Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

SOKSI, Manusia adalah Barang, Bukan Orang

30 September 2024   21:11 Diperbarui: 30 September 2024   21:34 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Pusat. Foto: SOKSI Depicab Kemayoran/Ilustrasi 

Fenomena politik nasional pasca reformasi, relatif sangat zig zag, penuh dinamikanya. Siapa yang menciptakan gerakan dinamika? Dan untuk kepentingan siapa gerakan itu dilahirkan ? Lalu apakah gerakan gerakan zig zag dan penuh dinamika telah memakan korban ? Siapakah korbannya? Apakah para pemilik modal yang kalah dalam membangun infrastruktur politik dan ekonominya ? Ataukah rakyat Indonesia? Sehingga tidak mengherankan jika Indonesia tidak lagi menghadirkan demokrasi diruang publik, melainkan ruang kleptokrasi. 

Bagaimana dengan politik daerah, yang kini telah memasuki tahunnya? Sejumlah cagub dan cawagub, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati yang telah di usung oleh masing-masing partai politik, maupun jalur independen, telah mendapatkan masing masing nomor undian politik yang berharap mendapatkan keuntungan dan dukungan politik dari masing-masing rakyat di daerahnya. 

Rakyat tidak lagi berpikir dan bersikap kritis dan idealis. Tetapi lebih bersifat apriori dan pragmatis. " Wani Piro, " demikian nyanyian para rakyat kecil yang tertindas oleh sepatu kebijakan politik kekuasaan yang lebih berwawasan ologarki dan kapitalisasi.

Manusia telah dianggap sebagai barang, dan bukan lagi orang. Hal itu, lumayan tercermin jelas dari sebuah nilai lembaran tukar jual-beli resmi negara, berbunyi: "Barang Siapa...." Sadar atau tidak, manusia telah dijadikan alat tukar barang untuk mendapatkan nilai keuntungan materi, money oriented.

BARANG SOKSI

Sadar atau tidak, setiap partai politik memiliki sayap sayap organisasi untuk mengakumulasi kekuatan politiknya di tingkat nasional maupun lokal, daerah, tak terkecuali dengan Partai Politik Golongan Karya, dengan sayap organisasinya bernama SOKSI. Perlahan dan pasti, organisasi sayap nir-laba yang berafiliasi dengan partai Golkar itu, berusaha membangun komunikasi dan konsolidasi dengan sejumlah pengurus di wilayah dan daerah, termasuk di Jakarta.

Membangun organisasi bukanlah suatu pekerjaan mudah, dan diperlukan kerja keras yang terus menerus. Dan tidak dapat dilakukan dengan jalan pintas. Perlu waktu. Apalagi publik sudah terbiasa, kalau bukan sudah terkena racun pragmatis : " Ada uang, maka ada pilihan".

Hampir semua partai politik dan sayap sayapnya, mengalami kehilangan generasi. Gagal membangun generasi, kader organisasi yang militan. Pertanyaannya : Apakah SOKSI, mampu membangun komunikasi dan konsolidasi hingga mengakar dan menyentuh warga masyarakat Jakarta? 

Pola apa yang akan digunakan untuk dapat mewujudkannya ? Dan apakah Struktur-Kepengurusan di SOKSI, memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi dengan warga masyarakat? Secara umum, kelemahan pengurus organisasi adalah lemahnya dalam membangun komunikasi dengan kemampuan intelektualnya pada warga masyarakat disekitar.

Menyikapi Pilkada Jakarta 2024-2029, SOKSI melakukan konsolidasi organisasi tingkat provinsi Jakarta, untuk memenangkan pasangan Rido (Ridwan Kamil-Suswono) diwilayah, Gedung Yudo, Kelapa Gading, Kota administrasi Jakarta Utara. Sejumlah Dewan Pimpinan Cabang se-Jakarta, masing-masing membawa pasukannya tingkat Kelurahan di Jakarta, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.

Namun, ada peristiwa menarik perhatian publik, lantaran dari salah satu supir bus yang mengangkut pasukan sejumlah Depicab, menurunkan penumpang (anggota-relawan SOKSI), ditengah jalan, tidak sampai pada tempat lokasi Acara. Dan DEPICAB itu diketahui, tidak berada dilokasi, dan terlihat para relawan-anggotanya, menumpang salah satu bus yang di koordinir oleh DEPICAB lainnya, dan membuat anggota-relawan yang berada dalam bus itu merasa keberatan, lantaran menjadi semakin sesak dan kepanasan.

Apakah peristiwa itu, akan mendapatkan evaluasi perhatian serius dari pimpinan diatasnya ? Ataukah akan di abaikannya? Selama sistem politik Indonesia yang absurdis dan cenderung pragmatis, maka segala persolan manusia dan kemanusiaan dapat diselesaikan dengan uang. Hakekat kemanusiaan manusia telah dianggap sebagai barang untuk melakukan transaksi perdagangan.

Apakah demokrasi di Indonesia telah berubah dan cenderung pada pola kleptokrasi? Fenomena politik yang berkelindan, tampaknya mengarah pada pola kleptokrasi. Suatu politik yang berupaya memindahkan kekayaan negara dan rakyatnya untuk segelintir orang, oligarkis.

Manusia Indonesia (mungkin) dianggap para elit politik dan ekonomi, serupa barang dagangan yang dapat di perjual-belikan dipasar pasar demokrasi yang gelap. Satu suara di harga kan sesuai kesepakatan antara penjual dengan pembeli. 

Semakin kaya, maka akan besar sekali mendapatkan barang, dan akan lebih mudah di konversikannya dalam bentuk jabatan kekuasaan dan kekayaan lain. Mendapatkan keuntungan akumulatif demokrasi di suatu negara, termasuk Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun