Sastra horor adalah berangkat dari pengalaman pengalaman : Penagkaman Individu ; Pengalaman Sejarah ; Pengalaman Cerita rakyat ; pengalaman kemasyarakatan ; dan seteruanya.Â
Sastra Horor, lumayan sangat banyak disukai, dan mampu menjadi daya tarik simpatik publik, ketika disampaikannya dalam bentuk audio-visual, film layar lebar dan layar kaca.Â
Penonton atau penikmat filmnya lumayan membludak. Dan fenomena fenomena itu, tidak hanya terjadi di negara kita (Indonesia), melainkan juga dibanyak negara negara dunia lainnya. Sebut saja film Casper, Zombie, Dracula, dan seterusnya. Di Indonesia sendiri dikenal dengan film Mariam Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong, Beranak Dalam Kubur, dan seterusnya.Â
Namun terlepas dari itu semua ialah 'Tujuannya'. Bahwa setiap kisah tidaklah beridri dengan sendirinya, baik dalam membuat tema, cara pengungkapannya, maupun pengaturan peristiwa peristiwanya, melainkan juga memiliki tujuannya. Apakah hal hal itu dibuat untuk mendapatkan keuntungan cuan semata dari ruang publik tanah air? Atau sebaliknya, untuk memberikan pencerahan kepada publik luas di tanah air? Ataukah suatu usaha untuk mendapatkan keduanya? Entahlah.Â
Kemungkinan kemungkinan itu adalah suatu keniscayaan. Apalagi bangsa Indonesia tengah mengalami pergeseran nilai, dari masyarakat agraris ke masyarakat industrialis, yang lebih berwawasan kepada sikap individualistis, liberalis, hedonis, dan seterusnya. Kemungkinan kemungkinan itu adalah sebagai lubang lubang lompatan-pengejawantahan hidup manusia manusia science and technology
Mengapa serba kemungkinan? Karena Diskusi yang digelar itu, sudah memasuki ruang publik, dengan latar belakang  yang beragam (pluralistik), baik dari aspek akademik, keagamaan, dan seterusnya, sehingga tidak mengherankan jika ada himbauan untuk berhati hati dalam memutuskan pikiran dan perasaannya diruang publik. Karena publik masing masing memiliki rasa sensitif yang lumayan halus, dan mudah tergores, luka, dan terkadang menyalak emosinya. "Man measure all the things".
Sastra-tulisan yang mengalami perubahan wujudnya menjadi sastra-lisan dalam bentuk film, (sudah) seyogyanya juga memperhatikan perkembangan kehidupan masyatakatnya, dan menghindari selera tertentu.Â
Fenomena fenomena keprihatinan dan kecemasan itu adalah hal yang wajar, dan sehingga tidak mengherankan dan juga lumrah jika fenomena fenomena itu, telah mendapatkan perhatian serius dari tokoh tokoh nasional, seperti Ustadz Aldi Hidayat, Rocky Gerund, dan lainnya. Ringkasnya, tujuan mencari cuan (pendapatan rupiah), jangan sampai merusak akal sehat publik, dalam upaya membangun dan menegakkan kebudayaan bangsa yang berlandaskan pada undang undang dasar 1945, "Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara"
Dan semoga  karya karya yang dilahirkan dapat dikenang sepanjang jalan (waktu) oleh publik luas ditanah air. Bukan jalan pintas untuk mencapai dan memenuhi hasrat-selera tertentu, bercorak individu yang individualistis dan cenderung oligarkis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H