungan Masyarakat Industri

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat desa Talaga yang umumnya bekerja sebagai buruh industri memiliki pandangan economic oriented, dengan kekayaan yang dipertontonkan seperti kendaraan sport, gadget, dll, selain itu rutinnya perusahaan-perusahaan yang menawarkan kerja di sekolah-sekolah, membuat anak-anak semakin tergiur untuk memilih langsung bekerja dibanding kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun