Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tahun Kembali Baru, Bagaimana dengan Jiwanya

1 Januari 2024   07:58 Diperbarui: 1 Januari 2024   08:01 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paguyuban Putra Sukamulia, Kemayoran, Jakarta, melakukan bakar ikan laut, merayakan malam pergantian tahun baru, 2023-2024. Foto: asof12/ikustrasi

Peryanyaan pun membentur kepermukaan : Bagaimana waktu dapat memperbaharui dirinya?  Apakah waktu suatu sosok,, wujud, fisik atau lainnya, yang dapat di indera? Tanpa bermaksud menyederhanakan pemaknaannya, kita dapat memahami sesuai dengan konteksnya, agar kita dapat hidup lebih baik lagi terhadap sesama manusia, hewan, tetumbuhan, dan Tuhan Alam Semesta.

Sejumlah ilmuwan, berusaha mengamati dan memahami waktu, sehingga melahirkan makna terbatas dan juga makna yang tak terbatas. Jauh sebelumnya, kaum primitif sudah berusaha mempelajari dan berbicara tentang waktu. Bahwa waktu adalah suatu hal yang mistis dan abadi : Roh dapat bersemayam dan menjelma dalam setiap wujudnya. Ia senantiasa hadir dan aktif dalam kehidupan alam manusia, hewan, tetumbuhan, dan bebatuan. Pemahaman kaum primitif itu, lumayan sangat bertentangan dengan teori ilmuwan, bahwa dialam semesta ini tersusun dari benda benda hidup dan benda mati. 

WAKTU MELAHIRKAN PERISTIWA 

Sadar atau tidak, kita manusia yang hidup didalam kehidupan yang berwawasan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menganggap setiap peristiwa yang lahir kepermukaan hidup adalah suatu hal yang biasa. Kita bertemu manusia dalam ruang keluarga, ruang publik, melihat lingkungan, seperti gedung gedung, tetumbuhan, kendaraan, dan seterusnya, adalah suatu hal yang biasa, dan tanpa berusaha memahami setiap peristiwa didalamnya, hampa pemaknaan. 

Pemahaman itu akibat suatu pemikiran modern yang berwawasan pada manusia-pusat. Anttpposentris. Yakni, bahwa didalam kehidupan alam semesta ini, yang terpenting adalah manusia, dan bukan alam manusia. Manusia adalah pusat bagi kehidupan alam semesta. Alam bukan manusia adalah suatu hal yang tidak penting dan harus mengikutinya, serta harus menyesuaikan dengan hasrat dirinya sebagai manusia. Manusia mempunyai kuasa penuh untuk mengeksploitasi dan mengelola alam semesta dan segala isinya, sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.

Mirisnya, paham antroposentis itu telah melahirkan banyak bencana kemanusiaan. Tragedi kemanusiaan. Manusia dengan sesama manusia saling curiga mencurigai, memperkosa dan membunuhnya. Masing masing manusia membuat identitas dirinya sebagai manusia yang bermartabat dan berkuasa dari manusia manusia lainnya. Etnosentris dan egosentris pun lahir dan beranak pinak menyebar dan menyusup kedalam jiwa jiwa manusia manusia lainnya didunia, tanpa disadari. 

Kesadaran terhadap realitas dibalik alam semesta ini pun menguap dari kehidupan diri manusia. Manusia hanya percaya pada relaitas alam materi, konkret. Dan tidak mempercayai realitas diluar materi. Bahwa apa yang ada diluar materi adalah hal yang jahil dan bodoh. Kekanak kanakkan. Ilusi. Yakni, suatu kekuatan yang berupaya dihadirkan, lantaran ketidakmampuannya dalam mengelola kehidupan materi. Mereka kaum materialis, menganggap, bahwa percaya kepada hal yang spiritual atau Tuhan adalah suatu kekuatan yang dibangun oleh orang orang lemah pikiran dan lemah jabatan, serta lemah kekayaan materi. Suatu hiburan bagi manusia manusia jelata, miskin dan papa. Manusia manusia yang pernah menjadi tambang tambang kekuasan dan kekayaan raja Fir'an dan sekutunya, oligarki. "Exploitation of man by man".

Manusia manusia modern (Eropa-Amerika), telah berhasil membangun kekuasaannya disejumlah negara didunia (mayoritas). Dengan fatsoen ilmu pengetahuan dan teknologinya, yang lebih mengedepankan pada aspek materi. Dan mereka telah berhasil menjajah negara negara didunia dan menjadikan rakyatnya sebagai budak budak kekuasaannya. Memeras keringatnya, untuk dipersembahkan kepada negara minoritas yang berkuasa. Jika suatu negara dan bangsanya berani melakukan pembangkangan, maka dapat dipastikan menderita dan mungkin akan mati secara sistemik (melalui politik, ekonomi, dan militer). 

Apakah negara dan bangsa Indonesia, masuk kedalam satu negara yang takluk dan tunduk pada kekuatan dan kekuasaan minoritas global?  Entahlah! Namun kita dapat mengamatinya, dari pelbagai fenomema politik dan ekonomi yang berkelindan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah fenomena fenomena itu lebih mengutamakan pada kehidupan segelintir orang atau untuk rakyat dan bangsa Indonesia ? 

Jika kebijakan politik nasional sudah terpasung dalam kekuatan segelintir orang, maka dapat dipastikan, kehidupan bermasyarakat pun akan berdampak. Kekuatan materi akan melekat pada kehidupan warga masyarakat, sehingga akan melahirkan individu individu yang individualistik, terlepas dari kehidupan kebersamaan, gotong royong, dan saling tolong menolong satu sama lainnya. Dan pada akhirnya kelak, unsur unsur kemanusiaannya  akan melemah, atau tenggelam didalam dirinya sebagai manusia yang berjiwa, yang memiliki rasa, empati, dan tanggung jawab. 

Apalagi Indonesia, (kini) telah, sedang, dan akan terus memasuki era industrialis, yang mana kemampuan dan kecakapan dalam menguasai ilmu dan teknologi sangat dikedepankan (skala prioritas) bagi warga negaranya. Penyesuaian kurikulum pendidikan ditanah air pun akan disesuikan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi berbasiskan pada ekonomi digital (teknologi komunikasi dan informasi). 

Waktu terus berjalan, dan juga akan terus melahirkan segala peristiwa didalamnya. Dan kini, ummat manusia didunia, telah merayakan pergantian tahun, tahun baru, 2023-2024, sebagai tahun masehi, dan bukan tahun Hijriyah. Kembang api dinyalakan di pelbagai negara didunia, tak terkecuali Indonesia. Semoga nyala kembang api dilangit langit Indonesia (pada malam tahun baru masehi) itu, mampu menyalakan api jiwa yang telah lama padam dalam gelombang kehidupan yang serba materialis, hedonis, pemisis, dan prakmatis, sehingga mampu melahirkan individu individu yang tidak individualistik, yang lebih bertanggung jawab, berempati dan saling tolong menolong atas nama kebaikan Tuhan dan kemanusiaan. 

Bangunlah jiwanya

Bangunlah raganya

Untuk Indonesia raya.... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun