Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Horor, Diskusi Meja Panjang, Tak Sepanjang Jalan Kenangan

26 Juli 2024   21:52 Diperbarui: 27 Juli 2024   05:22 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DISKUSI MEJA PANJANG DI PDS  Yassin, MENGAMBIL TEMA SASTRA HOROR. FOTO: Aswin

Pertama kali menginjakkan kaki di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, adalah pada saat pameran instalasi demokrasi yang di selenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Kemudian berlanjut ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, menghadiri kegiatan peluncuran dan diskusi buku sastra. Dan yang paling berkesan ialah saat menghadiri kegiatan Diskusi Meja Budaya, yang pada saat itu menghadirkan pembicara budayawan Remi Sylado. 

Namun, seiring berjalannya waktu, Diskusi Meja Budaya, menguap dari ruang sastra PDS HB Yassin. Dan mnyesuaikan dengan konteks zaman (perlahan dan pasti), Taman Ismail Marzuki, Cikini,  Jakarta, yang sudah di revitalisasi pun melahirlan Diskusi Meja Panjang. Seperti halnya dengan Diskusi Meja Budaya, yang dilakukan secara berkala, setiap Jum'at. Diskusi Meja Panjang pun identik. 

Ternyata, memasuki diskusi Meja Panjang itu, lumayan serupa dengan memasuki suatu ruang meja (laboratorium) operasi. Yakni, ketika para ilmuwan berusaha memahami makhluk bernama manusia dengan menyayat nyayatnya menjadi berlapis lapis, dan di mendefinisikannya : Bahwa manusia adalah binatangseksual ; manusia adalah binatang politik ; manusia adalah binatang ekonomi ; dan seterusnya. 

Demikian pula halnya dengan di ruang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Yassin. Di dalam ruangan Diskusi Meja Panjang, Sastra berusaha disayat sayat, hingga menjadi suatu batasan-pengertian : Sastra Religius ; Sastra Politik ; dan seterusnya. Dalam Diskusi Sastra Meja Panjang yang digelar 26 Juli 2024, panitia menggelar kegiatan ber tajuk 'Sastra Horor'. 

SASTRA PENDAPATAN

Mendefinisikan sastra adalah suatu hal yang menarik. Namun juga bisa menyesatkan publik jika tidak dilakukan dengan mengkalkulasi aspek dampaknya bagi publik luas, yang berharap lahirnya pencerahan. Sastra dalam bahasa Indonesia adalah 'adab', dalam bahasa Arab, dan literatur dalam bahasa Inggris. Segala hal yang dilahirkan oleh pikiran dan perasaan (cinta dan rasa) manusia disebut 'adab'. 

Dengan kata lain, sastra itu tidak hanya terbatas kepada karya karya kesusasteraan yang tertulis saja, melainkan juga, (seharusnya) ia berlaku dalam hal yang tak tertulis. Sehingga tidak mengherankan, jika sastra dalam bahasa Jerman disebut 'wortkunnst', 'seni kata' meliputi kata kata yang berbentuk tulisan maupun lisan. 

Sastra itu sendiri terdiri dari dua struktur yang berbeda, yakni puisi dan prosa. Masing masing struktur memiliki (makna) hidupnya masing masing. Apakah hidupnya memiliki nilai atau tidak dalam ruang publik adalah tergantung daripada pemilik kehidupan itu sendiri (para penulis). Terpenting ialah sang penulis harus berani berbicara atau menyampaikan realitas kehidupan (pengalamannya) secara tulus, jujur, dan terbuka, baik dalam bentuk puisi maupun prosanya. 

Sastra prosa dalam bentuk kisah adalah lumayan paling banyak diminati oleh publik luas, baik publik dari kalangan akademik maupun non akademik. Dalam salah satu kitab Samawi, seperti dalam Kitab Suci Al Qur'an, lumayan banyak kisah kisah yang disampaikan sebagai bentuk pendekatan psikologis dan spiritual (keimanan) bagi pembaca, atau penganutnya. 

Dan dalam tradisi dan kebudayaan kita (Indonesia) lumayan sangat banyak diketemukan kisah kisah, seperti kisah Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, dan seterusnya. Sastra-prosa itu, disebut 'Asatir', atau cerita rakyat. Lalu bagaimana dengan sastra horor itu sendiri? Sastra horor adalah juga identik, asatir. 

Sastra horor adalah berangkat dari pengalaman pengalaman : Penagkaman Individu ; Pengalaman Sejarah ; Pengalaman Cerita rakyat ; pengalaman kemasyarakatan ; dan seteruanya. 

Sastra Horor, lumayan sangat banyak disukai, dan mampu menjadi daya tarik simpatik publik, ketika disampaikannya dalam bentuk audio-visual, film layar lebar dan layar kaca. 

Penonton atau penikmat filmnya lumayan membludak. Dan fenomena fenomena itu, tidak hanya terjadi di negara kita (Indonesia), melainkan juga dibanyak negara negara dunia lainnya. Sebut saja film Casper, Zombie, Dracula, dan seterusnya. Di Indonesia sendiri dikenal dengan film Mariam Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong, Beranak Dalam Kubur, dan seterusnya. 

Namun terlepas dari itu semua ialah 'Tujuannya'. Bahwa setiap kisah tidaklah beridri dengan sendirinya, baik dalam membuat tema, cara pengungkapannya, maupun pengaturan peristiwa peristiwanya, melainkan juga memiliki tujuannya. Apakah hal hal itu dibuat untuk mendapatkan keuntungan cuan semata dari ruang publik tanah air? Atau sebaliknya, untuk memberikan pencerahan kepada publik luas di tanah air? Ataukah suatu usaha untuk mendapatkan keduanya? Entahlah. 

Kemungkinan kemungkinan itu adalah suatu keniscayaan. Apalagi bangsa Indonesia tengah mengalami pergeseran nilai, dari masyarakat agraris ke masyarakat industrialis, yang lebih berwawasan kepada sikap individualistis, liberalis, hedonis, dan seterusnya. Kemungkinan kemungkinan itu adalah sebagai lubang lubang lompatan-pengejawantahan hidup manusia manusia science and technology

Mengapa serba kemungkinan? Karena Diskusi yang digelar itu, sudah memasuki ruang publik, dengan latar belakang  yang beragam (pluralistik), baik dari aspek akademik, keagamaan, dan seterusnya, sehingga tidak mengherankan jika ada himbauan untuk berhati hati dalam memutuskan pikiran dan perasaannya diruang publik. Karena publik masing masing memiliki rasa sensitif yang lumayan halus, dan mudah tergores, luka, dan terkadang menyalak emosinya. "Man measure all the things".

Sastra-tulisan yang mengalami perubahan wujudnya menjadi sastra-lisan dalam bentuk film, (sudah) seyogyanya juga memperhatikan perkembangan kehidupan masyatakatnya, dan menghindari selera tertentu. 

Fenomena fenomena keprihatinan dan kecemasan itu adalah hal yang wajar, dan sehingga tidak mengherankan dan juga lumrah jika fenomena fenomena itu, telah mendapatkan perhatian serius dari tokoh tokoh nasional, seperti Ustadz Aldi Hidayat, Rocky Gerund, dan lainnya. Ringkasnya, tujuan mencari cuan (pendapatan rupiah), jangan sampai merusak akal sehat publik, dalam upaya membangun dan menegakkan kebudayaan bangsa yang berlandaskan pada undang undang dasar 1945, "Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara"

Dan semoga  karya karya yang dilahirkan dapat dikenang sepanjang jalan (waktu) oleh publik luas ditanah air. Bukan jalan pintas untuk mencapai dan memenuhi hasrat-selera tertentu, bercorak individu yang individualistis dan cenderung oligarkis. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun