Fenomena politik nasional pasca reformasi, relatif sangat zig zag, penuh dinamikanya. Siapa yang menciptakan gerakan dinamika? Dan untuk kepentingan siapa gerakan itu dilahirkan ? Lalu apakah gerakan gerakan zig zag dan penuh dinamika telah memakan korban ? Siapakah korbannya? Apakah para pemilik modal yang kalah dalam membangun infrastruktur politik dan ekonominya ? Ataukah rakyat Indonesia? Sehingga tidak mengherankan jika Indonesia tidak lagi menghadirkan demokrasi diruang publik, melainkan ruang kleptokrasi.Â
Bagaimana dengan politik daerah, yang kini telah memasuki tahunnya? Sejumlah cagub dan cawagub, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati yang telah di usung oleh masing-masing partai politik, maupun jalur independen, telah mendapatkan masing masing nomor undian politik yang berharap mendapatkan keuntungan dan dukungan politik dari masing-masing rakyat di daerahnya.Â
Rakyat tidak lagi berpikir dan bersikap kritis dan idealis. Tetapi lebih bersifat apriori dan pragmatis. " Wani Piro, " demikian nyanyian para rakyat kecil yang tertindas oleh sepatu kebijakan politik kekuasaan yang lebih berwawasan ologarki dan kapitalisasi.
Manusia telah dianggap sebagai barang, dan bukan lagi orang. Hal itu, lumayan tercermin jelas dari sebuah nilai lembaran tukar jual-beli resmi negara, berbunyi: "Barang Siapa...." Sadar atau tidak, manusia telah dijadikan alat tukar barang untuk mendapatkan nilai keuntungan materi, money oriented.
BARANG SOKSI
Sadar atau tidak, setiap partai politik memiliki sayap sayap organisasi untuk mengakumulasi kekuatan politiknya di tingkat nasional maupun lokal, daerah, tak terkecuali dengan Partai Politik Golongan Karya, dengan sayap organisasinya bernama SOKSI. Perlahan dan pasti, organisasi sayap nir-laba yang berafiliasi dengan partai Golkar itu, berusaha membangun komunikasi dan konsolidasi dengan sejumlah pengurus di wilayah dan daerah, termasuk di Jakarta.
Membangun organisasi bukanlah suatu pekerjaan mudah, dan diperlukan kerja keras yang terus menerus. Dan tidak dapat dilakukan dengan jalan pintas. Perlu waktu. Apalagi publik sudah terbiasa, kalau bukan sudah terkena racun pragmatis : " Ada uang, maka ada pilihan".
Hampir semua partai politik dan sayap sayapnya, mengalami kehilangan generasi. Gagal membangun generasi, kader organisasi yang militan. Pertanyaannya : Apakah SOKSI, mampu membangun komunikasi dan konsolidasi hingga mengakar dan menyentuh warga masyarakat Jakarta?Â
Pola apa yang akan digunakan untuk dapat mewujudkannya ? Dan apakah Struktur-Kepengurusan di SOKSI, memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi dengan warga masyarakat? Secara umum, kelemahan pengurus organisasi adalah lemahnya dalam membangun komunikasi dengan kemampuan intelektualnya pada warga masyarakat disekitar.
Menyikapi Pilkada Jakarta 2024-2029, SOKSI melakukan konsolidasi organisasi tingkat provinsi Jakarta, untuk memenangkan pasangan Rido (Ridwan Kamil-Suswono) diwilayah, Gedung Yudo, Kelapa Gading, Kota administrasi Jakarta Utara. Sejumlah Dewan Pimpinan Cabang se-Jakarta, masing-masing membawa pasukannya tingkat Kelurahan di Jakarta, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.